Saturday, April 30, 2016

Aku Akan Pergi


Oleh: Fawaid Azman

Sejak pagi tadi orang-orang sibuk mempersiapkan perayaan resepsi pernikahan antara Mas Panji Darman dan Mbak Puji Lestari yang akan dilaksanakan malam nanti. Aku tergolong orang yang diberikan satu lembar berisikan gambar beserta nama mereka dibawahnya, dan tulisan  “Mohon Doa & Restu” adalah paling besar berwarna hitam berada paling atas, pertanda paling penting. Dan, namaku terlihat jelas di bagian kertas paling bawah dengan kolom putih yang disediakan untuk nama orang yang diharapkan hadir dalam acara itu. Memberikan kesimpulan: kehadiranku mereka harapkan! Ya, kehadiran seorang yang tidak pernah percaya pernikahan itu akan terjadi. Bahkan: Menentang!

Aku yang sejak tadi pagi juga tidak beranjak dari tempat tidurku, tempat istimewa bagi ratapan tangis yang tak dapat kuhindar, masih saja melihat selembar undangan itu yang ada di genggaman tanganku. Genggaman erat dengan nafas tersengat-sengat yang tanpa kusadari telah membuat lembaran itu antara empat sudutnya berkumpul menjadi satu sampai menjadi surat undangan yang tak berguna lagi. Hanya bisa dijadikan pengisi tong sampah depan kamarku. Bagiku, juga bagi tong sampah, mungkin juga tidak ada artinya!Dan membuatku mengambil korek didalam saku bajuku diikuti oleh bungkus rokok yang tak berisi penuh. Kuambil dan kubakar satu batang dibagian ujungnya. Seketika, udara yang kata para medis sangat berbahaya bagi kesehatan paru-paru dan jantung itu kuhisap. Hisapan pertama mengepulkan asap tak seberapa. Kulanjutkan dengan hisapan kedua. Lebih banyak dari yang pertama. Kulihat kembali kertas yang sedari tadi sudah tak berbentuk dengan layak. Tanganku menghampiri. Mencoba untuk mengembalikannya dengan bentuk semula. Berhasil! Meski tak nampak sempurna seperti awal kuterima.

Sepasang mataku kutitik beratkan kepada gambar kedua mempelai. Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Anganku bertindak nakal dan wajah Mas Panji Darman berubah menjadi cerminan kaca ketika aku berada di depannya. Senyum kebahagiaan begitu tampak,perpaduan antara madura dan jawa, bermata orang india yang kehitam-hitamannya terlalu ke atas. Diam-diam tangan kirikuku bergerak mencari korek yang kuletakkan diatas bungkus rokok tadi. Kuhidupkan pelan-pelan. Api membara. Kudekatkan kertas ditangan kananku kepada api itu. Semakin dekat, semakin membuat gambar Mbak Puji Lestari seolah memancarkan wajah suram, kecantikannya hilang, seolah melarang perbuatanku, berkata dengan lembutnya dan hati-hati.

“Tidakkah kau ingat dengan perkataanmu sendiri, “Hidup ini bukanlah tentang memiliki yang kau cintai. Tapi mencintai yang kau miliki” Kau tega mengubah gambarku menjadi debu? Kau sedih? Asal kau tahu, Musa,aku tidak ingin ada kesedihan. Sudahlah, hapus air matamu itu!”. Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak membantah. Sedikit kuindahkan larangan itu dengan memadamkan api. Akibat dari kata-kata lembut dan hanya terdengar olehku yang sekaligus memberikanku kehidupan agarmenghadiri pernikahannya malam nanti. Pernikahan yang tak kuingunkan! Tapi, sudahlah. Akan kuberikan restu kepada janur kuning itu. Meskiberada di pundak penderitaan seorang yang oleh orang-orang biasa dipanggil Musa. Namaku sendiri ..... Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila misteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri dihadapan mata orang lain.

Aku yang menerima kertas tanda diundangdan berencana tak akan menampakkan hidung kepada siapapun yang ikut serta dalam resepsi itu, berencana lain untuk membeli pakaian baru ke toko baju terdekat dan tidak menghindari malam bersejarah Mbak Puji Lestari bersama Mas Panji Darman. Pakaian batik dengan setelan celana kain berwarna silver kuanggap pantas dijadikan seragam untuk menghadiri undangan itu dan kutukar dengan dua lembar uang berwarna merah, berlambang Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama.

****

Malam beserta kegelepannya sudah tiba sejak dua jam yang lalu. Kamar mandi sudah aku pergunakan sebelum itu. Hari besar orang yang pada sebelumnya mengajariku Bahasa Jawa: Bahasa yang digunakan kerajaan Maja Pahit, dan orang yang sudah membuatku menjadi hanya bertepuk sebelah tangan itu baru saja dimulai. Para tamu kabarnya juga sudah berdatangan.Aku yang tetap termenung antara datang atau tidak masih sibuk dengan urusan diriku sendiri: menghabiskan tembakau yang aku beli dan secangkir kopi buatanku sendiri. Kulihat baju dan celanaku yang tergantung dilemari. Kalau saja baju dan celana itu bermulut, mungkin saja tak segan-segan berujar: Kasihan sekali kau, Musa. Orang yang kau cintai, kau sebut-sebut namanya saat kedua tanganmu terangkat, sekarang ini, malam ini, kau hanya bisa menangisinya. Tak lebih! Sungguh beruntung orang yang sekarang sudah ada di dekapan wanita itu. Sedangkan kau, Musa, hanya bermimpi. Lalu, bagaimana mungkin aku sudi menutupi tubuh kekarmu, sedangkan kau tak segera bangun dari tidurmu. Sudahlah, bangun! Pakailah aku dengan keegoisanmu! Jika tidak, maka jangan!
Baiklah. Aku akan pergi.

