Oleh: A. Athok Lukman Hakim
Salah satu persoalan yang membuat hidup jadi pelik adalah jika sesuatu berperan tidak sesuai fungsinya. Anda bisa
bayangkan jika kambing dipaksa untuk diperankan menjadi sapi, dibuat membajak
sawah. Atau sabit Anda perankan menjadi gergaji mesin untuk memotong kayu.
Kualitas sebuah pekerjaan harus sebanding lurus dengan kualitas intrumen atau
subyek pelakunya.
The righ man in the righ place, sebuah adagium tentang keterkaitan suksesnya pekerjan dengan kualitas
subyek pelakunya. Perahu yang baik akan maksimal fungsinya jika dia berada di
sungai besar atau di laut. Dia akan kehilangan “tuah”-nya andai berada di padang pasir. Celana dalam akan kehilangan
eksotismenya jika berada di kepala kita. Dan betapa lucunya jika kondom Anda
jadikan bungkus koleksi HP.
Namun jika pelanggaran estetika yang merusak norma-norma
nilai guna ini menyebar dan meluas maka pada gilirannya melahirkan tata nilai
sosial baru yang dahsyat. Bisa Anda imajinasikan jika tiba-tiba muncul
tata nilai baru yang menyatakan celana dalam memang untuk penutup kepala, jika Anda
konservatif yang istiqomah meletakkan celana dalam untuk melindungi organ
vitalnya kemudian ditertawakan, dicap kolot, udik, sok dan mungkin
stigma-stigma yang lebih buruk akan deras mengaliri diri Anda.
Pejungkirbalikan tata nilai baru inilah yang hari ini
terjadi di negeri ini. Anda mungkin masih ingat Siami, Ibu dari Alif, siswa SD Gadel, yang menjadi common enemy
karena mempertahankan nilai kejujuran. Adalah aneh bin ajaib negeri yang
mengaku memunyai budaya adiluhung tiba-tiba menjadi musuh kejujuran. Wa Ode
Nurhayati, anggota F-PAN yang mengungkap mafia anggaran di DPR mendapat serangan
balik dari teman-temannya sendiri sesama anggota dewan yang terusik
kepentingannya atas nilai kejujuran yang ia nyatakan.
Penjungkiran nilai-nilai ini sudah menyebar luas dan tak
luput juga menyerang konsep Ulama. Ulama yang pada awalnya adalah konsep Qurani
untuk sebuah kualitas ketakwaan dan kecendekiawan terbirokrasi menjadi MUI yang
direkrut secara sembarang dan ditumpangi berbagai hal termasuk birokrasi dan
kekuasaan. MUI akhirnya tidak mempunyai kejelasan representasi keulamaannya
maupun keislamannya. Sederhananya, apakah representasi ulama MUI sama dengan
dengan Ulama di kata Nahdlatul Ulama, kata dari kata Partai Kebagkitan Ulama. Apakah Islam diusung sama dengan Islam-nya ICMI, PII, HMI atau PMII. Menjadi
lucu ketika MUI tiba-tiba mengharamkan BBM subsidi tanpa melihat hulu persoalan
kebijakan energi yang menjadi pokok utama. Kesan menjadi stempel kebijakan
penguasa kemudian tidak dapat dihindari.
***
Biar menemukan signifikansi dan relevansi pembahasan di atas
saya akan mengkontekstualisasikan pembicaraan ini di “dunia” saya yang nota
bene sebagai bagian dari aparat pemerintah dan abdi negara, entah pegawai,
guru, pejabat, penghulu dan lain sebagainya. Pertanyaanya bukan lagi apakah penjungkarbalikan
nilai itu terjadi, akan tetapi bagamaina dan keapa hal itu terjadi? Pertanyaan ini memang bernada sarkastik tetapi bukan tanpa basis fakta. Jika
masih diperlukan bukti, mari kita tengok realitas guru kita yang mengalami
pendangkalan nilai, dari derajat yang tinggi sebagai pahlawan, penerus, dan
pewaris kebudayaan, hanya menjadi buruh mengajar. Tidak perlu penjelasan lebih
lanjut untuk mengerti hal tersebut, sebab penyimpangan lembaga pendidikan
termasuk guru sudah amat mencolok di depan mata kita.
