Wednesday, April 13, 2016

Wacana Kesetaraan Gender Di Seputar Pesantren

9:24 PM


Oleh: Muhammad Madarik

Konsep kesetaraan gender (gender equality) bagi sebagian besar kaum Islam (baca: kalangan pesantren) masih dinilai sebagai gerakan "pemberontakan" terhadap segala bentuk kemapanan, baik pada ranah laki-laki secara personal, institusi keagamaan, maupun masyarakat. Penggambaran para aktifis gender bahwa ada peran dari ahli agama (agamawan) yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan dari laki-laki, kian membuat luka komunitas pesantren semakin menganga.

Kritik pedas yang dilontarkan pegiat kesataraan gender begitu terasa menusuk ulu hati "kaum sarungan" itu, saat para penuntut persamaan tersebut mulai menggugah beberapa kitab kuning yang menjelaskan tentang relasi suami-istri. Setidaknya, terdapat beberapa semacam buku catatan kecil (risalah shaghirah) yang hampir-hampir semua pesantren menjadikannya sebagai bahan kajian secara rutin. Di antara kitab tipis itu adalah Uqûd al-Lujain fî Bayân Huqûq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Qurrah al-A'yun fî al-Nikâh al-Syar'î wa Adâbih, karangan Abd al-Qadir Bafadlal, Qurrah al-Uyûn fî al-Nikâh bi Syarh Nazh Ibn Yanûn, atau Adab al-Mu'âsyarah bain al-Zaujain li Tahshîl al-Sa'âdah al-Zaujiyah al-Huqûqiyah, milik Ahmad ibn Asymuni.

Kitab-kitab sebagaimana tersebut, bagi para kiai dan santri, memiliki tingkat popularitas dan apresiasi yang cukup tinggi, sehingga tatkala muncul pihak-pihak yang mencoba mengusik sebuah "kemapanan" yang diistilahkan orang dengan "konservatisme" itu, maka lahirlah sikap kontra-konfrontatif menghadang gelora akselerasi kemajuan dari gerakan kelompok perubahan.

SUMBU WACANA
Dengan cara menggunakan analisa Emile Durkheim dan Karl Marx sebagai kendaraan guna memuluskan wacana keadilan dan kesamaan perempuan, kelompok pegiat kesetaraan gender menebar isu-isu agama sebagai umpan awal.

Bagi pencetus sosiologi modern yang bernama lengkap David Emile Durkheim itu agama merupakan sistem terorganisasi mengenai kepercayaan dan ritual yang berfokus pada kitab suci. James Doyle yang menggunakan perspektif Durkheim ini dalam beberapa penelitian tentang gender akhirnya berani menyimpulkan bahwa "tanpa diragukan lagi, agama memang memainkan peran dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai peran gender tradisional. Tidak jauh berbeda dengan simpulan J. Doyle yaitu hasil analisa Karl Heinrich Marx yang memandang agama sebagai candu bagi masyarakat, memaparkan fungsi agama hanya sebagai alat yang dipergunakan untuk membentuk peran gender (baca: tradisional). Dalam pandangan Marx, agama kerap digunakan untuk membius sebagian besar masyarakat hingga mereka tunduk dan patuh terhadap kepentingan dan nilai-nilai yang dianut oleh pemimpinnya. Dengan "janji-janji surga" agama kemudian mampu mengalihkan perhatian mereka yang menderita di dunia dari penderitaan dan penyebabnya, karena mereka lebih mengharapkan balasan kenikmatan dan "bonus-bonus" akhirat yang melimpah. Dengan cara yang sama pula, kaum laki-laki menggunakan jaring-jaring dogma agama untuk menuai keuntungan dari kalangan anak Hawa.

Berlandaskan lontaran wacana-wacana semacam di atas, utamanya yang dihembuskan aktifis barat, para pegiat kesataraan gender mulai mempersoalkan relasi laki-laki dan perempuan dari perspektif hak-hak asasi manusia. Dalam konteks pesantren, berangkat dari topik ini kemudian permasalahan menjalar kepada: 1) sistem hirarki kuasa di pesantren, dan 2) pandangan bias gender kitab kuning. Sebetulnya apabila dieja semakin detail lagi, persoalan-persoalan gender lebih luas dari hanya sekedar dua masalah itu. Kita lihat misalnya persoalan perdebatan pembacaan tekstual-kontekstual, dan pro-kontra tafsir emansipatoris, tarik ulur tentang partisipasi perempuan dalam panggung politik.