Membutuhkan waktu dua kali satu jam dengan mengendarai sepeda motor melewati jalan licin berjuranguntuk sampai ke tujuan. Juga tikungan tajam yang berkali-kali membuatku bertanya-tanya:Mengapa bekas jalannya ular raksasa itu orang-orang menjadikannya jalan raya? Jalan yang dulunya sering kulewatitanpa tolah-toleh. Fokus. Lengah sedikit saja akan berakibattanahberbatu itu menghantam tubuh. Braakk! Nyawa terancam hilang. Ah, alangkahtak terhitung korban kecelakaan.



Dan, sekali lagi: Baiklah. Aku akan pergi. Itu saja![]

Sumber gambar:

Saturday, April 23, 2016

Menulis Dengan Sederhana


Oleh: Irham Thoriq

Nulis Itu ya Nulis Saja
~Pramoedya Ananta Toer

Pernyataan Pram ini menurut saya ada benarnya, tapi juga ada kurang tepatnya. Untuk bisa menulis kita memang hanya butuh kemauan untuk terus menulis. Kurang tepatnya jika kita hanya menulis tanpa dibarengi dengan kecakapan membaca.

Ya, selain terus menerus menulis, yang dibutuhkan penulis hanyalah terus menerus membaca. Meminjam istilah Zen RS, penulis yang baik selalu lebih banyak membacanya daripada menulisnya. Dengan banyak membaca buku kita bisa berimajinasi, memperkaya diksi, memperbanyak refrensi dan yang paling penting kita tidak hanya bergumam dalam tulisan kita.

Banyak membaca diperlukan untuk aneka macam tulisan seperti menulis esai, opini, fiksi, dan juga menulis berita. Kenapa menulis berita butuh membaca? Karena tugas sejatinya wartawan adalah bercerita kepada para pembacanya. Cerita yang baik hanya bisa didapat jika kita menuliskannya dengan memikat.

Fakta menarik akan sangat membosankan jika ditulis dengan cara serampangan. Oleh karenanya, selain harus cakap mencari data, wartawan yang baik selalu akan meningkatkan kualitas tulisannya.
Lalu, bagaimana menulis yang baik? Menurut saya (dalam hal ini Anda bisa beda pendapat), menulis yang baik adalah menulis dengan sederhana. Hanya dengan menulis sederhana para pembaca bisa mudah memahami gagasan apa yang ingin kita sampaikan.

Selain itu, menulis sederhana berarti kita tidak berlebihan dalam menggunakan kata-kata. Penyair kenamaan Sitor Situmorang pernah mengatakan kalau kata-kata bagaikan peluru, kita harus hemat menggunakannya. Dengan kehidupan yang berjalan begitu cepat, mungkin orang tidak punya waktu banyak untuk membaca tulisan, apalagi tulisan yang boros kata dan berbelit-belit.

Untuk bisa hemat kata-kata, kita harus menjadi editor dalam tulisan kita sendiri. Caranya dengan membaca berulang-ulang tulisan kita lalu membuang kata-kata yang dianggap tidak perlu. Untuk mengetahui kata yang tak perlu prinsipnya sederhana, jika kata itu dibuang tidak mengubah makna, maka kata-kata itu sudah layak dibuang.

Menulis Berita 
Sebagaimana saya singgung di atas, penulis berita atau wartawan itu adalah pencerita bagi pembacanya. Tugas pencerita adalah tidak membuat bosan orang yang membaca dan yang mendengarkan cerita. Jika orang sudah berhenti membaca pada paragraf pertama, bisa ditebak kalau berita yang ditulis membosankan.

Karena hal inilah dalam berita ada yang disebut lead. Umumnya lead berada pada paragraf pertama. Arti dari lead adalah kail. Jika kita memancing kita membutuhkan kail agar ikan tertarik pada kail kita, memakannya dan pada akhirnya terjebak pada pancing kita.

Begitu juga dengan menulis, pada paragraf pertama dalam berita harus semenarik mungkin. Jika kita menulis suatu acara atau peristiwa, pilihlah hal paling menarik dari berbagai fakta yang ada dan tulis pada paragraf pertama sehingga pembaca ingin terus membaca berita hingga tuntas.

Jenis Berita
Secara umum ada dua jenis berita yang biasa digunakan media massa. Pertama adalah berita keras atau hardnews dan yang kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Kapan kita menggunakan berita jenis hardnews dan feature? jawabannya sesuai dengan materi berita cocoknya dibuat hardnews atau feature.

Pada media online dan media harian kita lebih banyak menemukan berita jenis hardnews. Kenapa? Karena berita jenis ini simpel dan mendahulukan yang penting di awal tulisan. Rumusnya sangat klasik yakni rumus piramida terbalik, yakni menempatkan yang penting di atas, semakin kebawah semakin tidak penting.

