Saturday, June 6, 2015

Di Atas Bantal Putih Perempuan Qadian

8:14 PM

[sumber]
Oleh: Halimah Garnasih*

Nazm Khusaa Naseeb Keh Tum Qadian mengalir sendu. Di setiap subuh, pujian berbahasa Urdu itu selalu terdengar dari kamar Mira, Mira Tsurayya Basalamah. Sekilas, pujian itu terdengar seperti lagu-lagu India pada umumnya, sendu dan syahdu. Nadanya merambat lembut pada kelambu kamar, lalu naik ke udara lewat jendela dan melintasi pohon Carica di luar rumah. Di meja tempat Mira belajar, tergeletak Al-Qur’ân al-Karîm, Kitab Tadzkirah, Kitab Meri Ta‘lim, Kisyti Nuuh, Kitab Tafsîr Kabîr, dan Kitab Tafsîr Shaghîr. 

Mira dikenal sebagai gadis yang taat pada agamanya. Pada dinding kamar, tergantung bingkai foto keemasan. Di dalamnya, gambar lelaki paruh baya dengan jenggotnya yang tebal memenuhi bagian pelipis sampai dagu. Wajahnya khas wajah Arab, Persia, atau mungkin India, tampak berkharisma. 

Tidak seperti subuh biasanya bersama Lajnah Imaillah (LI)[1] dan Nâsirât[2] lainnya berada di masjid semenjak sebelum fajar, Mira membiarkan tubuhnya direngkuh selimut. Setelah salat tahajud dan salat subuh, Mira naik kembali ke atas ranjang. Menyelimuti kembali tubuhnya juga hatinya yang sedih merana. Semalam, sepulang dari mengisi acara Mu‘âwanah, abahnya marah besar. Abahnya yang merupakan Muballigh[3] cabang Wonosobo telah mencium kabar hubungannya dengan salah seorang pemuda di luar Jema’at. “Hanya Khudam[4] yang bisa menikah dengan LI, Mira!” wajah abah semalam kembali membayang di pelupuk matanya, “Kamu adalah putri Muballigh yang semestinya memberi contoh baik kepada LI lainnya! Mengapa kamu tidak patuh pada agamamu dan ingin mencoreng nama baik abah?!” Mira tersedu dan membenamkan wajahnya pada bantal. Tak hanya wajah abah, suara kemarahannya pun terus mendengung-dengung di telinganya. Hati Mira semakin terasa diremas-remas. Sesungguhnya, Mira pun merasa tidak mengerti mengapa ada peraturan seperti itu dalam jema’atnya? Pertanyaan Hamzah, kekasih yang teramat dicintainya itu memang tak bisa dijawabnya. Mira tak tahu. Jika kelompoknya adalah sama dengan kelompok Islam lainnya di atas tanah Negara ini, mengapa ada aturan keterbatasan untuk mencintai, untuk menikah? Bantal putih itu kini benar-benar basah, ia menampung setiap tetes kesedihan, kepatahan hati, sekaligus gugatan Mira pada aturan jema’atnya.

Pagi itu, dua tahun lalu, di Vila Vintage Kaliurang Yogyakarta yang sedang diselenggarakan Risthanata,[5] pertama kali Mira melihat Hamzah. Mira tidak suka keramaian. Saat acara Risthanata berlangsung, Mira mengendap-endap untuk menyendiri saja di Balkon kamar atas. Dari atas balkon itu, Mira melihat keramaian di pendopo Vila seberang. Pada banner yang tergantung di depan pendopo, Mira menjadi tahu bahwa sedang berlangsung acara kongres Ikatan Pemuda Nahdatul Ulama’ Yogyakarta di sana. Mira mengamati keramaian itu dari atas. Sekejap keramaian menjadi senyap saat suara salam dari pengeras suara disampaikan oleh seorang pemuda di atas podium. Dialah Hamzah, pemuda yang pada akhirnya merebut hati Mira.

