credit photo: here. |
Oleh: Muhammad Madarik
Ibnu Taslim
berjalan gontai setelah hampir sejam mengantri bersama penumpang lain di pintu
keluar ruang tunggu penumpang. Ia kemudian memperlambat langkahnya di antara pejalan
lain sejenak setelah pandangannya mengarah ke kapal besar yang kokoh bersandar
di pelabuhan selat Madura. Kapal laut “Bukit Raya” itu terasa sedikit mengobati
hatinya yang gundah. Perlahan kakinya dia langkahkan kembali setelah sigaretnya
menyala di antara jemari tangan kanannya. Ibnu menghisap sigaret mild itu
dalam-dalam sembari merapatkan diri ke dalam barisan antrian para penumpang
menuju anak tangga besi besar ini sesaat seusai rokok kesukaan banyak teman di
kampusnya itu dia hempaskan.
Sesampainya di
dak atas ia langsung berlari sebagaimana banyak penumpang kelas ekonomi
berhamburan masuk ke pintu-pintu dak bawah untuk mencari tempat masing-masing. Setelah
naik-turun dan keluar-masuk dak, Ibnu akhirnya menemukan tempat yang agaknya
masih kosong di antara beberapa tas milik penumpang.
“Maaf, apa di sini
masih kosong, bu?” Tanya Ibnu sambil mengusap tetesan air peluh di dahinya
kepada ibu setengah tua yang duduk menata tas dan kardus bawaannya.
“Oh ya nak,
kalau ini tempat anakku, terus yang sebelah sana bapaknya. Nah, itu kosong, tapi
agak minggir,” jawab ibu yang didampingi seorang gadis hitam manis itu.
“Bapaknya kemana,
bu?” Tanya Ibnu sembari meletakkan tas ransel dan tas kreseknya.
“Ndak
tahu, Nak. Tadi keluar sama adiknya Sida ini. Mungkin ke warung di atas,”
jawabnya lagi. “Anak ini dari mana? Kok sendirian saja?”
“Ya, bu. Saya dari
Malang. Saya disuruh pulang oleh bapak,” jawab Ibnu. Tak lama kemudian notasi walk
on the seaside berdendang dari ponselnya. Ponsel yang ada di kantong
bajunya itu ia ambil dengan sigap.
“Ye pak, aku
dah di kapal pak,” suara Ibnu setelah hp diangkat. “Ye pak,” kata
Ibnu sambil mengangguk sepertinya mendengarkan suara dengan begitu hikmatnya.
“Ye pak, mo
ape agik,” jawabnya. Lalu kembali terdiam menyimak kata-kata bapaknya. “Aku
pasrah pak. Ape kata bang Suli same bang Fahri ja’, aku dukung die bah. Ye pak.
Ao’,” Ibnu mengangguk sedetik kemudian menutup ponselnya.
“Ada apa, nak.
Kok kayaknya serius banget. Itu tadi dari bapaknya?” Tanya ibu sambil berkipas
koran.
“Ya bu, dari
bapak. Ibu saya sekarang ini sedang sakit, makanya saya disuruh pulang. Kata
bapak, kondisinya sekarang semakin parah. Dia tanya ke saya, bagaimana kalau
dibawa ke rumah sakit saja. Ya aku terserah abang saya bu,” jawab Ibnu sambil
beranjak turun dari tempatnya.
“Mau kemana
nak?” Tanya ibu itu.
“Mau ke kantin
dulu bu, cari kopi,” jawab Ibnu.
“Oh ya bu, saya
titip barang-barang ini. Mohon maaf bu,”
“Ya. Ndak
apa-apa, saya tidak akan keluar. Saya sama Rosida ini nak.”