Rumus klasik lainnya dari hardnews adalah berita harus menjawab enam pertanyaan, yakni 5 W dan 1 H. Atau dalam bahasa Indonesianya enam yang harus dijawab itu adalah apa, siapa, di mana, kapan, kenapa dan bagaimana. Jika sudah bisa menjawab enam pertanyaan tersebut, maka berita sudah bisa dikatakan hardnews. Oleh karenanya, pada media online kita kerap mendapati berita hanya tiga larik yang sudah menjawab enam pertanyaan tersebut.

Pada berita jenis ini, lead berada pada paragraf pertama. Jika kita mendapati fakta kalau seorang kecelakaan dan ternyata itu adalah anak bupati, maka yang dijadikan lead dan juga judul berita adalah anak bupati yang kecelakaan. Kronologi tentang kecelakaan bisa ditaruh di bagian bawah.

Sedangkan jenis berita kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Biasanya feature berkisah tetang kehidupan seseorang. Feature yang menarik tidak akan jauh dari dua rumus ini, yakni orang yang from hero to zero atau from zero to hero. Orang yang awalnya miskin sekali lalu sukses menjadi dokter atau presiden, kisahnya selalu menarik.

Atau seorang siswa jawara olimpiade tingkat nasional, setelah dicek ternyata dia adalah anak sopir angkot. Sebaiknya, berita jenis ini yang ditonjolkan anak sopir angkot dan juga prestasinya. Tidak melulu soal prestasinya.

Hal menarik lain soal kenestapaan seseorang yang sebelumnya menjadi hero. Seperti contoh ada Mantan Bupati yang ketika pensiun memilih berkebun. Ini bisa jadi feature menarik meski semisal Mantan Bupati tersebut hanya hobi berkebun, bukan karena tidak punya uang untuk beli sayur-sayuran di Pasar.

Pada berita jenis ini yang paling penting adalah penggambaran. Karena berita dalam jenis ini adalah ceritanya, maka biasanya hal penting tidak ada di depan melainkan ada di tengah atau di akhir berita. Pada awal berita umumnya berupa deskripsi terhadap orang atau pristiwa yang kita tulis dalam bentuk feature-nya.

Oleh karenanya, dalam feature ada istilahnya super lead. Selain untuk memancing pembacanya, super lead ini juga berisi tentang inti dalam tulisan tersebut. Sehingga, orang bisa tertarik membaca diskripsi hingga inti dari berita.

Untuk mempermudah menggambarkan, berikut saya tuliskan beberapa contoh deskripsi dalam features yang ada dalam buku berjudul "Seandainya Saya Wartawan Tempo". Pada contoh pertama ini bermula dari seorang wartawan yang merasa ingin tahu tentang kebiasaan pengamen yang banyak kita temui di jalanan.

Mungkin orang biasa menganggap biasa pengamen tersebut dan kadang kita tidak memperdulikannya. Seorang wartawan yang jeli bisa membuat feature menarik dari berbagai kisah mereka. Contohnya yang ada dalam buku tersebut seperti ini:
Nama saya Buyung. Tak seorangpun pernah menanyakan asal-usul saya.
Cita-cita saya hanya sanya satu menjadi penyanyi, enggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung, bisa. Ayah saya kuli bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.
Dari deskripsi memikat itu, bisa ditulis artikel panjang. Pada akhirnya cerita ini dimuat di rubrik selingan di Majalah Tempo edisi 6 Mei 1989 dengan judul: Bocah-Bocah Turun ke Jalan.

Ada lagi deskripsi yang bunyinya seperti ini:
Laksana tarian perli langit, asap membumbung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang api (Tempo, 30 Januari 1993, Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali).
Bola mata juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (Tempo, 2 Januari 1993, Kasmaran Laut di Sarang Elang)
Dari berbagai contoh itu, kita bisa menyimpulkan kalau tulisan ini enak dibaca karena tidak boros menggunakan kata-kata. Kalimat disusun secara ketat, sehingga pembaca tidak bosan membacanya.

Hitam-Putih Media
Saya tidak ingin berpanjang-panjang membahas soal ini. Karena mungkin semua sudah tahu kalau sangat jarang kita mendapati media yang independen. Terlebih, pasca pemilu 2014 yang dua stasiun televisi seperti berlomba-lomba memihak dua calon presiden berbeda.

Tapi, saya yang bekerja di media menganggap kalau masih ada media yang lurus. Ya, meskipun melenceng tidak terlalu parah. Lalu, kenapa media sulit independen seratus persen? Menurut saya jawabannya karena tiga hal, yakni karena bisnis, politik dan juga faktor subjektivitas media.

Saya ingin membahas faktor subjektifitas media. Menurut saya karena media merupakan produk kreatif manusia, maka bisa saja media memihak berdasarkan prinsip dan visi media tersebut. Media toleran misalnya, akan sulit memuat pernyataan-pernyataan tokoh ekstremis yang itu bisa menghasut orang ikut pada ajaran mereka.

Belum lagi ada subjektivitas wartawan yang menganggap berita A penting serta menarik dan menganggap berita B tidak penting. Karena ada subjektivitas itu selalu akan ada keberpihakan di media. Atau mungkin tidak hanya di media, dalam hidup kita saja sebenarnya kita sudah memihak ketika memutuskan beragama, mempunyai istri yang satu agama, sampai ketika ikut organisasi tertentu. Hal tersebut menurut saya pilihan yang berpihak, yang juga tidak bisa dihindari oleh wartawan dan pekerja media.

