[sumber] |
Oleh: Halimah Garnasih*
Nazm Khusaa Naseeb Keh Tum Qadian
mengalir sendu. Di setiap subuh, pujian berbahasa Urdu itu selalu terdengar
dari kamar Mira, Mira Tsurayya Basalamah. Sekilas, pujian itu terdengar seperti
lagu-lagu India pada umumnya, sendu dan syahdu. Nadanya merambat lembut pada
kelambu kamar, lalu naik ke udara lewat jendela dan melintasi pohon Carica di
luar rumah. Di meja tempat Mira belajar, tergeletak Al-Qur’ân al-Karîm, Kitab
Tadzkirah, Kitab Meri Ta‘lim, Kisyti Nuuh, Kitab Tafsîr Kabîr, dan Kitab Tafsîr
Shaghîr.
Mira dikenal sebagai gadis yang taat
pada agamanya. Pada dinding kamar, tergantung bingkai foto keemasan. Di
dalamnya, gambar lelaki paruh baya dengan jenggotnya yang tebal memenuhi bagian
pelipis sampai dagu. Wajahnya khas wajah Arab, Persia, atau mungkin India,
tampak berkharisma.
Tidak seperti subuh biasanya bersama
Lajnah Imaillah (LI)[1]
dan Nâsirât[2] lainnya
berada di masjid semenjak sebelum fajar, Mira membiarkan tubuhnya direngkuh
selimut. Setelah salat tahajud dan salat subuh, Mira naik kembali ke atas
ranjang. Menyelimuti kembali tubuhnya juga hatinya yang sedih merana. Semalam,
sepulang dari mengisi acara Mu‘âwanah, abahnya marah besar. Abahnya yang
merupakan Muballigh[3]
cabang Wonosobo telah mencium kabar hubungannya dengan salah seorang pemuda di
luar Jema’at. “Hanya Khudam[4]
yang bisa menikah dengan LI, Mira!” wajah abah semalam kembali membayang di
pelupuk matanya, “Kamu adalah putri Muballigh yang semestinya memberi contoh
baik kepada LI lainnya! Mengapa kamu tidak patuh pada agamamu dan ingin
mencoreng nama baik abah?!” Mira tersedu dan membenamkan wajahnya pada bantal.
Tak hanya wajah abah, suara kemarahannya pun terus mendengung-dengung di
telinganya. Hati Mira semakin terasa diremas-remas. Sesungguhnya, Mira pun
merasa tidak mengerti mengapa ada peraturan seperti itu dalam jema’atnya?
Pertanyaan Hamzah, kekasih yang teramat dicintainya itu memang tak bisa
dijawabnya. Mira tak tahu. Jika kelompoknya adalah sama dengan kelompok Islam
lainnya di atas tanah Negara ini, mengapa ada aturan keterbatasan untuk
mencintai, untuk menikah? Bantal putih itu kini benar-benar basah, ia menampung
setiap tetes kesedihan, kepatahan hati, sekaligus gugatan Mira pada aturan
jema’atnya.
Pagi itu, dua tahun lalu, di Vila
Vintage Kaliurang Yogyakarta yang sedang diselenggarakan Risthanata,[5] pertama
kali Mira melihat Hamzah. Mira tidak suka keramaian. Saat acara Risthanata
berlangsung, Mira mengendap-endap untuk menyendiri saja di Balkon kamar atas.
Dari atas balkon itu, Mira melihat keramaian di pendopo Vila seberang. Pada banner
yang tergantung di depan pendopo, Mira menjadi tahu bahwa sedang berlangsung
acara kongres Ikatan Pemuda Nahdatul Ulama’ Yogyakarta di sana. Mira mengamati keramaian
itu dari atas. Sekejap keramaian menjadi senyap saat suara salam dari pengeras
suara disampaikan oleh seorang pemuda di atas podium. Dialah Hamzah, pemuda
yang pada akhirnya merebut hati Mira.
