Tuesday, May 27, 2014

Di Kapal Bukit Raya

6:17 AM

credit photo: here.

Oleh: Muhammad Madarik

Ibnu Taslim berjalan gontai setelah hampir sejam mengantri bersama penumpang lain di pintu keluar ruang tunggu penumpang. Ia kemudian memperlambat langkahnya di antara pejalan lain sejenak setelah pandangannya mengarah ke kapal besar yang kokoh bersandar di pelabuhan selat Madura. Kapal laut “Bukit Raya” itu terasa sedikit mengobati hatinya yang gundah. Perlahan kakinya dia langkahkan kembali setelah sigaretnya menyala di antara jemari tangan kanannya. Ibnu menghisap sigaret mild itu dalam-dalam sembari merapatkan diri ke dalam barisan antrian para penumpang menuju anak tangga besi besar ini sesaat seusai rokok kesukaan banyak teman di kampusnya itu dia hempaskan.

Sesampainya di dak atas ia langsung berlari sebagaimana banyak penumpang kelas ekonomi berhamburan masuk ke pintu-pintu dak bawah untuk mencari tempat masing-masing. Setelah naik-turun dan keluar-masuk dak, Ibnu akhirnya menemukan tempat yang agaknya masih kosong di antara beberapa tas milik penumpang.

“Maaf, apa di sini masih kosong, bu?” Tanya Ibnu sambil mengusap tetesan air peluh di dahinya kepada ibu setengah tua yang duduk menata tas dan kardus bawaannya.

“Oh ya nak, kalau ini tempat anakku, terus yang sebelah sana bapaknya. Nah, itu kosong, tapi agak minggir,” jawab ibu yang didampingi seorang gadis hitam manis itu.

“Bapaknya kemana, bu?” Tanya Ibnu sembari meletakkan tas ransel dan tas kreseknya.

Ndak tahu, Nak. Tadi keluar sama adiknya Sida ini. Mungkin ke warung di atas,” jawabnya lagi. “Anak ini dari mana? Kok sendirian saja?”

“Ya, bu. Saya dari Malang. Saya disuruh pulang oleh bapak,” jawab Ibnu. Tak lama kemudian notasi walk on the seaside berdendang dari ponselnya. Ponsel yang ada di kantong bajunya itu ia ambil dengan sigap.

Ye pak, aku dah di kapal pak,” suara Ibnu setelah hp diangkat. “Ye pak,” kata Ibnu sambil mengangguk sepertinya mendengarkan suara dengan begitu hikmatnya.

Ye pak, mo ape agik,” jawabnya. Lalu kembali terdiam menyimak kata-kata bapaknya. “Aku pasrah pak. Ape kata bang Suli same bang Fahri ja’, aku dukung die bah. Ye pak. Ao’,” Ibnu mengangguk sedetik kemudian menutup ponselnya.

“Ada apa, nak. Kok kayaknya serius banget. Itu tadi dari bapaknya?” Tanya ibu sambil berkipas koran.

“Ya bu, dari bapak. Ibu saya sekarang ini sedang sakit, makanya saya disuruh pulang. Kata bapak, kondisinya sekarang semakin parah. Dia tanya ke saya, bagaimana kalau dibawa ke rumah sakit saja. Ya aku terserah abang saya bu,” jawab Ibnu sambil beranjak turun dari tempatnya.

“Mau kemana nak?” Tanya ibu itu.

“Mau ke kantin dulu bu, cari kopi,” jawab Ibnu.

“Oh ya bu, saya titip barang-barang ini. Mohon maaf bu,”

“Ya. Ndak apa-apa, saya tidak akan keluar. Saya sama Rosida ini nak.” 