Tapi, dari keberpihakan itu menurut saya kita punya hati nurani yang layak kita bela. Hati nurani bagaikan wasit kita mau berpihak ke mana sebaiknya mengikuti kata hati nutani kita.

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi bersama Gubuk Tulis, 13 April 2016.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
[sumber gambar: di sini]

Tuesday, April 19, 2016

Negeri Para Penyalak


Oleh: Irham Thoriq

Sekali waktu kita perlu belajar kepada anjing yang tidak suka menyalak. Dan bercermin kepada anjing yang sabar.

Ironi itu datang dari seorang siswi SMA di Medan. Mula-mula dia memarahi Polwan Ipda Perida yang menghentikan mobilnya saat dia merayakan selesainya Ujian Nasional (UN) Rabu, 6 April lalu. Dia marah-marah dan mengancam melaporkan Ipda Perida kepada Inspektur Jendral (Pol) Irman Depari yang dia sebut sebagai ayahnya.

Tidak lama berselang, Irman membantah kalau siswi tersebut adalah anaknya. Irman tidak mempunyai anak perempuan. Dia hanya mengakui kalau siswi tersebut adalah keponakannya.

Semenjak itulah, penduduk dunia maya ngamuk. Di banyak media sosial, siswi ini di bully habis-habisan. Bahkan, bully tersebut sempat menjadi trandingtopic di twitter. Media online, koran dan juga televisi banyak memberitakan kejadian itu. Sebagian besar beritanya menyudutkan siswi tersebut.

Setelah hujatan datang dari berbagai penjuru mata angin, ayah kandung siswi tersebut yakni Makmur Depari Sembiring jatuh sakit lalu meninggal dunia tiga jam setelah dibawa ke rumah sakit. Siswi yang menjadi korban bully shock. Dia juga harus kehilangan ayah kandungnya yang bukan jenderal.

Kisah siswi ini mungkin hanya sedikit kisah dari bully yang sering terjadi di media sosial. Kau tahu, adanya media sosial membuat semua orang seolah mempunyai panggung untuk melakukan apa saja dan menulis apa saja.

Orang yang sehari-hari kita kenal penyabar, bisa terlihat garang di media sosial. Pendiam yang hanya bicara seperlunya di dunia nyata, bisa menyalak sesuka hati di dunia virtual. Sebaliknya, orang yang dungu kadang terlihat pandai, dan orang yang pandai sekali waktu bisa terlihat bebal.

Dari aneka macam kebiasaan di media sosial itu, yang paling saya khawatirkan adalah kebiasaan menyalak para pengguna media sosial. Orang dengan mudah menyalak sesuka hati mereka, meski informasi yang mereka terima belum tentu benar.

Para penyalak itu juga dengan mudah menghujat pada suatu kasus, lalu menghujat di kasus lain dalam waktu berdekatan. Mereka menebar kebencian sama sekali tanpa beban, berpindah-pindah tanpa menghiraukan dampak dari komentar yang mereka tulis.

Meminjam bahasa hewan, mereka menggonggong di banyak tempat tanpa peduli gonggongan mereka ada yang memperhatikan. Atau, mereka menyalak lalu beberapa menit kemudian lupa terhadap yang mereka tulis. Sedangkan korban dari gonggongan tersebut harus membaca berulang-ulang dan merasa sakit hati, sedangkan yang berkomentar sudah lupa dia habis menulis apa.

Para penyalak itu biasanya disebut haters. Umumnya, mereka tidak mempertimbangkan sisi manusiawi sebelum berkomentar. Dalam kasus siswi di Medan misalnya, mereka tidak mempertimbangkan labil-nya psikis siswi yang masih remaja. Mereka tidak berpikir positif semisal, siswi itu mungkin keceplosan atau sedang euforia setelah Ujian Nasional selesai.

Perihal menjadi korban haters, saya pernah menjadi korban yang membuat kepala pening ketika membaca komentar-komentar para haters. Ketika itu, dua wartawan tempat saya bekerja menjadi korban perampasan oleh anggota TNI AU dari Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bermarkas di Pakis, Kabupaten Malang. Kamera dan kartu identitas wartawan tersebut dirampas dengan alasan mereka mengambil foto dengan drone saat pesawat TNI AU jatuh di Blimbing, Kota Malang.

Berita tentang perampasan itu lantas di upload oleh seseorang di grup salah satu komunitas di Malang. Entah kenapa, anggota grup ini lantas menyalahkan wartawan yang menjadi korban perampasan. Mereka membela TNI AU yang menurut mereka sedang berduka.

Keesokan harinya saya mengupload berita lanjutan tentang wartawan yang menjadi korban perampasan. Kalau tidak salah berita itu tentang Komandan Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bersedia meminta maaf kepada dua wartawan itu. Lagi-lagi, anggota grup melakukan bully habis-habisan dan menganggap permintaan maaf komandan tersebut sebagai tindakan kesatria.

Beberapa hari berselang, wartawan dari media lain mengupload tentang rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut banyak oknum TNI yang menjadi beking perusahaan multinasional. Lagi-lagi, hal tersebut menjadi korban bully kebanyakan anggota grup. Bahkan, seorang anggota grup berkomentar kalau wajar TNI menjadi beking perusahaan, karena hanya mereka yang bisa. Menurut dia, membekingi perusahaan tidak bisa dilakukan oleh orang sipil. Tentu saja, menurut saya komentar tersebut menyalahi akal sehat, karena yang namanya pembekingan tentu tindakan terlarang.

