credit photo: here |
Oleh: Siti A'isyah
Kereta yang ku
tumpangi semakin mendekati kota kelahiranku. Kenangan-kenangan pahit segera
menyergapku. Jika bukan karena keinginan kuatku untuk segera mengetahui alasan
Sauda mau menerima kembali mantan suaminya, Rowo, tidak ingin rasanya aku
kembali menginjakkan kaki ke kota ini. Tapi Sauda bersikeras tidak mau
memberitahukan alasannya itu lewat telepon ataupun lewat media sosial lain. Dia
harus menyampaikannya langsung kepadaku. Dan satu-satunya jalan adalah aku
harus datang ke rumahnya, di kota kelahiranku.
Melewati tiga
stasiun lagi, kereta ini akan berjalan di rel kota J.
Ingatanku
melayang pada suatu hari ketika kakiku melangkah masuk ke rumah Sauda, seorang
perempuan beranak tiga, yang tertua berumur 7 tahun dan yang bungsu berumur 23
bulan, yang menjadi korban kekerasan suaminya. Kekerasan fisik, psikologis, dan
ekonomi, semua dialaminya. Saat melihatnya, rasa iba dan marah segera memenuhi
dadaku. Badan kurusnya lebam membiru. Anak-anaknya juga kurus tidak terawat.
Rumahnya, yang sebenarnya cukup besar, nyaris kosong tanpa perabotan, hanya
satu set meja kursi lusuh di ruang depan dan tempat tidur dan sebuah lemari
pakaian yang tersisa di kamar.
sebagai volunteer dari sebuah LSM pendampingan korban KDRT, aku
bertugas mendampinginya secara psikologis. Selama proses pendampingan, dia tak
banyak bicara. Ia hanya menjawab pendek pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan
secara sangat hati-hati. Selebihnya, ia menuruti semua saran yang diberikan
oleh tim kami. Karena suaminya tidak bisa lagi diajak berdialog, pendamping
hukum mendampinginya dalam pengajuan perceraian ke pengadilan, sementara ia dan
anak-anaknya kami ungsikan sementara di shelter.
Selama di shelter inilah kedekatan kami tercipta. Sikap
tertutupnya langsung mencair saat aku menceritakan pengalaman masa laluku. Aku
juga mantan korban KDRT yang, sebagaimana dirinya, memutuskan berpisah dari
suamiku. Bedanya aku belum memiliki keturunan saat itu. Setelah berpisah aku
menjadi volunteer di LSM yang mendampingiku dalam proses pembebasanku
yang panjang dari cengkeraman hari-hari mencekamku bersama mantan pacarku.
Mantan pacar yang berubah menjadi sosok drakula setelah resmi menjadi suamiku.
Penderitaanku dalam rumah tanggaku seolah menghajarku untuk kali kedua
setelah tragedi yang kualami sebelumnya saat orang terdekatku justru menghancurkanku
dengan total. Merampas kepercayaanku dan menjadikanku sebagai pemuas nafsu
binatangnya. Aku benar-benar terpuruk saat itu. Namun waktu memang diciptakan
memiliki kekuatan magis untuk menumbuhkan benih cintaku pada sosok dengan
penampilan simpatik yang kutemui di kampus kuliahku. Satu kesalahan lagi karena
ternyata ia sama sekali tidak sesimpatik penampilannya.
Perih dari luka yang tercabik dua kali itu akhirnya memaksaku pindah ke
kota M. Aku tetap tidak bisa berdamai dengan masa laluku, meskipun telah
memiliki kesibukan sebagai pendamping psikologis para korban kekerasan. Aku
ingat betul air mataku dan Sauda berlomba mengaliri pipi kami saat kedekatan
kami harus terpisahkan rasa lelahku berupaya melupakan masa laluku.
***
Kereta akhirnya tiba di stasiun tujuanku. Kenangan-kenangan kembali
menyergap. Aku segera mengalihkannya dengan segera mencari angkot yang menuju
rumah Sauda. Dan di angkot aku berusaha mengobrol dengan orang sekelilingku
untuk menghindari lamunan-lamunan yang mengungkit luka lama.
Saat tiba di rumahnya, obrolan kami serta merta tertuju pada pilihan
sikapnya.
“Kalau tidak kupaksa
ke sini mungkin aku tidak akan pernah bertemu kau lagi. Aku tahu kau sangat
ingin melupakan masa lalumu. Tapi kurasa kau harus mendengar alasanku langsung
dari mulutku.” Dia membuka pembicaraan. “Aku
tidak bisa lagi menyisakan cintaku pada Rowo. Anak-anakku juga sebenarnya tidak
terlalu membutuhkan kehadirannya.” Ucapnya.
“Lalu
Kenapa....?” aku tidak dapat meneruskan pertanyaanku. Dan akupun yakin dia tahu
ke mana arah pertanyaanku.
“Karena dia
membutuhkan aku.”
Aku sudah akan
menimpali ucapannya bahwa itu alasan klise para pelaku kekerasan terhadap istri
agar istrinya mau memaafkan perbuatannya.
“Dia tidak
pernah mengatakan itu padaku, juga pada orang lain. Tapi aku tahu dia tidak
bisa menjalani sisa hidupnya tanpa aku.”
Sungguh sebuah
alasan yang naif, demikian pikiranku.
“Kau tidak
perlu khawatir, karena aku sebenarnya tidak membutuhkan dia. Aku sudah mandiri
secara psikis maupun ekonomi.” Aku mengiyakan ucapannya. Dia memang sudah
terlihat sangat makmur sekarang. Caranya bicara juga sangat berubah.
Ucapan-ucapan dan sorot matanya memancarkan keteguhan hati. Karang yang sudah
terasah oleh hantaman ombak.
“Bagiku,
melayani Rowo sebagai suamiku sekarang adalah manusia yang melayani sesama
manusia karena kasih. Bukan karena cinta ataupun karena kewajiban sebagai
istri.” Seulas senyum menutup ucapannya.
Hingga aku
duduk di kereta api untuk pulang keesokan harinya. Kata-katanya seolah selalu
diputar ulang di kepalaku. Mungkinkah maaf dan berdamai dengan masa lalu lebih memberi kedamaian?[]
0 komentar:
Post a Comment