Oleh: Abdurrohim Said
Dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, Rasulullah saw. bersabda:
"berhati-hatilah pada setiap hal yang baru, karena perkara yang paling
jelek adalah membuat-buat perkara baru dalam masalah agama, dan setiap
perbuatan baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat.”
Perhatikan nggeh, "semua bid'ah adalah sesat." Pertanyaan
selanjutnya, apa sih bid'ah itu?
Seorang ulama mazhab syafi'iyah, Al-Imâm Izz ad-Dîn ibn Abd as-Salâm, dalam
kitabnya Qawâ’id al-Ihkâm fî Masâ’il al-Anâm, mendefinisikan bid'ah. Menurutnya,
bid'ah adalah “mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan/dikenal pada
masa Rasulullah saw.” Definisi yang sama juga disampaikan Al-Imâm an-Nawâwî
dalam kitab Tahdzîb al-Lughât.
Untuk lebih jelasnya, berikut pemahaman Muhammad ibn Isma’îl ash-Shan‘anî dalam kitab Subul as-Salâm, syarah Bulûgh al-Marâm: “bid'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.” Lanjutan perkataan Ash-Shan‘anî: “maksudnya, pekerjaan yang tidak diketemukan dalil syariatnya, baik dalam al-Quran ataupun dalam sunnah.”
Jangan lupa, ini definisi dari segi bahasa. Paham? Saya lanjutkan?
Setelah paham makna bid'ah, mari kita lihat pendapat ulama tentang bid'ah menurut istilah. Sebelum dibahas, kenapa kita harus memperhatikan definisi ulama? Karena Rasulullah saw. tidak menjelaskan apa sih bid'ah itu. Beliau hanya bersabda "semua bid'ah sesat". Oleh karena itu, kita harus memahami apa kata ulama tentang definisi bid'ah itu sendiri.
Bid'ah, menurut Al-Hâfidz Ibn Hajar al-‘Asqalânî, dalam kitabnya Fath al-Bârî syarah kitab Shahîh al-Bukhârî, "adalah hal baru dalam agama, jika ada landasan dalil maka masuk pembagian bid'ah hasanah, jika tidak ada landasan hukum maka masuk kategori bid'ah madzmumah/tercela." Jelas, kan? Ada bid'ah hasanah dan bid'ah dholalah. Ini bukan kata saya, tapi kata Ibn Hajar al-‘Asqalânî.
Lantas timbul pertanyaan: sek, sek ... kok Ibn Hajar berani mengatakan ada bid'ah hasanah dan bid'ah tercela/? Apa Ibn Hajar, seorang ahli hadith, pengarang syarah kitab Shahîh al-Bukhârî, dungu dan tidak tahu bahwa dalam redaksi sabda Rasulullah saw. "semua bid'ah sesat"? Bukankah tanpa terkecuali? Apa Ibn Hajar tidak belajar bahasa Arab? Kok berani membagi bid'ah menjaadi hasanah dan madzmumah/tercela? Mungkin akan timbul pertanyaan ini, kan?
Mungkin di antara kita akan berpikiran begitu.
Maka, simak baik-baik. Ternyata bukan hanya Ibn Hajar yang
berpendapat bid'ah ada yang hasanah dan dholalah/tercela. Siapa saja?
1. Al-Imâm asy-Syâfi‘î seperti yang dikutip Ibn Hajar sendiri.
2. Al-Imâm an-Nawâwî dalam Tahdzîb al-Lughât.
3. Al-Imâm al-Baihaqî, murid Asy-Syâfi‘î dalam kitab Manâqib asy-Syâfi‘î.
4. Al-Imâm ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm bahkan membagi menjadi lima, seperti halnya Al-Imâm ash-Shan‘ânî dalam kitab Syarh Bulûgh Marâm.
2. Al-Imâm an-Nawâwî dalam Tahdzîb al-Lughât.
3. Al-Imâm al-Baihaqî, murid Asy-Syâfi‘î dalam kitab Manâqib asy-Syâfi‘î.
4. Al-Imâm ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm bahkan membagi menjadi lima, seperti halnya Al-Imâm ash-Shan‘ânî dalam kitab Syarh Bulûgh Marâm.