Negara yang dalam konstitusi kita hadir untuk menegakkan
keadilan sosial dan tegaknya nilai-nilai kemanusia di dunia sudah banyak
dijungkirbalikkan tata nilainya hanya sebatas kleptokrasi. Sederhananya
kleptokrasi adalah pembajakan negara untuk menjarah, memperkaya diri sendiri
dengan cara merampok dengan legal atau memosisikan sebagai makelar dalam
pelayanan pada masyarakat.
Negara ini terancam mengabdikan dirinya hanya pada
“Pasar”. Logika pasar tentu adalah untung-rugi, siapa yang punya modal besar dialah yang
dapat mewarnai negara. Kalau kita sedikit merenung, betapa negeri ini begitu tersandera
dengan “pasar” dan “modal” ini. Secara teoritis political society dan economical society bagai saudara kembar yang pada gilirannya menghancurkan
tidak hanya tatanan politik kenegaraan saja akan tetapi nilai-nilai sosial dan
kultural masyarakat.
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu teoritis yang
memaksa mengenyitkan dahi, mari tanpa saya harus memaparkan fakta yang terjadi
di lembaga kita, baik di KUA, Madrasah, dan lainnya, saya yakin pembaca dapat
dengan cepat mengambil kesimpulan apakah nalar kleptokratif masih ada. Masihkah
nalar makelar untuk memperkaya diri sendiri dalam pelayanan publik masih
menjadi mainstream kita. Jawabanya saya serahkan pada pembaca semua.
Kemudian masih adakah prinsip meritokrasi dan rigt man
in the right place di lembaga-lembaga ini? Jika tidak, ibarat sekolah yang alih-alih
mencerdaskan, justru banyak mematikan kreativitas murid-muridnya, lembaga kita ini
mematikan manusia-manusia potensial yang harusnya dapat mengabdikan dirinya
secara maksimal pada negara. Adakah lembaga kita memperlakukan aparatnya
seperti Siami atau Wa Ode Nurhayati yang menyuarakan kebenaran? Lagi-lagi saya tidak perlu membantu Anda untuk menjawabnya. saya yakin dengan cepat Anda dapat menemukan jawabannya.
Jika rumah sejak awal penuh anjing, babi, kotoran, najis, setan, sundel bolong, gendruwo, jin ifrit dan tidak
ada yang berusaha melenyapkan, menyucikan serta membersihkannya, maka orang yang
masuk akan melakukan beberapa kemungkinan. Pertama, dia beradaptasi
dan kemudian pelan-pelan menjadi salah satu dari mereka. Kedua, pengap dan tidak betah hidup di antara makhluk-makhluk mengerikan yang
memberikan rasa traumatik dalam keseluruhan hidupnya. Ketiga,
pelan-pelan membersihkan rumah dari najis dan mencari teman untuk mengusir para
setan, gendruwo, sundel bolong dan lainya. Tak perlu lagi penjelasan tentang
analogi singkat di atas, saya sangat yakin bahkan haqqul yakin dalam benak
pembaca timbul asosisi-asosiasi yang berkorelasi dengan pengalaman pembaca
sendiri-sendiri.
Pembajakan makna negara menjadi kleptokrasi adalah
pengkhiatan terbesar dalam sejarah sosial umat manusia. Penghambaan negara
hanya pada nafsu-nafsu jalang kebinatangan manusia yang bertopeng baik
teori-teori akademis atapun apapun namanya tetap tidak bisa menyembunyikan bau anyirnya.
Saya hanya mau mengajak merenung para pembaca dalam sajak
berikut ini :
Biarkanlah matahari memberikan hangat sinarnya
Biarkanlah api mendayakan energi panasnya
Biarkan angin berhembus menembus ruang-ruang
Biarkan burung terbang kokoh bersama sayapnya
Untuk apa api jika kau
taruh lautan?
Untuk apa matahari jika kau bersembunyi di balik punggung bumi?
Untuk apa lautan jika kau paksakan tidak bergelombang?
Untuk apa rajawali jika kau kebiri sayap-sayap kokohnya dan kuku-kukunya
yang tajam?
Bagaimana mungkin kau kambingkan para singa?
Kau rajakan para budak?
Kecuali
kau memang sudah gila
0 komentar:
Post a Comment