Ibnu Taslim menjadi lega mendengar jawaban ibu itu. Lalu ia melangkah melewati ruang dan menaiki dak. Begitu sampai pintu keluar, pandangnya tertuju pada sosok gadis yang tinggi semampai. Kaos hitam, ditambah tali tas kecil yang menyamping dan melingkari tubuh menambah kecantikannya. Hiruk-pikuk kelas ekonomi dan asap rokok yang memutihkan ruangan mayoritas rakyat jelata itu seakan sirna seketika, sesaat mata Ibnu menyorot rupa menawan perempuan ini. Gadis itu berjalan bersama laki-laki ganteng berkacamata di lorong kelas satu kapal ini. Pria sebayanya yang berambut pirang dan bercelana jins itu mungkin pacar atau temannya, pikir Ibnu sejenak setelah dibuat tertegun oleh paras ayu anak hawa ini.

Sesaat kemudian, Ibnu meneruskan jalannya menuju arah kafe di belakang kapal ini. Tetapi wajah gadis itu belum hilang sepenuhnya di benak anak jangkung ini, kendati pun hamparan lautan yang mulai membiaskan sinar jingga sang mentari yang beranjak keperaduannya. Malah suasana begini membuat kalbunya kian berkecamuk antara bayangan sang ibu yang pada ketika ini sedang mengerang kesakitan dan kelebatan gambaran wajah yang barusan ditatapnya. Ibnu menghela nafas sembari memesan kopi panas dan makanan ringan, lalu memilih tempat duduk dipojok belakang. Sesaat setelah duduk, pesanan sudah disuguhkan oleh pelayan sambil mempersilahkan dengan lembut
dan santun. Dengan merogoh rokoknya, Ibnu mengangguk seraya tersenyum menyikapi karyawan kafe yang seketika itu membalikkan badannya.
Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembaliKau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalaniAku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamuAku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia Dengarlah aku suara hati ini memanggil namamuKarena separuh aku dirimu Ku ada disini pahamilah kau tak pernah sendiriKarena aku selalu didekatmu saat engkau terjatuhAku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamuAku ingin kau pahami cintamu bukanlah dia
Hempasan ombak seakan mengiringi matahari yang betul-betul telah tenggelam di balik ufuk barat. Desiran angin malam dan bunyi mesin kapal yang melengkapi nada yang dilantunkan oleh NOAH menyempurnakan khayalan Ibnu berlayar di laut lepas. Sesekali hisapan kretek menghantarkan lamunannya semakin menjauh dari raganya. Tetapi wajah itu nyata-nyata selalu berkelebat di antara deretan panjang jalan pikirannya. Begitu cantik gadis itu. Rambut lurus sebahu sebagian terurai ke depan cukup membuat laki-laki siapapun akan berdecak nan menghela nafas dalam-dalam. Di sela yang lain, wajah teduh ibunya menyela di antara lamunannya. Bagimana kondisinya sekarang? Akankah garis-garis kerentaan di raut wajahnya kian mengkerut akibat sakit yang kini dideritanya?  

“Heih mas, melamun ya?” Suara itu menghentak. Sesosok gadis telah duduk di hadapan Ibnu. Sontak saja lamunan anak muda perokok ini menjadi buyar.

“Hai, kamu? Dari mana?” sesaat setelah keterkejutan Ibnu menghilang.

“Lagi apa ke sini?”

“Disuruh menjemput adik sama ibu. Kasihan adik khawatir kena angin malam,” jawab gadis itu.

“Sudah ketemu apa belum?” Tanya Ibnu lagi.

“Belum, mas. Mungkin dia mengajak bapak ke atas,” jawab gadis berjilbab ini.

“Mas di Malang kerja apa?”    

“Aku belum kerja, Da. Aku masih kuliah. Sekarang masih semester empat,” jawab Ibnu polos dan datar saja.

Perbincangan ini akan terus berlanjut kalau saja tidak ada panggilan suara anak kecil.

“Yu Rasida! Ayo kita turun!” Kata anak itu sambil digandeng ayahnya. Tak lama setelah itu, Rasida pamit hendak turun. Di sela-sela hisapan rokoknya, Ibnu mengangguk dengan terus mengumbar senyum.