HIRARKHI KUASA TAK BERKEADILAN
Seperti di dalam umumnya dunia pesantren, kiai diposisikan sebagai tokoh sentral yang kekuasaan tunggal dan absolut. Tentu fakta ini tidak bisa dipungkiri terdapat di lingkungan kompleks pesantren, sebut saja pesantren Lirboyo, Ploso Kediri, pesantren-pesantren di wilayah Jombang, atau di kota-kota lain. Dalam kedudukan demikian, kiai memiliki tempat strategis sebagai sumber inspirasi dan cermin semangat moral (uswah hasanah) bagi para santri. Para santri benar-benar merasakan kewajiban moral untuk berkonsultasi dan mengikuti petuah-petuah kiai yang dianggap seperti petunjuk hidup bagi mereka. Oleh sebab itulah, Abdurrahman Wahid menyebut sikap hormat (ta'dzim) dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri.

Sekaitan dengan sistem interaksi guru-murid terdapat cerita legenda di kalangan santri tentang Hadratussyaikh Hasyim As'ari Jombang yang nyantri kepada  Syaikhona Kholil Bangkalan.

Begitu tunduk (ta'dzim), Hasyim Asy'ari muda ketika menuntut ilmu di pesantren Mbah Yai Kholil hampir-hampir tidak pernah mengikuti pengajian gurunya. Pasalnya, ia selalu diperintah berbagai macam tugas-tugas rumah tangga sang guru, mulai dari mengisi air bak kamar mandi, mencari kayu bakar untuk dapur sampai harus menemukan cincin milik Ibu Nyai yang hilang di lobang WC. Tetapi ketaatan si murid dipercaya menjadikan akhir kisah itu berupa happy ending. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, pendiri pesantren Tebuireng Jombang yang melahirkan banyak kiai pesantren di belahan Nusantara dan juga disebut-sebut sebagai ulama ahli hadits.

Pola pergaulan kiai-murid di dalam dunia pesantren tidak bisa dilepaskan dari torehan sejarah pertumbuhan pesantren di Nusantara sebagaimana ditegaskan Nurcholish Madjid merujuk salah satu dari dua pendapat tentang sejarah pesantren di Indonesia bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata "cantik", yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke manapun pergi menetap. Meskipun tidak sekental dahulu, hubungan "guru-cantrik" ini kemudian diteruskan dalam masa Islam melalui proses akulturasi budaya dengan istilah yang berevolusi menjadi "guru-santri". Sekalipun perkataan guru dipakai secara umum, tetapi untuk sosok yang terkemuka disebut dengan ujaran "Kiai" yang berarti orang tua, keramat atau sakti dalam bahasa Jawa. Istilah ini sejurus dengan kata "Syaikh" dalam bahasa Arab yang kurang lebih sama dengan istilah Jawa tersebut. Oleh karena itulah, ucapan "Kiai/Syaikh" begitu bermakna sakral, baik bagi kalangan pesantren maupun kaum keraton, walaupun dengan implikasi terjamahan yang berbeda.

Kaitan dengan relasi kiai-murid ini, Abdurrahman Wahid mengakui bahwa hirarki kuasa yang dimiliki pihak pesantren mempunyai perwatakan absolut. Dengan berbekal salah satu pilar bangunan sebuah komunitas masyarakat, putra Pahlawan Nasional, Wahid Hasyim itu menyebut dunia pesantren sebagai subkultur masyarakat.

Hanya saja bagi para pegiat kesetaraan gender, fenomena relasi kuasa antara kiai dan santri disimbolkan sebagai sebentuk "ningrat-abdi" sehingga segala macam perintah dan peraturan dari sang kiai harus dimaknai sebagai titah tak terbantahkan. Absolutisme yang dimiliki kiai pesantren dicurigai oleh mereka (baca: para pegiat kesataraan gender) merupakan sebuah susunan pranata yang nyaris mengarah kepada perilaku kultus individu. Parahnya lagi, dalam pandangan mereka, struktur sosial keningratan tersebut dilandasi legitimasi teks-teks agama yang termaktub dalam lembaran kitab kuning. Kitab Ta'lim al-Muta'allim karya Syaikh al-Zarnuji merupakan salah satu dari sekian kitab kuning yang sangat mempengaruhi bangunan hubungan kiai-santri.

Dalam kaca mata mereka, tatanan dan tuntunan tentang garis-garis besar pergaulan dari ulama yang bernama lengkap Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi itu merupakan pisau pembedah bagi wujudnya kesetaraan gender yang betul-betul tumpul. Keperkasaan pemimpin pesantren yang diwakili sosok laki-laki dianggap telah mengiris keikutsertaan perempuan di dalam peran-peran penting perkembangan pesantren. Alih-alih menjamah ranah manajerial pesantren, lokasi saja dikungkung di balik ketebalan dinding-dinding doktrin ajaran agama atas nama perbedaan kaum Adam dan golongan Hawa.