Kembali pada kasus siswi di Medan, yang membuat saya miris dalam kasus ini karena banyak media mainstream khususnya media online yang larut pada kelakuan para haters. Pada kasus tersebut, saya beberapa kali menemukan media online yang memuat bully para nitizen. Jadilah, media online itu ikut merayakan bully yang dilakukan kepada siswi tersebut.

Media juga lupa terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal lima kode etik dijelaskan kalau wartawan tidak boleh menyebut dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pada poin selanjutnya dijelaskan kalau identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Selanjutnya, yang disebut anak-anak adalah seorang yang berusia 16 tahun dan belum menikah. Karena alasan inilah saya tidak menyebut nama siswi itu dalam tulisan ini.

Saya lantas iseng-iseng mencari berita di dua media online. Di satu media online, saya menemukan 29 berita soal kasus ini. Semua berita menulis nama lengkap siswi tersebut, dan sebagian besar ada fotonya yang tidak diblur.

Pada media online satu lagi saya menemukan 20 berita. Semuanya disebut nama lengkap dan ada foto siswi tersebut. Dari sekian foto, hanya empat foto yang di blur. Selebihnya, foto-foto siswi tersebut dipajang apa adanya.

Mungkin media bisa membela diri karena kemungkinan siswi tersebut berumur di atas 16 tahun. Sehingga tidak jadi soal jika menyebut nama lengkap dan menampilkan foto tanpa di blur. Pembelaan tersebut tentu saja bisa dilakukan, meski dalam banyak berita saya tak menemukan umur siswi tersebut dicantumkan sehingga tidak diketahui berapa umur siswi itu.

Selain itu, jika mengacu pasal satu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 ahun 2002 tentang Perlindungan anak, pada pasal tersebut dijelaskan kalau yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Pada kasus ini, saya berdiskusi singkat dengan seorang wartawa senior. Dia menjelasan kalau Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak bisa dijadikan acuan untuk kita memberi inisial kepada anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Soal ini saya setuju, toh etika dan menjaga masa depan anak jauh lebih penting daripada sebuah klik di media online.

Setelah panjang lebar, lalu apa hubungannya dengan manusia yang harus belajar kepada anjing yang tidak suka menyalak. Kalimat itu saya jadikan pengantar karena baru-baru ini saya sedang membaca novel terbaru karya Eka Kurniawan berjudul O.

Novel ini bercerita tetang tokoh utama O yang merupakan monyet. Selain monyet, ada juga tokoh bernama kirik yang tak lain adalah anjing kecil. O dan Kirik harus bersabar melayani sikap semena-mena manusia. Keduanya juga tidak sering menyalak menghadapi kelakuan manusia yang bebal. Pada sikap itu, kita sebenarnya bisa bercermin.[]


Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com

sumber gambar:
Old Mary full of grease
by Carlos Gutierrez

Friday, April 15, 2016

Keadaan Tersesat


Oleh: Muhammad Zeini

Di dalam hidup, kita kerap kali merasa tersesat. Kita kehilangan pegangan hidup, karena masalah dan krisis datang bertubi-tubi, seolah tanpa henti. Ibaratnya keluar dari mulut harimau, dan masuk ke mulut singa. Tegangan hidup menghantam terus, tanpa memberi jeda. Kita pun juga kerap kali merasa kehilangan arah. Kita tidak lagi punya tujuan hidup yang jelas. Pegangan hidup seolah rapuh, dan begitu mudah lepas. Kita tidak lagi menemukan makna dari apa yang sedang kita lakukan. Ketika ini terjadi, buahnya ada dua, yakni kecemasan dan penderitaan. Kita merasa cemas atas apa yang akan terjadi di masa depan. Kecemasan itu melahirkan tegangan dan penderitaan di dalam diri kita. Pada tingkat yang ekstrem, kita jatuh ke dalam depresi, dan bahkan bunuh diri.

Hal yang sama kiranya bisa terjadi di tingkat politik. Politik yang tersesat adalah politik yang tanpa tujuan. Politik menjadi tidak bermakna. Semua kebijakan tidak bertujuan untuk menyejaterahkan rakyat, melainkan untuk memperkaya para pejabat yang korup dan biadab. Ketika ini terjadi, buahnya dua, yakni kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang merajalela di masyarakat. Di satu sisi, ada orang memiliki lebih dari lima mobil mewah di rumahnya. Di sisi lain, ada keluarga yang kekurangan uang sekedar untuk makan hari ini. Inilah pemandangan di ibu kota, dan juga di berbagai kota besar di Indonesia.

Mencari Mata Air. Dalam keadaan semacam ini, apa yang mesti dilakukan? Ketika tersesat, kita perlu mencari pegangan hidup. Kita perlu mencari titik tolak, dimana kita bisa memulai untuk menemukan kejernihan. Cerita pendek ini kiranya bisa membantu.

Ada orang yang mendaki gunung. Begitu tingginya gunung tersebut, sampai ia melewati batas awan. Ketika melewati batas awan, gunung tersebut dipenuhi kabut. Cuaca begitu dingin, dan mata nyaris tak dapat melihat. Ia tersesat. Ia tidak dapat menemukan jalan pulang. Seketika itu, ia teringat. Air selalu mengalir ke bawah. Ia pun mulai mencari mata air kecil, dan mengikuti alirannya, berharap bisa menemukan jalan turun ke bawah. Akhirnya, ia berhasil melewati batas awan, dan menemukan jalan pulang. Mata air kecil yang mengalir ke bawah telah menjadi petunjuknya untuk menemukan jalan pulang. Mata air tersebut telah menjadi pegangannya. Ia mengikutinya, dan akhirnya menemukan jalan yang ia cari.