Sepanjang perjalanan pulang menuju Wonosobo, di dalam bus jema’atnya, Mira membawa kenangan. Kenangan indah itu adalah pertemuan tak sengajanya dengan Hamzah di Telaga Putri saat dirinya mampir di sebuah warung untuk membeli jadah tempe. Mira yang memang terkesan dengan pandangan Islam Hamzah seperti yang disampaikan dalam sambutannya pagi itu, merespon hangat teguran sang pemuda. Entahlah, Mira tak bisa menerjemahkan dirinya sendiri, mengapa untuk kali ini ia tidak menutup diri terhadap laki-laki sebagaimana biasanya. Barangkali Mira penasaran dengan cara berfikir dan pandangan pemuda manis itu. Ya, Mira penasaran dan banyak ingin tahu. Mira beruluk salam pada Hamzah dan pamit untuk kembali ke Vila setelah bertukar nomor. 

Kini nazm pada winamp player di komputernya telah sampai pada nazm ­­Hummara Khilafat Pay Eeman Hay. Suara perempuan India yang khas itu memenuhi kamar Mira. Notasi musiknya yang melankolis semakin mempermainkan perasaannya. Bayangan wajah abahnya berganti-ganti dengan wajah manis Hamzah dan gayanya yang ringan. Sungguh lelaki yang memiliki optimisme pada hidup dan realitas kemajemukan Islam di Indonesia itu semakin jelas di pelupuk matanya. Mira ingat setiap gagasan Hamzah yang dibicarakan padanya tentang Islam dan Indonesia. Hamzah juga pernah mengatakan ketidaksepakatan dan tidak semestinya SKB 3 Menteri[6] turun beberapa bulan lalu. Dengan menatap Mira sungguh-sungguh, Hamzah berjanji akan mengembalikan hak Ahmadiyah sebagai warga negara yang pernah terampas. 

Tangis Mira kembali pecah di atas bantalnya saat mengingat dan mendengar suara Hamzah kala itu di alun-alun Wonosobo. “Mengapa tidak, Mira? Aku akan bertanggungjawab dan menyayangimu seperti abah-ummimu menyayangimu. Aku ingin menghabiskan hidup bersamamu, Mira.”

Dada Mira terasa berat menahan sesuatu agar tidak ambrol dari kedua matanya. Pelan-pelan, dengan dikuat-kuatkan kalimat itu mengalir begitu saja, “Tapi kita berbeda, Mas…”

Hamzah mengangkat kepalanya sebentar, memalingkan wajahnya dari wajah Mira. “Apa yang berbeda dari kita? Kita sama-sama Muslim dan syariat mana yang melarang sesama Muslim untuk menjalakan sunnah rasul, Mira?”

Tenggorokan Mira tercekat. Suatu hal yang memberat di dadanya telah naik ke tenggorokan dan memaksa keluar.

Hamzah mencari-cari mata Mira pada wajahnya yang lembut, “Mira, apa kamu berpikir seperti mereka bahwa kita berbeda? Apa kamu telah berpikir sama dengan mereka bahwa kelompokmu adalah Islam coret, kelompok di luar Islam, atau bahkan agama baru?!” Suara Hamzah agak meninggi. Hamzah tak bermaksud marah pada kekasihnya, dia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa kekasihnya itu tidak memiliki sama sekali pikiran seperti itu. Hal yang memberat di kerongkongan Mira pun akhirnya pecah berupa buliran-buliran bening yang menggelundung lembut dari kedua matanya dan kembali membasahi bantal putihnya. Tangisan itu berat, persis seberat tangisan yang akhirnya pecah di alun-alun Wonosobo beberapa hari yang lalu.

Mira mendengar suara TV dari channel MTA[7] di ruang tengah telah hidup. Rupanya dia tertidur setelah lelah menangis. Perutnya telah melilit karena belum terisi apapun semenjak kemarin. Nazm-nazm berbahasa Urdu itu masih setia berputar, menemani kepedihannya. Mira ingin beranjak ke dapur untuk mengisi perutnya, tapi dia malu karena dari kemarin selalu menolak setiap ummi membujuknya untuk makan barang sedikit saja. Barangkali bukan karena itu, perasaan malu teramat sangat yang tak bisa ditanggunggnya pada abah-umminya justru jika mengingat peristiwa di KUA kemarin.