Ibnu Taslim
menjadi lega mendengar jawaban ibu itu. Lalu ia melangkah melewati ruang dan
menaiki dak. Begitu sampai pintu keluar, pandangnya tertuju pada sosok gadis
yang tinggi semampai. Kaos hitam, ditambah tali tas kecil yang menyamping dan
melingkari tubuh menambah kecantikannya. Hiruk-pikuk kelas ekonomi dan asap
rokok yang memutihkan ruangan mayoritas rakyat jelata itu seakan sirna
seketika, sesaat mata Ibnu menyorot rupa menawan perempuan ini. Gadis itu
berjalan bersama laki-laki ganteng berkacamata di lorong kelas satu kapal ini.
Pria sebayanya yang berambut pirang dan bercelana jins itu mungkin pacar atau
temannya, pikir Ibnu sejenak setelah dibuat tertegun oleh paras ayu anak hawa
ini.
Sesaat kemudian,
Ibnu meneruskan jalannya menuju arah kafe di belakang kapal ini. Tetapi wajah
gadis itu belum hilang sepenuhnya di benak anak jangkung ini, kendati pun
hamparan lautan yang mulai membiaskan sinar jingga sang mentari yang beranjak
keperaduannya. Malah suasana begini membuat kalbunya kian berkecamuk antara
bayangan sang ibu yang pada ketika ini sedang mengerang kesakitan dan kelebatan
gambaran wajah yang barusan ditatapnya. Ibnu menghela nafas sembari memesan
kopi panas dan makanan ringan, lalu memilih tempat duduk dipojok belakang.
Sesaat setelah duduk, pesanan sudah disuguhkan oleh pelayan sambil mempersilahkan
dengan lembut
dan santun.
Dengan merogoh rokoknya, Ibnu mengangguk seraya tersenyum menyikapi karyawan
kafe yang seketika itu membalikkan badannya.
Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembaliKau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalaniAku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamuAku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia Dengarlah aku suara hati ini memanggil namamuKarena separuh aku dirimu Ku ada disini pahamilah kau tak pernah sendiriKarena aku selalu didekatmu saat engkau terjatuhAku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamuAku ingin kau pahami cintamu bukanlah dia
Hempasan ombak
seakan mengiringi matahari yang betul-betul telah tenggelam di balik ufuk
barat. Desiran angin malam dan bunyi mesin kapal yang melengkapi nada yang
dilantunkan oleh NOAH menyempurnakan khayalan Ibnu berlayar di laut lepas.
Sesekali hisapan kretek menghantarkan lamunannya semakin menjauh dari raganya.
Tetapi wajah itu nyata-nyata selalu berkelebat di antara deretan panjang jalan pikirannya.
Begitu cantik gadis itu. Rambut lurus sebahu sebagian terurai ke depan cukup
membuat laki-laki siapapun akan berdecak nan menghela nafas dalam-dalam. Di
sela yang lain, wajah teduh ibunya menyela di antara lamunannya. Bagimana
kondisinya sekarang? Akankah garis-garis kerentaan di raut wajahnya kian mengkerut
akibat sakit yang kini dideritanya?
“Heih mas,
melamun ya?” Suara itu menghentak. Sesosok gadis telah duduk di hadapan Ibnu. Sontak
saja lamunan anak muda perokok ini menjadi buyar.
“Hai, kamu? Dari
mana?” sesaat setelah keterkejutan Ibnu menghilang.
“Lagi apa ke sini?”
“Disuruh
menjemput adik sama ibu. Kasihan adik khawatir kena angin malam,” jawab gadis
itu.
“Sudah ketemu
apa belum?” Tanya Ibnu lagi.
“Belum, mas.
Mungkin dia mengajak bapak ke atas,” jawab gadis berjilbab ini.
“Mas di Malang kerja
apa?”
“Aku belum kerja,
Da. Aku masih kuliah. Sekarang masih semester empat,” jawab Ibnu polos dan
datar saja.
Perbincangan ini
akan terus berlanjut kalau saja tidak ada panggilan suara anak kecil.
“Yu Rasida! Ayo
kita turun!” Kata anak itu sambil digandeng ayahnya. Tak lama setelah itu,
Rasida pamit hendak turun. Di sela-sela hisapan rokoknya, Ibnu mengangguk
dengan terus mengumbar senyum.