Melestarikan Kehidupan. Mata air adalah sumber kehidupan. Tidak ada satupun kehidupan yang bertahan di alam ini, tanpa air. Dari sini, kita bisa belajar, bahwa ketika tersesat, kita perlu untuk mencari pegangan yang juga merupakan sumber kehidupan. Pegangan itu haruslah berupa seperangkat nilai atau pun tindakan yang melestarikan kehidupan itu sendiri. Melestarikan kehidupan itu berarti berbuat baik. Melestarikan kehidupan juga berarti sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ada di sekitar kita. Berbuat baik disini juga harus dipahami dalam arti luas. Ia bukan hanya sekedar memberi uang untuk mendapat pahala, tetapi merupakan dorongan alami dari dalam batin untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang sedang terjadi.

Ketika kita terus berusaha melestarikan kehidupan, maka kita akan kembali menemukan arah. Kita akan kembali menemukan makna di dalam hidup kita. Secara perlahan tapi pasti, kita akan melihat jalan pulang untuk melampaui segala bentuk kecemasan dan penderitaan di dalam hidup. Pendek kata, kita akan menemukan jalan pulang.

Ketika dunia politik tersesat, hal yang sama kiranya perlu dilakukan. Korupsi dan kebiadaban politik tidak pernah menyeluruh. Selalu ada orang yang teguh berpegang pada prinsip-prinsip keberadaban, pun ketika krisis politik terjadi. Mereka tidak boleh larut ke dalam korupsi, melainkan harus tetap berpegang pada petunjuk ketika tersesat, yakni melestarikan kehidupan. Sikap melestarikan kehidupan akan berbuah banyak. Banyak orang akan terinspirasi. Ide-ide baru demi kebaikan bersama dan pelestarian kehidupan akan berkembang. Jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama pun akan terbuka, walaupun mungkin tak akan pernah terwujud sepenuhnya.[]

sumber gambar:

Wednesday, April 13, 2016

Wacana Kesetaraan Gender Di Seputar Pesantren


Oleh: Muhammad Madarik

Konsep kesetaraan gender (gender equality) bagi sebagian besar kaum Islam (baca: kalangan pesantren) masih dinilai sebagai gerakan "pemberontakan" terhadap segala bentuk kemapanan, baik pada ranah laki-laki secara personal, institusi keagamaan, maupun masyarakat. Penggambaran para aktifis gender bahwa ada peran dari ahli agama (agamawan) yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan dari laki-laki, kian membuat luka komunitas pesantren semakin menganga.

Kritik pedas yang dilontarkan pegiat kesataraan gender begitu terasa menusuk ulu hati "kaum sarungan" itu, saat para penuntut persamaan tersebut mulai menggugah beberapa kitab kuning yang menjelaskan tentang relasi suami-istri. Setidaknya, terdapat beberapa semacam buku catatan kecil (risalah shaghirah) yang hampir-hampir semua pesantren menjadikannya sebagai bahan kajian secara rutin. Di antara kitab tipis itu adalah Uqûd al-Lujain fî Bayân Huqûq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Qurrah al-A'yun fî al-Nikâh al-Syar'î wa Adâbih, karangan Abd al-Qadir Bafadlal, Qurrah al-Uyûn fî al-Nikâh bi Syarh Nazh Ibn Yanûn, atau Adab al-Mu'âsyarah bain al-Zaujain li Tahshîl al-Sa'âdah al-Zaujiyah al-Huqûqiyah, milik Ahmad ibn Asymuni.

Kitab-kitab sebagaimana tersebut, bagi para kiai dan santri, memiliki tingkat popularitas dan apresiasi yang cukup tinggi, sehingga tatkala muncul pihak-pihak yang mencoba mengusik sebuah "kemapanan" yang diistilahkan orang dengan "konservatisme" itu, maka lahirlah sikap kontra-konfrontatif menghadang gelora akselerasi kemajuan dari gerakan kelompok perubahan.

SUMBU WACANA
Dengan cara menggunakan analisa Emile Durkheim dan Karl Marx sebagai kendaraan guna memuluskan wacana keadilan dan kesamaan perempuan, kelompok pegiat kesetaraan gender menebar isu-isu agama sebagai umpan awal.

Bagi pencetus sosiologi modern yang bernama lengkap David Emile Durkheim itu agama merupakan sistem terorganisasi mengenai kepercayaan dan ritual yang berfokus pada kitab suci. James Doyle yang menggunakan perspektif Durkheim ini dalam beberapa penelitian tentang gender akhirnya berani menyimpulkan bahwa "tanpa diragukan lagi, agama memang memainkan peran dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai peran gender tradisional. Tidak jauh berbeda dengan simpulan J. Doyle yaitu hasil analisa Karl Heinrich Marx yang memandang agama sebagai candu bagi masyarakat, memaparkan fungsi agama hanya sebagai alat yang dipergunakan untuk membentuk peran gender (baca: tradisional). Dalam pandangan Marx, agama kerap digunakan untuk membius sebagian besar masyarakat hingga mereka tunduk dan patuh terhadap kepentingan dan nilai-nilai yang dianut oleh pemimpinnya. Dengan "janji-janji surga" agama kemudian mampu mengalihkan perhatian mereka yang menderita di dunia dari penderitaan dan penyebabnya, karena mereka lebih mengharapkan balasan kenikmatan dan "bonus-bonus" akhirat yang melimpah. Dengan cara yang sama pula, kaum laki-laki menggunakan jaring-jaring dogma agama untuk menuai keuntungan dari kalangan anak Hawa.