JUSTIFIKASI TEKS TERHADAP LAKU SANTRI
Seperti disinyalir Nurcholis Madjid bahwa tekanan nilai mistik interaksi guru-murid lebih dipengaruhi oleh konsep hubungan "guru-centrik" yang terdapat pada konsep-konsep Hindu-Budha atau bahkan dilatari oleh konsep stratifikasi masyarakat Jawa jauh sebelum Islam, nuansa mistis juga membawa sikap-sikap santri yang cenderung berlebihan terhadap kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren. Bagi Cendikian Muslim itu, sikap berlebihan tersebut jika ditinjau dari segi efisiensi dan asas guna yang bisa diperolehnya.

Sudah bukan rahasia lagi, orang-orang pesantren memang menempatkan kitab kuning sebagai rujukan dan bahkan landasan hidup sebelum mengacu kepada al-Qur'an dan hadits. Bagi kaum santri, kedua warisan Nabi Muhammad SAW itu dianggap terlalu transendental untuk secara langsung dibuat sandaran dan tolok ukur. Bahkan sedemikian sakral, bagi orang NU, demikian kata Munawir Abdul Fatah, enggan menyebut "kitab" dengan istilah "buku". Sebab kalau dibilang buku konotasinya sama dengan buku-buku yang beredar, yakni semua disiplin ilmu. Padahal kitab itu sangatlah erat dengan pelajaran keagamaan/keislaman.

Isi dalam kitab kuning dinilai sebagai pandangan yang sangat berpengaruh terhadap kalangan pesantren di dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kitab kuning ditangkap seperti berkedudukan doktrin agama, karena bagi mereka keberadaan kitab kuning merupakan karya para alim yang tak diragukan lagi kompetensi dan kapabilitasnya, baik dari segi keilmuan maupun kerohanian, sehingga akseptabilitas masyarakat pesantren terhadap kitab kuning begitu besar.

Di luar kepatuhan dunia pesantren pada muatan karya ulama (utamanya masa klasik), bagi pegiat kesetaraan gender masih bias gender. Materi kitab kuning, dibaca oleh mereka cukup bukti untuk dikatakan mensubordinasi perempuan. Contoh yang dapat diangkat sebagai misal antara lain keberadaan perempuan sebagai makhluk Tuhan dihargai separo dari nilai laki-laki. Hal ini bisa ditilik dari tinjauan fiqh soal anjuran penyembuhan hewan aqiqah; bagi bayi laki-laki 2 ekor kambing, sementara kambing yang diperuntukkan buat anak perempuan cukup satu ekor saja. Kesaksian perkara-perkara tertentu dalam tinjauan fiqh; dua perempuan dipatok setara dengan satu laki-laki.

Bagi para pegiat kesetaraan gender, akibat pandangan-pandangan ulama yang masih bias gender di dalam kitab kuning tersebut mempengaruhi wawasan masyarakat secara umum (terutama di pedesaan). Lihatlah misalnya bagaimana wanita usia gadis dikekang gerak-gerik, pergaulan  dan ruang kehidupan dengan batasan yang tidak seluas anak remaja laki-laki.

Berkenaan dengan cara "ber-fiqh" yang masih begitu kental pembedaan laki-laki dan perempuan, para pegiat mengajak untuk melakukan kontekstualisasi fiqh. Konsep ini tetap meletakkan teks-teks kitab fqh madzhab sebagai suatu kebenaran, tetapi analisa teks-teks kitab fiqh selayaknya menyesuaikan konteks yang ada. Prasyarat yang dibutuhkan dalam rangka kontekstualisasi fiqh bisa dilakukan dengan cara: (1) Memahami sejarah sosial pemikiran fiqh, dan (2) Memahami substansi nilai-nilai teks.

Tentu saja uraian di atas merupakan beberapa wacana yang dikembangkan oleh kalangan pegiat kesetaraan gender. Lebih lagi wacana itu kian meningkat mnjadi tuntutan, dan hingga kini terus didengungkan oleh mereka. Dengan fenomena demikian, mau tidak mau kaum pesantren harus merespon perkembangan zaman dengan segala dinamikanya, termasuk kemunculan para pegiat kesetaraan gender agar semua pihak di lingkungan pesantren tidak menjadi gagap. Wallahu a'lam.

Sumber gambar:

DAFTAR BACAAN:
1. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.
2. Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, UIN-Maliki Press, Malang: 2011.
3. Masdar F. Mas'udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning”, dalam Lies Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, INIS, Jakarta: 1993.
4. Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta: 2001.
5. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung: 1995.
6. http://www.islamcendekia.com.konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html.  (akses:13/03/2016)

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top