[sumber] |
Yang
menciptakan kebahagiaan hanyalah pikiran kita. Begitulah kira-kira kesimpulan
dari sebuah buku yang baru saya baca. Kita menjadi bahagia bukan karena kita
memiliki apa yang kita dambakan, tapi karena pikiran mendukung kita untuk
bahagia.
Tentang kebahagiaan, sebenarnya adalah pembahasan klise yang mungkin
sudah dibahas oleh banyak generasi. Mulai dari zaman para filsuf yang
menebar banyak kata-kata di jalanan agar orang berlaku bijak untuk bisa
bahagia, zaman para nabi, hingga zaman ketika orang sudah merasa bahagia
walaupun tidak memiliki handphone pintar.
Dan zaman kita saat ini, orang lebih kompleks memaknai kebahagiaan. Kita
mendefinisikan bahagia dengan logika Matematika. Kebahagiaan-pun diukur dengan
tambah-tambahan, perkalian, pengurangan dan pembagian sebagaimana pelajaran
Sekolah Dasar.
Karena kebahagiaan yang diukur inilah, setiap tahun sejumlah lembaga
Internasional memilih kota-kota di dunia sebagai kota paling bahagia. Ukuran
kebahagiaan yang mereka standar-kan diantaranya kondisi kota, kesejahteraan,
pendidikan, dan berapa sering penduduk di kota itu rekreasi dalam setahun.
Karena ukuran tentang kebahagiaan yang menciptakan adalah orang Eropa dan
Amerika Serikat, maka Kota yang bahagia ‘versi’ mereka yang akan jawara.
Tidak mungkin, kota-kota di Afrika yang terpencil atau di daerah-daerah yang
tidak pernah mereka kenal akan terpilih.
Semisal, penduduk tengger yang sebenarnya mereka sangat bahagia, apalagi
ketika sore hari sepulang berkebun, mereka menyeduh kopi dengan ditemani api
dari tungku yang menyala samar-samar. Hidup mereka, seolah tidak kurang apa-apa
lagi.
Masyarakat tengger atau suku pedalaman di berbagai belahan dunia lain,
terhindar dengan kebahagiaan yang menganut teori Matematika. Mereka sudah
merasa bahagia meski tidak mempunyai mobil dan rumah mewah. Dua barang ini,
merupakan salah satu ukuran kebahagiaan masyarakat perkotaan.
Karena kebahagiaan yang tidak terukur dan tidak mempunyai keinginan
berlebihan, masyarakat pedalaman juga terhindar dari kehidupan seperti mesin.
Kita tahu, karena mengejar materi yang menjadi ukuran kebahagiaan, masyarakat
perkotaan mengejar dunia dari pagi buta dan kadang-kadang sampai larut malam.
Filsuf Sosialis Karl Marx pernah menyinggung soal ini. Menurut dia,
masyarakat Industri yang kebanyakan hidup di perkotaan, hidup mereka harus
selalu memproduksi layaknya mesin. Karena inilah, masyarakat industri akan
terasing dari banyak hal, seperti dari lingkungan kerja, dari tetangga, dan
dari apa yang mereka produksi.
Apakah dengan seperti itu kita akan bahagia. Sekali lagi, ini tergantung
dengan pikiran kita. Jika kita menganggap tubuh kita sebagaimana mesin yang
harus memproduksi setiap saat, mungkin kita akan bahagia menjadi ‘mesin’. Jika
berfikir sebaliknya, atas situasi seperti itu, kita tidak akan bahagia.
Dan kehidupan yang seperti mesin akan berujung pada keriuhan, disitulah
kita membutuhkan relaksasi. Kita membutuhkan keadaan sunyi untuk bisa
bercakap-cakap dengan pikiran kita, atau untuk sejenak menenangkan pikiran dari
berbagai keriuhan. Dalam ilmu Psikologi, relaksasi adalah menciptakan keadaan
tenang untuk memasukan energi positif kedalam pikiran.
Beberapa hari terakhir, saya sedang menikmati relaksasi dengan mendengarkan
musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono. Mendengarkan musikalisasi Puisi yang
dibawakan oleh Ari dan Reda ini, saya seperti bisa mengobrol dengan pikiran
yang saban hari saya paksa untuk memikirkan yang berat-berat, dan terkadang
yang saya pikirkan itu tidak terlalu penting.
Paling banyak, saya mendengarkan musikalisasi Puisi ini sambil tiduran di
atas kasur dengan mata sedikit terpejam. Disitulah, saya merasa tenang dan
terhindar dari keriuhan yang melelahkan.
Pada musikalisasi Sapardi ini, Puisi yang biasa saya baca biasa-biasa saja
tapi sangat syahdu ketika didengarkan. Sejumlah puisi itu diantaranya
berjudul Pada Suatu Pagi Hari, Pada Suatu Hari Nanti dan Aku Ingin.
Sajak-sajak puisi ini menurut saya cocok untuk orang yang ingin menyepi dan
bercakap-cakap dengan pikiran. Ketika mendengar puisi Pada Suatu Hari Nanti misalnya,
saya membayangkan wajah Sapardi yang kulitnya mulai keriput, dan
mempersembahkan puisi itu kepada sang istri. Begini bunyi syair-nya; Pada
Suatu Hari Nanti, Jasadku Tak Akan Ada Lagi. Tapi Dalam Bait-Bait Sajak Ini,
Kau Tak Kurelkan Sendiri. Pada Suatu Hari Nanti, Suaraku Tak Terdengar Lagi,
Tapi Diantara Larik-Larik Sajak Ini Kau Akan Tetap Siasati.
Atau dalam Puisi Pada Suatu Pagi Hari, saya membayangkan sedang
berjalan di lorong sepi, sedih, dan ingin menangis. Karena tidak ingin ada yang
mengetahui kalau saya sedang nangis, saya melintas ketika hujan sedang turun.
Ah, puisi tentang hujan memang selalu romantis dan terkadang tragis.
Begini penggalan puisi tersebut; Pada Suatu Pagi Hari, Ia Ingin Sekali
Menangis Sambil Berjalan Tunduk Sepanjang Lorong Itu. Ia Ingin Pagi Itu, Hujan
Turun Rintik-Rintik dan Lorong Sepi Agar Dia Berjalan Sendiri Saja Sambil
Menangis dan Tak Ada Orang Bertanya Kenapa.
Setelah melakukan relaksasi itu, saya merasa lebih fresh atau
mungkin lebih bahagia. Dengan Puisi yang kata-katanya sederhana, saya sudah
menenangkan pikiran dan mengajak pikiran untuk berbahagia. Meski hanya dengan
bait-bait syair.
Dan kitapun bisa relaksasi di mana dan kapan
saja. Ketika pikiran kita lelah, disitulah anda butuh menenangkannya. Dengan
cara apapun, semisal dengan menyeduh kopi dan menghangatkan diri disamping
tungku, dan bercakap-cakap dengan api sebagaimana yang dilakukan suku tengger
sepanjang sore.[]
0 komentar:
Post a Comment