[sumber] |
Oleh: Ahmad Darik
Sama seperti
ungkapan yang merupakan performance berdasarkan competence bahasa, demikian
pula karya sastra merupakan realisasi sistem sastra, aktualisasi satra. Tetapi
ada beberapa ciri khas
yang harus diperhatikan:
- Teks sastra merupakan keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya diberikan dengan kebulatan makna. Malahan teks sastra itu sendiri merupakan pandangan dunia yang koheren, bulat;
- Talam teks sastra, ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan segala aspeknya, barang buangan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, sampah bahasa yang dalam percakapan begitu terpakai begitu terbuang, dalam karya sastra tetap berfungsi, bermakna, bahkan semuanya dimaknakan dan dipertahankan maknanya;
- Dalam menampilkan ungkapan itu, karya sastra pada suatu pihak terikat pada konvensi, tapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual, bahkan untuk menentangnya walaupun dalam penentangan itu pun pengarang masih terikat. Akibatnya sistem sastra itu tidak stabil, sangat berubah-ubah. Setiap angkatan sastrawan mengubah konvensi itu sambil memakainya dan menentangnya.
Dalam
masyarakat modern sastra semakin dilepaskan dari situasi komunikasi yang
normal. Sastra adalah tulisan, ecriture. Perkembangan sastra modern
sangat dipengaruhi oleh perkembangan melek huruf.
Dapat
dikatakan bahwa secara umum yang menjadi kriteria nilai yang tertinggi dalam
dunia yang modern adalah yang baru. Semua baik dan bagus, asalkan baru.
Akibatnya
dalam sastra modern kebebasan dan kebutuhan para seniman untuk merombak sistem
sastra jauh lebih besar dan radikal daripada zaman lampau. Sistem itu tidak
jelas lagi, kabur dan kacau batasannya,
demikian pula batas-batas jenis sastra.
Hal
itu jelas terlihat di Indonesia; cerpen mini Arswendo Atmowiloto dan
kawan-kawan yang bukan cerpen lagi, sajak Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi
Djoko Damono yang bukan sajak lagi, drama-drama Ikanegara yang sengaja
dibebaskan dari beban cerita, dari rangka sastra, dan lain-lainnya.
Situasi
ini menjadi semakin rumit lagi karena banyak pengarang yang menjadi ahli teori
sastra dan begitu juga
sebaliknya. Di mana-mana interaksi praktik sastra dan teori sastra semakin erat
dan kuat.
Teori
Sastra, Situasi Sastra Modern dan Sistem Sastra Tradisional
Situasi ini
bukan tidak ada akibatnya untuk penelitian teori sastra. Para ahli teori barat
makin tertarik pada pembaharuan dan penyimpangan.
Akibatnya teori harus disesuaikan dengan sistem sastra itu.
Definisi sastra
itu sendiri makin banyak didiskusikan dan diperjuangkan, sebab tidak jelasnya
batasan antara sastra dan bukan sastra. Mutu
keindahan yang di masa lampau kelihatannya
sudah cukup tegas sekarang sudah menjadi terlalu subjektif jika ingin dikenakan
pada sastra modern.
Perhatikan sajak
berikut:
DOMPET HITAMDua penonton bioskop RatihJumat malammenemukan dompet hitamdi tempat duduk kelas duapada pertunjukanpetang hari.
Apakah
puisi ini sajak yang baik? Seandainya terdapat dalam kumpulan sajak terpaksa
kita sebagai pembaca bersedia untuk menafsirkannya dan memahaminya sebagai
sajak untuk mengetahui ciri kesastraannya. Kebetulan kutipan ini merupakan
berita singkat dari Kedaultan Rakyat (26.11.1977), tetapi penulisannya
sebagai sajak sudah cukup dalam kebudayaan tulisan kita untuk mendorong si
pembaca untuk membacanya sebagai sajak, dengan memakai kemampuan konvensi.
Sikap
dan pendekatan ahli sastra yang semacam itu sudah tentu ada baiknya. Situasi
itu berarti bahwa ahli sastra tidak perlu lagi bekerja dengan peralatan teori
yang ketinggalan zaman, yang hanya cocok untuk sastra masa lampau, yang tidak
berharga lagi bagi sastra kontemporer.
Teori
perombakan teori lama berdasarkan penelitian sastra sezaman ini juga ada akibatnya yang kurang
memuaskan. Pertama-tama kita ingat masalah sastra kontemporer yang tidak
bersifat merombak, walaupun soal itu hanya dapat disinggung sepintas lalu.
Dapatkah
atau haruskah kita katakan bahwa prosa Umar Kayam atau N.H. Dini tidak bernilai
karena tidak merombak
sistem sastra
konvensional? Kita anggap konsekuensi itu tidak mungkin. Dalam masyarakat yang pluriform
rupa-rupanya mungkinlah untuk
menciptakan sastra yang pluriform pula, yang nilainya tidak hanya ditentukan
oleh perombaknya. Tetapi dalam konteks sastra modern para pembaharu atau para
perombaklah yang menarik minat besar dari para ahli teori sastra dan pengeritik
sastra yang juga cukup maju orientasinya.
Situasi
ini jelas sudah terdapat juga di Indonesia. Tetapi kritik sastra yang
diperlukan dalam masyarakat semacam ini juga tidak pluriform, walaupun untuk
seorang kritikus individual mungkin sekali sukarlah untuk menilai secara
perbandingan antara sajak Sutardji dengan sajak Kuntowijoyo, atau roman Iwan
Simatupang dengan roman Wildan Yatim, atau drama Mochtar Lubis dengan drama
Ikanegara.[]
0 komentar:
Post a Comment