Nah, bagaimana tuh? Kok ternyata banyak juga ulama yang
dungu, tidak tahu bahasa Arab. Lha wong jelas Rasulullah saw. mengatakan
semua bid'ah sesat. Eh, mereka malah membagi menjadi sesat dan tidak
sesat. Hehehe…. Mungkin ada yang mengatakan begitu, kan?
Ingat! Hati-hati jika tanya lho, karena para ulama sebetulnya memahami kenapa mereka membagi bid'ah ada yang hasanah dan madzmumah. Bukan asal-asalan. Berikut alasannya:
Dalam gramatika Arab, (bukan hanya nahwu-sharraf lho), khususnya
dalam ilmu Balaghah dan Mantik, ada kaidah seperti ini: kata kullun
tidak pasti menunjukkan pengertian “semuanya”, namun kadang bermakna
"kebanyakan."
Apa buktinya, kiai? Ini buktinya:
Contoh dalam al-Quran, surat Al-Anbiyâ' ayat 30.
وجعلنا من الماء كل شيئ حي
Dan kami jadikan semua sesuatu yang hidup dari air.
Perhatikan ayat tersbut, Allah menggunakan lafaz kullun
semuanya. Apakah berarti semuanya terbuat dari air? Ternyata tidak. Mana buktinya
kok tidak? Mari lihat ayat lain.
Dalam surat Ar-Rahmân ayat 15
وخلق الجان من مارج من نار
Dan Allah ciptakan jin dari percikan api yang menyala.
Nah, bagaimana? Berarti pada ayat 30 dari surat Al-Anbiyâ' di atas,
lafaz kullun tidak berarti bermakna semuanya. Karena buktinya Allah
sendiri menegaskan jin tercipta dari api, bukan dari air. Oleh karena itu, dalam ayat di atas kullun bukan bermakna “semuanya”, melainkan
“sebagian besar” atau “mayoritas”.
Sudah jelas. Berarti para ulama membagi bid'ah menjadi hasanah dan madzmumah bukan berarti mereka goblok bahasa Arab, tapi karena ada kaidah seperti di atas. Pertanyaan kembali muncul, lantas apa buktinya bahwa ada bid'ah yang hasanah sehingga para ulama itu berani membaginya?
Jawabannya: ya banyak. Bahkan para sahabat banyak yang membuat hal
baru dalam agama yang belum ada pada masa Rasulullah saw. Contoh, Sayyiduna ‘Alî
ra. pernah mengarang sebuah gubahan salawat yang dikenal dengan salawat Al-Fâtih.
Ini Sayyiduna ‘Alî lho.
Menambah azan jumat yang dilakukan oleh Sayyiduna ‘Utsmân ketika beliau menjabat khalifah. Ini Sayyidina ‘Utsmân, bukan saya lho.
Menambah azan jumat yang dilakukan oleh Sayyiduna ‘Utsmân ketika beliau menjabat khalifah. Ini Sayyidina ‘Utsmân, bukan saya lho.
Salat Tarawih secara berjamaah yang pada masa Rasulullah saw. belum
pernah dilakukan. Ini Sayyiduna ‘Umar ra. lho, bukan saya. Salat Tarawih
itu berjamaah sebulan penuh, padahal pada masa Rasulullah saw. belum pernah
dilakukan.
Ini adalah bukti bahwa ternyata memang ada bid'ah hasanah, sehingga
para ulama tersebut membagi bid'ah menjadi hasanah dan madzmumah. Sedangkan
dalam hadis yang dimaksud Rasulullah saw. adalah bid'ah yang madzmumah yang
dianggap sesat. Adapun yang hasanah ya tidak. Sehingga makna yang tepat dalam
hadis di atas, bukan “semuanya” melainkan “sebagian besar” saja.
Jika ada di antara kita ada yang keras kepala, pokoknya "semua bid'ah sesat" tanpa terkecuali, waw … justru orang itu yang sok tahu daripada ulama, dan bahkan akan menganggap para shabat yang saya sebutkan di atas telah keluar dari jalur Rasulullah saw. dengan membuat hal baru yang belum ada pada masa beliau. Artinya, orang itu tanpa sadar telah menegaskan para sahabat itu sesat. Subhânak yâ rabbî hâdzâ buhtân ‘adzîm, na‘ûdz bi-llâh.[]
0 komentar:
Post a Comment