Monday, June 1, 2015

Karya Sastra dan Situasi Sastra Modern

1:35 PM


[sumber]
Oleh: Ahmad Darik
Sama seperti ungkapan yang merupakan performance berdasarkan competence bahasa, demikian pula karya sastra merupakan realisasi sistem sastra, aktualisasi satra. Tetapi ada beberapa ciri khas yang harus diperhatikan:
  1. Teks sastra merupakan keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya diberikan dengan kebulatan makna. Malahan teks sastra itu sendiri merupakan pandangan dunia yang koheren, bulat;
  2. Talam teks sastra, ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan segala aspeknya, barang buangan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, sampah bahasa yang dalam percakapan begitu terpakai begitu terbuang, dalam karya sastra tetap berfungsi, bermakna, bahkan semuanya dimaknakan dan dipertahankan maknanya;
  3. Dalam menampilkan ungkapan itu, karya sastra pada suatu pihak terikat pada konvensi, tapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual, bahkan untuk menentangnya walaupun dalam penentangan itu pun pengarang masih terikat. Akibatnya sistem sastra itu tidak stabil, sangat berubah-ubah. Setiap angkatan sastrawan mengubah konvensi itu sambil memakainya dan menentangnya.
Dalam masyarakat modern sastra semakin dilepaskan dari situasi komunikasi yang normal. Sastra adalah tulisan, ecriture. Perkembangan sastra modern sangat dipengaruhi oleh perkembangan melek huruf. 

Dapat dikatakan bahwa secara umum yang menjadi kriteria nilai yang tertinggi dalam dunia yang modern adalah yang baru. Semua baik dan bagus, asalkan baru.

Akibatnya dalam sastra modern kebebasan dan kebutuhan para seniman untuk merombak sistem sastra jauh lebih besar dan radikal daripada zaman lampau. Sistem itu tidak jelas lagi, kabur dan kacau batasannya, demikian pula batas-batas jenis sastra.

Hal itu jelas terlihat di Indonesia; cerpen mini Arswendo Atmowiloto dan kawan-kawan yang bukan cerpen lagi, sajak Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono yang bukan sajak lagi, drama-drama Ikanegara yang sengaja dibebaskan dari beban cerita, dari rangka sastra, dan lain-lainnya.

Situasi ini menjadi semakin rumit lagi karena banyak pengarang yang menjadi ahli teori sastra dan begitu juga sebaliknya. Di mana-mana interaksi praktik sastra dan teori sastra semakin erat dan kuat.

Teori Sastra, Situasi Sastra Modern dan Sistem Sastra Tradisional
Situasi ini bukan tidak ada akibatnya untuk penelitian teori sastra. Para ahli teori barat makin tertarik pada pembaharuan dan penyimpangan. Akibatnya teori harus disesuaikan dengan sistem sastra itu.

Definisi sastra itu sendiri makin banyak didiskusikan dan diperjuangkan, sebab tidak jelasnya batasan antara sastra dan bukan sastra. Mutu keindahan yang di masa lampau kelihatannya sudah cukup tegas sekarang sudah menjadi terlalu subjektif jika ingin dikenakan pada sastra modern.

Perhatikan sajak berikut:
DOMPET HITAM
Dua penonton bioskop Ratih
Jumat malam
menemukan dompet hitam
di tempat duduk kelas dua
pada pertunjukan
petang hari.
Apakah puisi ini sajak yang baik? Seandainya terdapat dalam kumpulan sajak terpaksa kita sebagai pembaca bersedia untuk menafsirkannya dan memahaminya sebagai sajak untuk mengetahui ciri kesastraannya. Kebetulan kutipan ini merupakan berita singkat dari Kedaultan Rakyat (26.11.1977), tetapi penulisannya sebagai sajak sudah cukup dalam kebudayaan tulisan kita untuk mendorong si pembaca untuk membacanya sebagai sajak, dengan memakai kemampuan konvensi.

Sikap dan pendekatan ahli sastra yang semacam itu sudah tentu ada baiknya. Situasi itu berarti bahwa ahli sastra tidak perlu lagi bekerja dengan peralatan teori yang ketinggalan zaman, yang hanya cocok untuk sastra masa lampau, yang tidak berharga lagi bagi sastra kontemporer.

Teori perombakan teori lama berdasarkan penelitian sastra sezaman ini juga ada akibatnya yang kurang memuaskan. Pertama-tama kita ingat masalah sastra kontemporer yang tidak bersifat merombak, walaupun soal itu hanya dapat disinggung sepintas lalu.

Dapatkah atau haruskah kita katakan bahwa prosa Umar Kayam atau N.H. Dini tidak bernilai karena tidak merombak sistem sastra konvensional? Kita anggap konsekuensi itu tidak mungkin. Dalam masyarakat yang pluriform rupa-rupanya mungkinlah untuk menciptakan sastra yang pluriform pula, yang nilainya tidak hanya ditentukan oleh perombaknya. Tetapi dalam konteks sastra modern para pembaharu atau para perombaklah yang menarik minat besar dari para ahli teori sastra dan pengeritik sastra yang juga cukup maju orientasinya.

Situasi ini jelas sudah terdapat juga di Indonesia. Tetapi kritik sastra yang diperlukan dalam masyarakat semacam ini juga tidak pluriform, walaupun untuk seorang kritikus individual mungkin sekali sukarlah untuk menilai secara perbandingan antara sajak Sutardji dengan sajak Kuntowijoyo, atau roman Iwan Simatupang dengan roman Wildan Yatim, atau drama Mochtar Lubis dengan drama Ikanegara.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top