Berlandaskan lontaran wacana-wacana semacam di atas, utamanya yang dihembuskan aktifis barat, para pegiat kesataraan gender mulai mempersoalkan relasi laki-laki dan perempuan dari perspektif hak-hak asasi manusia. Dalam konteks pesantren, berangkat dari topik ini kemudian permasalahan menjalar kepada: 1) sistem hirarki kuasa di pesantren, dan 2) pandangan bias gender kitab kuning. Sebetulnya apabila dieja semakin detail lagi, persoalan-persoalan gender lebih luas dari hanya sekedar dua masalah itu. Kita lihat misalnya persoalan perdebatan pembacaan tekstual-kontekstual, dan pro-kontra tafsir emansipatoris, tarik ulur tentang partisipasi perempuan dalam panggung politik.

HIRARKHI KUASA TAK BERKEADILAN
Seperti di dalam umumnya dunia pesantren, kiai diposisikan sebagai tokoh sentral yang kekuasaan tunggal dan absolut. Tentu fakta ini tidak bisa dipungkiri terdapat di lingkungan kompleks pesantren, sebut saja pesantren Lirboyo, Ploso Kediri, pesantren-pesantren di wilayah Jombang, atau di kota-kota lain. Dalam kedudukan demikian, kiai memiliki tempat strategis sebagai sumber inspirasi dan cermin semangat moral (uswah hasanah) bagi para santri. Para santri benar-benar merasakan kewajiban moral untuk berkonsultasi dan mengikuti petuah-petuah kiai yang dianggap seperti petunjuk hidup bagi mereka. Oleh sebab itulah, Abdurrahman Wahid menyebut sikap hormat (ta'dzim) dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri.

Sekaitan dengan sistem interaksi guru-murid terdapat cerita legenda di kalangan santri tentang Hadratussyaikh Hasyim As'ari Jombang yang nyantri kepada  Syaikhona Kholil Bangkalan.

Begitu tunduk (ta'dzim), Hasyim Asy'ari muda ketika menuntut ilmu di pesantren Mbah Yai Kholil hampir-hampir tidak pernah mengikuti pengajian gurunya. Pasalnya, ia selalu diperintah berbagai macam tugas-tugas rumah tangga sang guru, mulai dari mengisi air bak kamar mandi, mencari kayu bakar untuk dapur sampai harus menemukan cincin milik Ibu Nyai yang hilang di lobang WC. Tetapi ketaatan si murid dipercaya menjadikan akhir kisah itu berupa happy ending. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, pendiri pesantren Tebuireng Jombang yang melahirkan banyak kiai pesantren di belahan Nusantara dan juga disebut-sebut sebagai ulama ahli hadits.

Pola pergaulan kiai-murid di dalam dunia pesantren tidak bisa dilepaskan dari torehan sejarah pertumbuhan pesantren di Nusantara sebagaimana ditegaskan Nurcholish Madjid merujuk salah satu dari dua pendapat tentang sejarah pesantren di Indonesia bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata "cantik", yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke manapun pergi menetap. Meskipun tidak sekental dahulu, hubungan "guru-cantrik" ini kemudian diteruskan dalam masa Islam melalui proses akulturasi budaya dengan istilah yang berevolusi menjadi "guru-santri". Sekalipun perkataan guru dipakai secara umum, tetapi untuk sosok yang terkemuka disebut dengan ujaran "Kiai" yang berarti orang tua, keramat atau sakti dalam bahasa Jawa. Istilah ini sejurus dengan kata "Syaikh" dalam bahasa Arab yang kurang lebih sama dengan istilah Jawa tersebut. Oleh karena itulah, ucapan "Kiai/Syaikh" begitu bermakna sakral, baik bagi kalangan pesantren maupun kaum keraton, walaupun dengan implikasi terjamahan yang berbeda.

Kaitan dengan relasi kiai-murid ini, Abdurrahman Wahid mengakui bahwa hirarki kuasa yang dimiliki pihak pesantren mempunyai perwatakan absolut. Dengan berbekal salah satu pilar bangunan sebuah komunitas masyarakat, putra Pahlawan Nasional, Wahid Hasyim itu menyebut dunia pesantren sebagai subkultur masyarakat.

Hanya saja bagi para pegiat kesetaraan gender, fenomena relasi kuasa antara kiai dan santri disimbolkan sebagai sebentuk "ningrat-abdi" sehingga segala macam perintah dan peraturan dari sang kiai harus dimaknai sebagai titah tak terbantahkan. Absolutisme yang dimiliki kiai pesantren dicurigai oleh mereka (baca: para pegiat kesataraan gender) merupakan sebuah susunan pranata yang nyaris mengarah kepada perilaku kultus individu. Parahnya lagi, dalam pandangan mereka, struktur sosial keningratan tersebut dilandasi legitimasi teks-teks agama yang termaktub dalam lembaran kitab kuning. Kitab Ta'lim al-Muta'allim karya Syaikh al-Zarnuji merupakan salah satu dari sekian kitab kuning yang sangat mempengaruhi bangunan hubungan kiai-santri.