Sepanjang perjalanan pulang menuju
Wonosobo, di dalam bus jema’atnya, Mira membawa kenangan. Kenangan indah itu
adalah pertemuan tak sengajanya dengan Hamzah di Telaga Putri saat dirinya mampir
di sebuah warung untuk membeli jadah tempe. Mira yang memang terkesan dengan
pandangan Islam Hamzah seperti yang disampaikan dalam sambutannya pagi itu, merespon
hangat teguran sang pemuda. Entahlah, Mira tak bisa menerjemahkan dirinya
sendiri, mengapa untuk kali ini ia tidak menutup diri terhadap laki-laki
sebagaimana biasanya. Barangkali Mira penasaran dengan cara berfikir dan
pandangan pemuda manis itu. Ya, Mira penasaran dan banyak ingin tahu. Mira
beruluk salam pada Hamzah dan pamit untuk kembali ke Vila setelah bertukar
nomor.
Kini nazm pada winamp player di
komputernya telah sampai pada nazm Hummara Khilafat Pay Eeman Hay.
Suara perempuan India yang khas itu memenuhi kamar Mira. Notasi musiknya yang
melankolis semakin mempermainkan perasaannya. Bayangan wajah abahnya berganti-ganti
dengan wajah manis Hamzah dan gayanya yang ringan. Sungguh lelaki yang memiliki
optimisme pada hidup dan realitas kemajemukan Islam di Indonesia itu semakin
jelas di pelupuk matanya. Mira ingat setiap gagasan Hamzah yang dibicarakan
padanya tentang Islam dan Indonesia. Hamzah juga pernah mengatakan
ketidaksepakatan dan tidak semestinya SKB 3 Menteri[6] turun
beberapa bulan lalu. Dengan menatap Mira sungguh-sungguh, Hamzah berjanji akan
mengembalikan hak Ahmadiyah sebagai warga negara yang pernah terampas.
Tangis Mira kembali pecah di atas
bantalnya saat mengingat dan mendengar suara Hamzah kala itu di alun-alun
Wonosobo. “Mengapa tidak, Mira? Aku akan bertanggungjawab dan menyayangimu
seperti abah-ummimu menyayangimu. Aku ingin menghabiskan hidup bersamamu, Mira.”
Dada Mira terasa berat menahan
sesuatu agar tidak ambrol dari kedua matanya. Pelan-pelan, dengan
dikuat-kuatkan kalimat itu mengalir begitu saja, “Tapi kita berbeda, Mas…”
Hamzah mengangkat kepalanya
sebentar, memalingkan wajahnya dari wajah Mira. “Apa yang berbeda dari kita?
Kita sama-sama Muslim dan syariat mana yang melarang sesama Muslim untuk
menjalakan sunnah rasul, Mira?”
Tenggorokan Mira tercekat. Suatu hal
yang memberat di dadanya telah naik ke tenggorokan dan memaksa keluar.
Hamzah mencari-cari mata Mira pada
wajahnya yang lembut, “Mira, apa kamu berpikir seperti mereka bahwa kita
berbeda? Apa kamu telah berpikir sama dengan mereka bahwa kelompokmu adalah
Islam coret, kelompok di luar Islam, atau bahkan agama baru?!” Suara Hamzah
agak meninggi. Hamzah tak bermaksud marah pada kekasihnya, dia hanya ingin
meyakinkan dirinya sendiri bahwa kekasihnya itu tidak memiliki sama sekali
pikiran seperti itu. Hal yang memberat di kerongkongan Mira pun akhirnya pecah
berupa buliran-buliran bening yang menggelundung lembut dari kedua matanya dan
kembali membasahi bantal putihnya. Tangisan itu berat, persis seberat tangisan
yang akhirnya pecah di alun-alun Wonosobo beberapa hari yang lalu.
Mira mendengar suara TV dari channel
MTA[7] di
ruang tengah telah hidup. Rupanya dia tertidur setelah lelah menangis. Perutnya
telah melilit karena belum terisi apapun semenjak kemarin. Nazm-nazm berbahasa
Urdu itu masih setia berputar, menemani kepedihannya. Mira ingin beranjak ke
dapur untuk mengisi perutnya, tapi dia malu karena dari kemarin selalu menolak
setiap ummi membujuknya untuk makan barang sedikit saja. Barangkali bukan
karena itu, perasaan malu teramat sangat yang tak bisa ditanggunggnya pada abah-umminya
justru jika mengingat peristiwa di KUA kemarin.