Lamunan yang
beberapa detik mulai terbangun seiring dengan menghilangnya sosok Rasida,
kembali sirna tatkala pandangan Ibnu tertuju kepada seorang gadis yang mengarah
ke kafe ini. Gadis inilah yang turut menghiasi relung bawah sadarnya semenjak
tadi petang. Sejurus kemudian ia memilih kursi tengah setelah mengambil minuman
botol dari lemari es yang ada di samping kasir. Ibnu menjadi kaget ketika gadis
itu menyulut rokok yang sama dengan rokoknya setelah sebelumnya menenggak
minumannya. Duhai cantiknya gadis itu, bak bulan purnama yang tengah berkenan
menyiratkan sinarnya ke atas hamparan air laut.
Angin malam yang
semakin kencang di tengah laut lepas tidak mampu menjadikan anak muda ini
tertusuk. Kecamuk rasa antara keinginan menghampiri lalu berkenalan dan sejuta
rasa membuat Ibnu kebal terhadap hembusan angin di atas kapal. Keraguan sempat
menyeruak pikirannya, tetapi tekad pemuda Khatulistiwa ini membawanya beranjak
dari tempat duduk menghampiri gadis itu.
“Hei, boleh aku
temani?” Sapa Ibnu setelah menepis semua syakwasangka di dalam dirinya. Sambil
meletakkan gelas kopi yang tinggal separuh itu, ia menjulurkan tangan kanannya
untuk bersalaman dengan gadis di depannya. Dengan sedikit mendongak, gadis ini
membalas uluran tangan Ibnu.
“Ibnu Taslim,”
ucap Ibnu di tengah keterpesonaannya betapa sangat lembut tangan ini.
“Fania,” jawab gadis
ini singkat.
“silahkan duduk!”
“Oh ya, terima kasih,”
balas Ibnu agak gelagapan. Lalu ia menuruti perintah Fania sambil merogoh
rokoknya seusai posisi duduknya betul-betul dibuat tepat. Ibnu menyulut dan
menghisap dalam-dalam untuk sekadar menutupi sikap groginya.
“Ngomong-ngomong
rokok kita sama ya,” kata Ibnu membuka perbincangan.
“Ya,” ucap Fania
dingin.
“Kamu dari
mana?” Ibnu lagi.
“Aku dari
Surabaya mas, lalu mas ini dari mana?” Tegasnya dan balik bertanya.
Perasaan Ibnu
mulai berubah tenang setelah pendekatannya tidak rumit. Ternyata gadis ini
mudah diajak bersahabat, pikir Ibnu.
“Oh, aku dari
Malang,” jawab Ibnu setelah beberapa saat ia tertegun dengan keadaan yang
dirasa bagai mimpi.
Perkenalan dua
anak manusia ini mengantarkan mereka menembus malam yang kian larut. Senyum
renyah, gelak tawa acapkali mengiringi obrolan mereka berdua, meskipun kafe
sudah tutup dan keadaan kapal telah senyap.
***
“Mas, mas,
bangun!” Gugah Rasida dengan hati-hati.
“Ee, jam berapa
ini?” Geliat Ibnu seraya mengusap matanya kemudian duduk di pinggir tempat
tidur.
“Sudah setengah
sembilan. Kamu tidurnya terlalu malam ya?” Ucap gadis berkerudung ini sambil
merapikan tempat tidur Ibnu. Tas ransel yang dijadikan bantal dan sarung yang
dibuat selimut ia tata kembali. Ponsel yang tergeletak di tengah tempat tidur
ia lihat sebentar, lalu ia pinggirkan begitu rupa. Dalam sekejap, tempat tidur
itu sudah sedap dipandang.
“Sudah, mas,
cepat mandi mumpung sepi! Barusan aku ambilkan jatah makan.”
Ibnu mengangguk
lalu meninggalkan Rasida dengan langkah agak gontai.