Lamunan yang beberapa detik mulai terbangun seiring dengan menghilangnya sosok Rasida, kembali sirna tatkala pandangan Ibnu tertuju kepada seorang gadis yang mengarah ke kafe ini. Gadis inilah yang turut menghiasi relung bawah sadarnya semenjak tadi petang. Sejurus kemudian ia memilih kursi tengah setelah mengambil minuman botol dari lemari es yang ada di samping kasir. Ibnu menjadi kaget ketika gadis itu menyulut rokok yang sama dengan rokoknya setelah sebelumnya menenggak minumannya. Duhai cantiknya gadis itu, bak bulan purnama yang tengah berkenan menyiratkan sinarnya ke atas hamparan air laut.

Angin malam yang semakin kencang di tengah laut lepas tidak mampu menjadikan anak muda ini tertusuk. Kecamuk rasa antara keinginan menghampiri lalu berkenalan dan sejuta rasa membuat Ibnu kebal terhadap hembusan angin di atas kapal. Keraguan sempat menyeruak pikirannya, tetapi tekad pemuda Khatulistiwa ini membawanya beranjak dari tempat duduk menghampiri gadis itu.

“Hei, boleh aku temani?” Sapa Ibnu setelah menepis semua syakwasangka di dalam dirinya. Sambil meletakkan gelas kopi yang tinggal separuh itu, ia menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan gadis di depannya. Dengan sedikit mendongak, gadis ini membalas uluran tangan Ibnu.

“Ibnu Taslim,” ucap Ibnu di tengah keterpesonaannya betapa sangat lembut tangan ini.

“Fania,” jawab gadis ini singkat.

“silahkan duduk!”

“Oh ya, terima kasih,” balas Ibnu agak gelagapan. Lalu ia menuruti perintah Fania sambil merogoh rokoknya seusai posisi duduknya betul-betul dibuat tepat. Ibnu menyulut dan menghisap dalam-dalam untuk sekadar menutupi sikap groginya.

“Ngomong-ngomong rokok kita sama ya,” kata Ibnu membuka perbincangan.

“Ya,” ucap Fania dingin.

“Kamu dari mana?” Ibnu lagi.

“Aku dari Surabaya mas, lalu mas ini dari mana?” Tegasnya dan balik bertanya.

Perasaan Ibnu mulai berubah tenang setelah pendekatannya tidak rumit. Ternyata gadis ini mudah diajak bersahabat, pikir Ibnu.

“Oh, aku dari Malang,” jawab Ibnu setelah beberapa saat ia tertegun dengan keadaan yang dirasa bagai mimpi.

Perkenalan dua anak manusia ini mengantarkan mereka menembus malam yang kian larut. Senyum renyah, gelak tawa acapkali mengiringi obrolan mereka berdua, meskipun kafe sudah tutup dan keadaan kapal telah senyap.

***

“Mas, mas, bangun!” Gugah Rasida dengan hati-hati.

“Ee, jam berapa ini?” Geliat Ibnu seraya mengusap matanya kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

“Sudah setengah sembilan. Kamu tidurnya terlalu malam ya?” Ucap gadis berkerudung ini sambil merapikan tempat tidur Ibnu. Tas ransel yang dijadikan bantal dan sarung yang dibuat selimut ia tata kembali. Ponsel yang tergeletak di tengah tempat tidur ia lihat sebentar, lalu ia pinggirkan begitu rupa. Dalam sekejap, tempat tidur itu sudah sedap dipandang.

“Sudah, mas, cepat mandi mumpung sepi! Barusan aku ambilkan jatah makan.”

Ibnu mengangguk lalu meninggalkan Rasida dengan langkah agak gontai.