Dalam kaca mata mereka, tatanan dan tuntunan tentang garis-garis besar pergaulan dari ulama yang bernama lengkap Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi itu merupakan pisau pembedah bagi wujudnya kesetaraan gender yang betul-betul tumpul. Keperkasaan pemimpin pesantren yang diwakili sosok laki-laki dianggap telah mengiris keikutsertaan perempuan di dalam peran-peran penting perkembangan pesantren. Alih-alih menjamah ranah manajerial pesantren, lokasi saja dikungkung di balik ketebalan dinding-dinding doktrin ajaran agama atas nama perbedaan kaum Adam dan golongan Hawa.

JUSTIFIKASI TEKS TERHADAP LAKU SANTRI
Seperti disinyalir Nurcholis Madjid bahwa tekanan nilai mistik interaksi guru-murid lebih dipengaruhi oleh konsep hubungan "guru-centrik" yang terdapat pada konsep-konsep Hindu-Budha atau bahkan dilatari oleh konsep stratifikasi masyarakat Jawa jauh sebelum Islam, nuansa mistis juga membawa sikap-sikap santri yang cenderung berlebihan terhadap kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren. Bagi Cendikian Muslim itu, sikap berlebihan tersebut jika ditinjau dari segi efisiensi dan asas guna yang bisa diperolehnya.

Sudah bukan rahasia lagi, orang-orang pesantren memang menempatkan kitab kuning sebagai rujukan dan bahkan landasan hidup sebelum mengacu kepada al-Qur'an dan hadits. Bagi kaum santri, kedua warisan Nabi Muhammad SAW itu dianggap terlalu transendental untuk secara langsung dibuat sandaran dan tolok ukur. Bahkan sedemikian sakral, bagi orang NU, demikian kata Munawir Abdul Fatah, enggan menyebut "kitab" dengan istilah "buku". Sebab kalau dibilang buku konotasinya sama dengan buku-buku yang beredar, yakni semua disiplin ilmu. Padahal kitab itu sangatlah erat dengan pelajaran keagamaan/keislaman.

Isi dalam kitab kuning dinilai sebagai pandangan yang sangat berpengaruh terhadap kalangan pesantren di dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kitab kuning ditangkap seperti berkedudukan doktrin agama, karena bagi mereka keberadaan kitab kuning merupakan karya para alim yang tak diragukan lagi kompetensi dan kapabilitasnya, baik dari segi keilmuan maupun kerohanian, sehingga akseptabilitas masyarakat pesantren terhadap kitab kuning begitu besar.

Di luar kepatuhan dunia pesantren pada muatan karya ulama (utamanya masa klasik), bagi pegiat kesetaraan gender masih bias gender. Materi kitab kuning, dibaca oleh mereka cukup bukti untuk dikatakan mensubordinasi perempuan. Contoh yang dapat diangkat sebagai misal antara lain keberadaan perempuan sebagai makhluk Tuhan dihargai separo dari nilai laki-laki. Hal ini bisa ditilik dari tinjauan fiqh soal anjuran penyembuhan hewan aqiqah; bagi bayi laki-laki 2 ekor kambing, sementara kambing yang diperuntukkan buat anak perempuan cukup satu ekor saja. Kesaksian perkara-perkara tertentu dalam tinjauan fiqh; dua perempuan dipatok setara dengan satu laki-laki.

Bagi para pegiat kesetaraan gender, akibat pandangan-pandangan ulama yang masih bias gender di dalam kitab kuning tersebut mempengaruhi wawasan masyarakat secara umum (terutama di pedesaan). Lihatlah misalnya bagaimana wanita usia gadis dikekang gerak-gerik, pergaulan  dan ruang kehidupan dengan batasan yang tidak seluas anak remaja laki-laki.

Berkenaan dengan cara "ber-fiqh" yang masih begitu kental pembedaan laki-laki dan perempuan, para pegiat mengajak untuk melakukan kontekstualisasi fiqh. Konsep ini tetap meletakkan teks-teks kitab fqh madzhab sebagai suatu kebenaran, tetapi analisa teks-teks kitab fiqh selayaknya menyesuaikan konteks yang ada. Prasyarat yang dibutuhkan dalam rangka kontekstualisasi fiqh bisa dilakukan dengan cara: (1) Memahami sejarah sosial pemikiran fiqh, dan (2) Memahami substansi nilai-nilai teks.

Tentu saja uraian di atas merupakan beberapa wacana yang dikembangkan oleh kalangan pegiat kesetaraan gender. Lebih lagi wacana itu kian meningkat mnjadi tuntutan, dan hingga kini terus didengungkan oleh mereka. Dengan fenomena demikian, mau tidak mau kaum pesantren harus merespon perkembangan zaman dengan segala dinamikanya, termasuk kemunculan para pegiat kesetaraan gender agar semua pihak di lingkungan pesantren tidak menjadi gagap. Wallahu a'lam.

Sumber gambar:

DAFTAR BACAAN:
1. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.
2. Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, UIN-Maliki Press, Malang: 2011.
3. Masdar F. Mas'udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning”, dalam Lies Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, INIS, Jakarta: 1993.
4. Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta: 2001.
5. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung: 1995.
6. http://www.islamcendekia.com.konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html.  (akses:13/03/2016)

Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top