***
Sore yang indah
turut membingkai suasana berselimut kesyahduan bagi dua makhluk yang
betul-betul lekat. Riak-riak kecil permukaan air laut begitu setia menghantarkan
biduk cinta berlayar jauh dan berlabuh di pulau kesetiaan. Rona jingga matahari
yang memancar dari arah barat lalu membias di tengah hamparan samudera luas senantiasa
membius setiap anak insan yang sedang dimabuk kasmaran.
Sudah maafkan aku sangkalah salahkuDan bila kau tetap bisu ungkapkan salahkuDan aku sifatku dan aku khilafku dan aku cintaku dan aku rindukuSudah lupakan semua segala berubahDan kita terlupa dan kita terlukaDan aku sifatku dan aku khilafku dan aku cintaku dan aku rinduku
Kutanya malam dapatkah kau lihatnya perbedaan yang tak terungkapkanTapi mengapa kau telah berubah ada apa denganmu oo ohHanya malam dapat meleburkan segala rasa yang tak terungkapkan Tapi mengapa kau telah berubah ada apa denganmu
Nyanyian Ariel
dari corong kafe mampu menenggelamkan seorang Ibnu menemukan mutiara-mutiara
cinta yang selalu berkilauan. Kecantikan Fania bak permata di dalam danau
bening menjelmakan semua perasaan Ibnu benar-benar melayang di atas kebiruan
langit yang maha indah. Tidak terasa sore yang teduh mulai diselimuti gelapnya
malam. Sorot sang surya yang perlahan meredup kini tak menyisakan sinarnya.
Kepekatan malam diperindah oleh pancaran rembulan merebah pada setiap
permukaan. Selaksa bintang-bintang yang bertabur di langit kian mempercantik
alam raya. Untaian kerlip lampu penuh warna dalam kapal yang terapung menambah suasana
malam semakin syahdu bagi Ibnu.
Kini, Ibnu
nyata-nyata berubah menjadi perjaka liar. Ia tampil bagaikan singa lapar dan
bengis yang siap setiap saat memangsa dan merobek semua lawannya. Darah muda
yang mengalir di sekujur tubuhnya memuncak hebat. Ibnu Taslim benar-benar
laki-laki perkasa di hadapan Fania, gadis cantik nan gemulai. Bagi Ibnu,
dinginnya kota Malang seakan menjadi sebuah daerah yang tak pernah ia singgahi
sepanjang hidupnya. Terpaan angin yang terus mengencang di malam yang semakin
gulita dan sunyi hanya terasa sepoi-sepoi belaka di kulit anak muda ini. Alunan
musik dari kafe yang sudah digantikan desiran angin dan bunyi mesin kapal tak
mengubah kemasyukan Ibnu masuk dalam kubangan kehangatan yang diberikan Fania, perempuan
muda yang baru dikenal di dalam pelayaran ini.
Kecamuk rasa
perih dalam diri Ibnu telah musnah tiada berbekas sama sekali. Jeritan sukma
pada waktu-waktu silam akibat teringat sang ibu tercintanya yang sedang
mengerang kesakitan tak lagi menyesakkan dada anak ketiga ini. Cekung kolong
mata dan kerut jidat ibunya tak lagi membayang di pelupuk matanya. Keriput muka
ibu sebab telah di makan usia dan penyakit yang diderita, telah benar-benar
terhempas dari relung kalbunya yang terdalam. Kabar kondisi kesehatan sang “keramat”
yang terus menurun dari ayah beberapa saat lalu telah membusuk dalam tumpukan
sampah pikirannya.
***
“Mas Ibnu,
bangun!” Rasida menggoyang tubuh Ibnu dengan lembut. “Larut lagi tidurnya ya?”
Seperti kemarin
malam, Ibnu langsung menggeser tubuhnya ke pinggir tempat tidur. Sementara
gadis yang bertipikal keibuan ini mengemas barang-barang Ibnu dengan cekatan.
“Mas, berisi apa
tas ini, kok agak berat?”
“Ya, laptop, charger,
buku, kertas tugas kuliah dan pakaian, Da,” Tukas Ibnu lirih sedetik kemudian
berjalan ke kamar mandi.