***

Sore yang indah turut membingkai suasana berselimut kesyahduan bagi dua makhluk yang betul-betul lekat. Riak-riak kecil permukaan air laut begitu setia menghantarkan biduk cinta berlayar jauh dan berlabuh di pulau kesetiaan. Rona jingga matahari yang memancar dari arah barat lalu membias di tengah hamparan samudera luas senantiasa membius setiap anak insan yang sedang dimabuk kasmaran.
Sudah maafkan aku sangkalah salahkuDan bila kau tetap bisu ungkapkan salahkuDan aku sifatku dan aku khilafku dan aku cintaku dan aku rindukuSudah lupakan semua segala berubahDan kita terlupa dan kita terlukaDan aku sifatku dan aku khilafku dan aku cintaku dan aku rinduku
 Kutanya malam dapatkah kau lihatnya perbedaan yang tak terungkapkanTapi mengapa kau telah berubah ada apa denganmu oo ohHanya malam dapat meleburkan segala rasa yang tak terungkapkan  Tapi mengapa kau telah berubah ada apa denganmu
Nyanyian Ariel dari corong kafe mampu menenggelamkan seorang Ibnu menemukan mutiara-mutiara cinta yang selalu berkilauan. Kecantikan Fania bak permata di dalam danau bening menjelmakan semua perasaan Ibnu benar-benar melayang di atas kebiruan langit yang maha indah. Tidak terasa sore yang teduh mulai diselimuti gelapnya malam. Sorot sang surya yang perlahan meredup kini tak menyisakan sinarnya. Kepekatan malam diperindah oleh pancaran rembulan merebah pada setiap permukaan. Selaksa bintang-bintang yang bertabur di langit kian mempercantik alam raya. Untaian kerlip lampu penuh warna dalam kapal yang terapung menambah suasana malam semakin syahdu bagi Ibnu.

Kini, Ibnu nyata-nyata berubah menjadi perjaka liar. Ia tampil bagaikan singa lapar dan bengis yang siap setiap saat memangsa dan merobek semua lawannya. Darah muda yang mengalir di sekujur tubuhnya memuncak hebat. Ibnu Taslim benar-benar laki-laki perkasa di hadapan Fania, gadis cantik nan gemulai. Bagi Ibnu, dinginnya kota Malang seakan menjadi sebuah daerah yang tak pernah ia singgahi sepanjang hidupnya. Terpaan angin yang terus mengencang di malam yang semakin gulita dan sunyi hanya terasa sepoi-sepoi belaka di kulit anak muda ini. Alunan musik dari kafe yang sudah digantikan desiran angin dan bunyi mesin kapal tak mengubah kemasyukan Ibnu masuk dalam kubangan kehangatan yang diberikan Fania, perempuan muda yang baru dikenal di dalam pelayaran ini.

Kecamuk rasa perih dalam diri Ibnu telah musnah tiada berbekas sama sekali. Jeritan sukma pada waktu-waktu silam akibat teringat sang ibu tercintanya yang sedang mengerang kesakitan tak lagi menyesakkan dada anak ketiga ini. Cekung kolong mata dan kerut jidat ibunya tak lagi membayang di pelupuk matanya. Keriput muka ibu sebab telah di makan usia dan penyakit yang diderita, telah benar-benar terhempas dari relung kalbunya yang terdalam. Kabar kondisi kesehatan sang “keramat” yang terus menurun dari ayah beberapa saat lalu telah membusuk dalam tumpukan sampah pikirannya.

***

“Mas Ibnu, bangun!” Rasida menggoyang tubuh Ibnu dengan lembut. “Larut lagi tidurnya ya?”

Seperti kemarin malam, Ibnu langsung menggeser tubuhnya ke pinggir tempat tidur. Sementara gadis yang bertipikal keibuan ini mengemas barang-barang Ibnu dengan cekatan.

“Mas, berisi apa tas ini, kok agak berat?”