Potongan peristiwa kemarin mau tak
mau menyusup lagi pada benaknya. Dia melihat Hamzah menyambutnya dengan senyum
manis juga rona optimis pada wajahnya. Dia juga melihat Hamzah bernegosiasi
dengan beberapa petugas KUA yang lama-lama negosiasi itu tampak berganti
seperti perdebatan. Mira juga melihat satu di antara beberapa petugas KUA
mengacungkan telunjuk ke arah pintu. Lalu Hamzah menggebrak meja. Mira
tersentak karena bunyi gelas pecah yang jatuh dari tangannya. Dia melihat air
itu mengalir di lantai kamarnya, dan pecahan-pecahan gelas itu juga berserakan
di sana. Pecahan-pecahan itu bergerombol. Dilihatnya gerombolan pecahan kaca
itu. Semakin dilihatnya, gerombolan pecahan itu terlihat seperti gerombolan massa
yang telah mengepung KUA. Beberapa kelompok massa berteriak-teriak di luar.
Dilihatnya para petugas KUA panik, begitu pula kepanikan yang menggantung pada
wajah Hamzah. Sungguh Mira tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tapi
dia merasa takut. Sangat takut. Dia ingin berlindung di balik wajah Hamzah yang
selalu memancarkan keoptimisan, tapi wajah itu tak ditemukannya lagi. Wajah
Hamzah panik dan ketakutan. Mira mencari mata Hamzah. Mata yang selama ini
selalu meyakinkannya. Mata optimis yang membuatnya berani jika nantinya harus menghadapi
sangsi sosial dari jema’atnya. Yang membuatnya rela menanggung kemarahan besar
dari abahnya. Mira kembali menangis dan kini tanpa sedu-sedan. Gerombolan
pecahan-pecahan kaca yang diraihnya dan digenggamnya kuat seakan menggenggam
kemarahan, telah menyatu dengan cairan berwarna merah yang keluar dari balik
kulit dan dagingnya.
Mira bergetar dan melihat beberapa
pemuda yang tak lain teman Hamzah masuk. Mereka berbicara pada Hamzah dengan
panik sesekali menoleh ke arahnya yang sedari tadi duduk di deretan bangku
berjarak tujuh meter dari Hamzah, calon suaminya. Mira melihat Hamzah
mengangguk lemah berhasil dibujuk teman-temannya. Mira melihat Hamzah
menatapnya sendu. Mira juga melihat kaki Hamzah akan bergerak ke arahnya, Mira
sudah ingin mendengar hasilnya juga ingin bertanya apa yang sesungguhnya
terjadi. Tapi satu di antara beberapa temannya mencegahnya. Mira melihat mata
Hamzah tercekat juga takut menatap matanya. Hamzah memalingkan wajahnya dari
mata Mira saat teman-temannya segera menangkap tangannya dan membawanya keluar
dari pintu belakang dengan cepat.
Mira duduk sendiri di bangku.
Punggung Hamzah telah hilang dari pandangannya. Dua petugas KUA meliriknya
sebentar, lalu keluar, barangkali menghadapi kelompok massa. Mira duduk sendiri
di bangku, lalu ditemani deraian air yang berlinang dari matanya. Mira mungkin
mengerti namun takut untuk mengakui kemengertiannya.[]
Yogyakarta, 15 Mei 2015
*Santri Putri RU I
bergiat di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) dalam penelitian
Ahmadiyah.
[1] Istilah
panggilan untuk para gadis Ahmadi selepas umur 15 tahun sekaligus menjadi
istilah perkumpulannya
[2]
Istilah untuk perempuan Ahmadi mulai umur 7-15 tahun
[3] Istilah,
gelar, dan sebutan untuk tokoh Ahmadi yang kemampuan agamanya dipandang bagus
dan dipercaya bisa melakukan “tabligh;menyampaikan Islam” kepada jama’ah dan ummat
manusia.
[4]
Istilah panggilan untuk para pemuda Ahmadi selepas umur 15-40 tahun
[5] Sebuah
sarana perjodohan antara LI dan khudam, dan menjadi program rutin.
[6]
SKB 3 Mentri adalah Surat Keputusan Bersama 3 mentri yaitu Menteri Agama,
Menteri Luar Negeri RI, dan Jaksa agung pada tanggal 09 Juni 2008
[7] Moslem
Television Ahmadiyya. Salah-satu media elektronik Ahmadiyyah yang berpusat
di London. Pertama kali didirikan oleh Khalifah ke empat yaitu Mirza Tahir
Ahmad
khudam for lajnah, lajnah for khudam
ReplyDelete