***
Sore ini
merupakan terakhir kali kesaksian sang fajar menyingsing di ufuk barat bagi
Ibnu dan Fania di geladak belakang kapal
ini. Rasa gundah dan gelisah anak Borneo ini tak dapat disembunyikan, sebab
tidak lama lagi perahu besar ini akan bersandar di dermaga Kapuas Pontianak. Merana
di kalbu mampu menyemburkan lara yang dalam di raut wajah Ibnu. Galau yang
terus merasuki diri anak ini bagaikan belenggu besi yang menggelayuti batinnya.
Hanya usapan dan belaian lembut dari tangan gemulai Fania yang meringankan
perih nestapa perpisahan yang akan terjadi.
Sinar sang
mentari yang mulai redup cuma menyisakan bias kemerahan di langit-langit kota
Kalimantan Barat. Pepohonan kebun dan kelapa melambaikan dedaunan seakan
mengucapkan selamat datang bagi segenap penumpang di tanah Khatulistiwa.
Hilir-mudik kapal besar dan kecil lengkap dengan kerlap-kerlip lampunya sudah
mulai terlihat di kawasan sungai Kapuas Besar. Rumah-rumah penduduk dan
bangunan yang berada di pinggir sungai menjadi pemandangan menyegarkan bagi
orang yang sejak kamarin terombang-ambing di atas kapal di tengah laut yang
tanpa batas.
Ibnu yang duduk
di dekat Fania tetap asyik-masyuk dengan sejuta rasa mengitari perasaannya.
Kafe di kapal ini selalu menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya bagi
kedekatan hubungan keduanya. Sementara semua orang sibuk dengan segala
persiapan turun dari kapal, Ibnu dan Fania bagaikan telah terbang bersama
mimpi-mimpi keduanya. Seolah mereka berdua hanya berada di taman rumput yang
ditumbuhi kayu-kayu rindang dengan bunyi kricik mata air yang mengucur bening
di pancoran. Bagi Ibnu, seakan tiada lagi yang hendak dijamah dari sekian
asanya kecuali percintaan ini selalu dijalani tanpa akhir. Bawaanku memang
tidak banyak, sekelumit kalimat ini yang terbersit dalam benaknya.
“Mas, sudahlah.
Ayo kita turun,” ajak Fania. “Orang-orang sudah siap turun mas.”
Dengan berat
hati, Ibnu mengiyakan pinta Fania. Di dak pertama ini, Ibnu melepaskan tangan
Fania untuk segera masuk kamar kelas satu. Sedangkan Ibnu menuruni tangga
menuju ruang tempat tidurnya dengan langkah yang lunglai.
“Tasku mana,
Da?” Tanya Ibnu dengan ekspresi terhenyak setelah melihat tas ransel dan
bungkus kreseknya tidak ada di tempat. Rasida hanya membungkam sambil
menggelengkan kepala.
“Nak, tadi ada
yang mengambil tas kamu. Dia mengaku teman kamu, ya aku persilahkan,” ungkap
Ibu menjelaskan peristiwanya.
“Ciri-ciri orang
itu bagaimana, Bu?” sergah Ibnu sambil duduk.
“Anaknya ganteng,
pakai kacamata, dan rambutnya pirang,” penjelasan ibu. Ini pasti temannya
Fania, pikir Ibnu.
“Coba kejar saja,
nak, kalau memang tidak janjian!”