“Ya, laptop, charger, buku, kertas tugas kuliah dan pakaian, Da,” Tukas Ibnu lirih sedetik kemudian berjalan ke kamar mandi.

***

Sore ini merupakan terakhir kali kesaksian sang fajar menyingsing di ufuk barat bagi Ibnu  dan Fania di geladak belakang kapal ini. Rasa gundah dan gelisah anak Borneo ini tak dapat disembunyikan, sebab tidak lama lagi perahu besar ini akan bersandar di dermaga Kapuas Pontianak. Merana di kalbu mampu menyemburkan lara yang dalam di raut wajah Ibnu. Galau yang terus merasuki diri anak ini bagaikan belenggu besi yang menggelayuti batinnya. Hanya usapan dan belaian lembut dari tangan gemulai Fania yang meringankan perih nestapa perpisahan yang akan terjadi.  

Sinar sang mentari yang mulai redup cuma menyisakan bias kemerahan di langit-langit kota Kalimantan Barat. Pepohonan kebun dan kelapa melambaikan dedaunan seakan mengucapkan selamat datang bagi segenap penumpang di tanah Khatulistiwa. Hilir-mudik kapal besar dan kecil lengkap dengan kerlap-kerlip lampunya sudah mulai terlihat di kawasan sungai Kapuas Besar. Rumah-rumah penduduk dan bangunan yang berada di pinggir sungai menjadi pemandangan menyegarkan bagi orang yang sejak kamarin terombang-ambing di atas kapal di tengah laut yang tanpa batas.
Ibnu yang duduk di dekat Fania tetap asyik-masyuk dengan sejuta rasa mengitari perasaannya. Kafe di kapal ini selalu menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya bagi kedekatan hubungan keduanya. Sementara semua orang sibuk dengan segala persiapan turun dari kapal, Ibnu dan Fania bagaikan telah terbang bersama mimpi-mimpi keduanya. Seolah mereka berdua hanya berada di taman rumput yang ditumbuhi kayu-kayu rindang dengan bunyi kricik mata air yang mengucur bening di pancoran. Bagi Ibnu, seakan tiada lagi yang hendak dijamah dari sekian asanya kecuali percintaan ini selalu dijalani tanpa akhir. Bawaanku memang tidak banyak, sekelumit kalimat ini yang terbersit dalam benaknya.

“Mas, sudahlah. Ayo kita turun,” ajak Fania. “Orang-orang sudah siap turun mas.”

Dengan berat hati, Ibnu mengiyakan pinta Fania. Di dak pertama ini, Ibnu melepaskan tangan Fania untuk segera masuk kamar kelas satu. Sedangkan Ibnu menuruni tangga menuju ruang tempat tidurnya dengan langkah yang lunglai.

“Tasku mana, Da?” Tanya Ibnu dengan ekspresi terhenyak setelah melihat tas ransel dan bungkus kreseknya tidak ada di tempat. Rasida hanya membungkam sambil menggelengkan kepala.

“Nak, tadi ada yang mengambil tas kamu. Dia mengaku teman kamu, ya aku persilahkan,” ungkap Ibu menjelaskan peristiwanya.

“Ciri-ciri orang itu bagaimana, Bu?” sergah Ibnu sambil duduk.

“Anaknya ganteng, pakai kacamata, dan rambutnya pirang,” penjelasan ibu. Ini pasti temannya Fania, pikir Ibnu.

“Coba kejar saja, nak, kalau memang tidak janjian!”