Potongan peristiwa kemarin mau tak mau menyusup lagi pada benaknya. Dia melihat Hamzah menyambutnya dengan senyum manis juga rona optimis pada wajahnya. Dia juga melihat Hamzah bernegosiasi dengan beberapa petugas KUA yang lama-lama negosiasi itu tampak berganti seperti perdebatan. Mira juga melihat satu di antara beberapa petugas KUA mengacungkan telunjuk ke arah pintu. Lalu Hamzah menggebrak meja. Mira tersentak karena bunyi gelas pecah yang jatuh dari tangannya. Dia melihat air itu mengalir di lantai kamarnya, dan pecahan-pecahan gelas itu juga berserakan di sana. Pecahan-pecahan itu bergerombol. Dilihatnya gerombolan pecahan kaca itu. Semakin dilihatnya, gerombolan pecahan itu terlihat seperti gerombolan massa yang telah mengepung KUA. Beberapa kelompok massa berteriak-teriak di luar. Dilihatnya para petugas KUA panik, begitu pula kepanikan yang menggantung pada wajah Hamzah. Sungguh Mira tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tapi dia merasa takut. Sangat takut. Dia ingin berlindung di balik wajah Hamzah yang selalu memancarkan keoptimisan, tapi wajah itu tak ditemukannya lagi. Wajah Hamzah panik dan ketakutan. Mira mencari mata Hamzah. Mata yang selama ini selalu meyakinkannya. Mata optimis yang membuatnya berani jika nantinya harus menghadapi sangsi sosial dari jema’atnya. Yang membuatnya rela menanggung kemarahan besar dari abahnya. Mira kembali menangis dan kini tanpa sedu-sedan. Gerombolan pecahan-pecahan kaca yang diraihnya dan digenggamnya kuat seakan menggenggam kemarahan, telah menyatu dengan cairan berwarna merah yang keluar dari balik kulit dan dagingnya.

Mira bergetar dan melihat beberapa pemuda yang tak lain teman Hamzah masuk. Mereka berbicara pada Hamzah dengan panik sesekali menoleh ke arahnya yang sedari tadi duduk di deretan bangku berjarak tujuh meter dari Hamzah, calon suaminya. Mira melihat Hamzah mengangguk lemah berhasil dibujuk teman-temannya. Mira melihat Hamzah menatapnya sendu. Mira juga melihat kaki Hamzah akan bergerak ke arahnya, Mira sudah ingin mendengar hasilnya juga ingin bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi satu di antara beberapa temannya mencegahnya. Mira melihat mata Hamzah tercekat juga takut menatap matanya. Hamzah memalingkan wajahnya dari mata Mira saat teman-temannya segera menangkap tangannya dan membawanya keluar dari pintu belakang dengan cepat.

Mira duduk sendiri di bangku. Punggung Hamzah telah hilang dari pandangannya. Dua petugas KUA meliriknya sebentar, lalu keluar, barangkali menghadapi kelompok massa. Mira duduk sendiri di bangku, lalu ditemani deraian air yang berlinang dari matanya. Mira mungkin mengerti namun takut untuk mengakui kemengertiannya.[]

Yogyakarta, 15 Mei 2015

*Santri Putri RU I
bergiat di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) dalam penelitian Ahmadiyah.



[1] Istilah panggilan untuk para gadis Ahmadi selepas umur 15 tahun sekaligus menjadi istilah perkumpulannya

[2] Istilah untuk perempuan Ahmadi mulai umur 7-15 tahun

[3] Istilah, gelar, dan sebutan untuk tokoh Ahmadi yang kemampuan agamanya dipandang bagus dan dipercaya bisa melakukan “tabligh;menyampaikan Islam” kepada jama’ah dan ummat manusia.

[4] Istilah panggilan untuk para pemuda Ahmadi selepas umur 15-40 tahun

[5] Sebuah sarana perjodohan antara LI dan khudam, dan menjadi program rutin.

[6] SKB 3 Mentri adalah Surat Keputusan Bersama 3 mentri yaitu Menteri Agama, Menteri Luar Negeri RI, dan Jaksa agung pada tanggal 09 Juni 2008


[7] Moslem Television Ahmadiyya. Salah-satu media elektronik Ahmadiyyah yang berpusat di London. Pertama kali didirikan oleh Khalifah ke empat yaitu Mirza Tahir Ahmad

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

1 komentar:

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top