Dalam sekejap
Ibnu sudah melesat menyusuri pintu-pintu dak yang mulai ramai orang. Setelah
sampai di dak pertama, ia langsung menuju ke kamar kelas satu. Ternyata semua
kamar kelas ini sudah kosong dari penghuni. Ia lalu mencoba menerobos kerumunan
antrian para penumpang yang sama-sama hendak turun di pintu keluar. Dengan
susah-payah dan nafas yang terengal-engal, akhirnya Ibnu dapat melepaskan diri
dari himpitan banyak orang. Sedikit lega, ia menghela nafas seraya melongok dari
pagar besi ke kiri, kanan, dan termasuk ke arah tangga turun yang sesak
penumpang, tetapi ia tak temukan sosok yang dicarinya. Betapa kaget Ibnu seusai
memandang ke bawah, ia melihat Fania sedang berjalan bersama lelaki yang pernah
ia jumpai dengan membawa tas ransel dan kresek miliknya menuju mobil yang tidak
jauh jaraknya. Mereka berdua terlihat tertawa kesenangan, tampak jelas terkesan
telah dapat memangsa korban-korbannya dengan modus menipu di balik umpan.
Segala perasaan
kesal dan amarah tertimbum di ubun-ubun Ibnu menonton pemandangan memilukan ini.
Tak lama ponselnya berdering lalu segera ia mengangkat setelah tahu itu telepon
dari abangnya.
“Ya, bang,” Ibnu
tertegun sejenak.
“Kapan bang?”
Suaranya agak bergetar. Dengan menahan napas panjang, pipi Ibnu telah terbasahi
butiran air mata. Sesaat kemudian ponsel Ibnu beberapa kali berbunyi nada
standar, pertanda ada pesan masuk.
“Mas, aku
Rasida. Mas, aku ikut berduka cita atas wafatnya ibu kamu. Aku dengar dari bang
Suli barusan. Mohon maaf, aku mendapat nomor ini saat mengemas
barang-barangmu setelah kamu bangun tidur.
“Mas,
terkadang rasa kecewa yang mendalam itu disebabkan oleh adanya harapan terhadap
sesuatu yang tidak ada.”
“Mas, saat
kamu ingin menyerah, ingatlah kembali alasan mengapa kamu selama ini dapat
bertahan.”
“Mas, gagal
itu adalah hal yang biasa, tapi kegagalan yang sesungguhnya adalah saat kita
menyerah dan berhenti untuk mencoba.”
“Mas,
janganlah kamu mencari kekurangan orang lain, di saat mereka bersedia untuk
menerima kekuranganmu.”
“Mas, orang
yang paling berbahagia ialah sosok yang tidak pernah merasa memiliki, karena ia
tidak akan pernah merasa kehilangan.”
Sesak di dada
Ibnu mulai terasa ringan sejenak setelah pesan itu terbaca. Petuah dari Rasida
itu ternyata mampu mengobati duka mendalam, kendati bayangan wajah mendiang
ibunya kembali terngiang dalam benaknya. Ibnu mengayunkan langkah-langkahnya dengan
berat menuju tangga kapal yang mulai sepi. Bang Suli, sang kakak yang menjemputnya,
telah menunggu di bawah. Tuhan, ampuni segala dosaku kepada ibu, selintas
bincang Ibnu dalam jiwanya seraya mengibas lembut air mata yang mengalir dari
garis kelopak matanya.
hai manusia hormati ibumu
yang melahirkan dan membesarkanmudarah dagingmu dari air susunyajiwa ragamu dari kasih sayangnyadialah manusia satu-satunyayang menyayangimu tanpa ada batasnya doa ibumu dikabulkan Tuhan, dan kutukannya jadi kenyataanrida Ilahi karena ridanya, murka Ilahi karena murkanyabila kau sayang pada kekasih, lebih sayanglah pada ibumubila kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu bukannya gunung tempat kau memintabukan lautan tempat kau memujabukan pula dukun tempat kau menghibabukan kuburan tampat memohon doatiada keramat yang ampuh di duniaselain doa ibumu jua
Sesampainya di bawah,
Ibnu langsung memeluk abangnya dengan kucuran air mata dari kakak-adik ini. Suara
Rhoma Irama dari warung di himpitan bangunan gudang pelabuhan menjadikan
kesedihan semakin terasa menganga bagi Ibnu, hingga akhirnya lagu tersebut mengiringi
kepergian kedua bersaudara itu dengan sepeda motornya.[]
0 komentar:
Post a Comment