Dalam sekejap Ibnu sudah melesat menyusuri pintu-pintu dak yang mulai ramai orang. Setelah sampai di dak pertama, ia langsung menuju ke kamar kelas satu. Ternyata semua kamar kelas ini sudah kosong dari penghuni. Ia lalu mencoba menerobos kerumunan antrian para penumpang yang sama-sama hendak turun di pintu keluar. Dengan susah-payah dan nafas yang terengal-engal, akhirnya Ibnu dapat melepaskan diri dari himpitan banyak orang. Sedikit lega, ia menghela nafas seraya melongok dari pagar besi ke kiri, kanan, dan termasuk ke arah tangga turun yang sesak penumpang, tetapi ia tak temukan sosok yang dicarinya. Betapa kaget Ibnu seusai memandang ke bawah, ia melihat Fania sedang berjalan bersama lelaki yang pernah ia jumpai dengan membawa tas ransel dan kresek miliknya menuju mobil yang tidak jauh jaraknya. Mereka berdua terlihat tertawa kesenangan, tampak jelas terkesan telah dapat memangsa korban-korbannya dengan modus menipu di balik umpan.

Segala perasaan kesal dan amarah tertimbum di ubun-ubun Ibnu menonton pemandangan memilukan ini. Tak lama ponselnya berdering lalu segera ia mengangkat setelah tahu itu telepon dari abangnya.

“Ya, bang,” Ibnu tertegun sejenak.

“Kapan bang?” Suaranya agak bergetar. Dengan menahan napas panjang, pipi Ibnu telah terbasahi butiran air mata. Sesaat kemudian ponsel Ibnu beberapa kali berbunyi nada standar, pertanda ada pesan masuk.

Mas, aku Rasida. Mas, aku ikut berduka cita atas wafatnya ibu kamu. Aku dengar dari bang Suli barusan. Mohon maaf, aku mendapat nomor ini saat mengemas barang-barangmu setelah kamu bangun tidur.

Mas, terkadang rasa kecewa yang mendalam itu disebabkan oleh adanya harapan terhadap sesuatu yang tidak ada.”

Mas, saat kamu ingin menyerah, ingatlah kembali alasan mengapa kamu selama ini dapat bertahan.”

Mas, gagal itu adalah hal yang biasa, tapi kegagalan yang sesungguhnya adalah saat kita menyerah dan berhenti untuk mencoba.”

Mas, janganlah kamu mencari kekurangan orang lain, di saat mereka bersedia untuk menerima kekuranganmu.”

Mas, orang yang paling berbahagia ialah sosok yang tidak pernah merasa memiliki, karena ia tidak akan pernah merasa kehilangan.”

Sesak di dada Ibnu mulai terasa ringan sejenak setelah pesan itu terbaca. Petuah dari Rasida itu ternyata mampu mengobati duka mendalam, kendati bayangan wajah mendiang ibunya kembali terngiang dalam benaknya. Ibnu mengayunkan langkah-langkahnya dengan berat menuju tangga kapal yang mulai sepi. Bang Suli, sang kakak yang menjemputnya, telah menunggu di bawah. Tuhan, ampuni segala dosaku kepada ibu, selintas bincang Ibnu dalam jiwanya seraya mengibas lembut air mata yang mengalir dari garis kelopak matanya.
hai manusia hormati ibumu
yang melahirkan dan membesarkanmudarah dagingmu dari air susunyajiwa ragamu dari kasih sayangnyadialah manusia satu-satunyayang menyayangimu tanpa ada batasnya doa ibumu dikabulkan Tuhan, dan kutukannya jadi kenyataanrida Ilahi karena ridanya, murka Ilahi karena murkanyabila kau sayang pada kekasih, lebih sayanglah pada ibumubila kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu bukannya gunung tempat kau memintabukan lautan tempat kau memujabukan pula dukun tempat kau menghibabukan kuburan tampat memohon doatiada keramat yang ampuh di duniaselain doa ibumu jua
Sesampainya di bawah, Ibnu langsung memeluk abangnya dengan kucuran air mata dari kakak-adik ini. Suara Rhoma Irama dari warung di himpitan bangunan gudang pelabuhan menjadikan kesedihan semakin terasa menganga bagi Ibnu, hingga akhirnya lagu tersebut mengiringi kepergian kedua bersaudara itu dengan sepeda motornya.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top