Saturday, April 23, 2016

Menulis Dengan Sederhana

8:37 PM


Oleh: Irham Thoriq

Nulis Itu ya Nulis Saja
~Pramoedya Ananta Toer

Pernyataan Pram ini menurut saya ada benarnya, tapi juga ada kurang tepatnya. Untuk bisa menulis kita memang hanya butuh kemauan untuk terus menulis. Kurang tepatnya jika kita hanya menulis tanpa dibarengi dengan kecakapan membaca.

Ya, selain terus menerus menulis, yang dibutuhkan penulis hanyalah terus menerus membaca. Meminjam istilah Zen RS, penulis yang baik selalu lebih banyak membacanya daripada menulisnya. Dengan banyak membaca buku kita bisa berimajinasi, memperkaya diksi, memperbanyak refrensi dan yang paling penting kita tidak hanya bergumam dalam tulisan kita.

Banyak membaca diperlukan untuk aneka macam tulisan seperti menulis esai, opini, fiksi, dan juga menulis berita. Kenapa menulis berita butuh membaca? Karena tugas sejatinya wartawan adalah bercerita kepada para pembacanya. Cerita yang baik hanya bisa didapat jika kita menuliskannya dengan memikat.

Fakta menarik akan sangat membosankan jika ditulis dengan cara serampangan. Oleh karenanya, selain harus cakap mencari data, wartawan yang baik selalu akan meningkatkan kualitas tulisannya.
Lalu, bagaimana menulis yang baik? Menurut saya (dalam hal ini Anda bisa beda pendapat), menulis yang baik adalah menulis dengan sederhana. Hanya dengan menulis sederhana para pembaca bisa mudah memahami gagasan apa yang ingin kita sampaikan.

Selain itu, menulis sederhana berarti kita tidak berlebihan dalam menggunakan kata-kata. Penyair kenamaan Sitor Situmorang pernah mengatakan kalau kata-kata bagaikan peluru, kita harus hemat menggunakannya. Dengan kehidupan yang berjalan begitu cepat, mungkin orang tidak punya waktu banyak untuk membaca tulisan, apalagi tulisan yang boros kata dan berbelit-belit.

Untuk bisa hemat kata-kata, kita harus menjadi editor dalam tulisan kita sendiri. Caranya dengan membaca berulang-ulang tulisan kita lalu membuang kata-kata yang dianggap tidak perlu. Untuk mengetahui kata yang tak perlu prinsipnya sederhana, jika kata itu dibuang tidak mengubah makna, maka kata-kata itu sudah layak dibuang.

Menulis Berita 
Sebagaimana saya singgung di atas, penulis berita atau wartawan itu adalah pencerita bagi pembacanya. Tugas pencerita adalah tidak membuat bosan orang yang membaca dan yang mendengarkan cerita. Jika orang sudah berhenti membaca pada paragraf pertama, bisa ditebak kalau berita yang ditulis membosankan.

Karena hal inilah dalam berita ada yang disebut lead. Umumnya lead berada pada paragraf pertama. Arti dari lead adalah kail. Jika kita memancing kita membutuhkan kail agar ikan tertarik pada kail kita, memakannya dan pada akhirnya terjebak pada pancing kita.

Begitu juga dengan menulis, pada paragraf pertama dalam berita harus semenarik mungkin. Jika kita menulis suatu acara atau peristiwa, pilihlah hal paling menarik dari berbagai fakta yang ada dan tulis pada paragraf pertama sehingga pembaca ingin terus membaca berita hingga tuntas.

Jenis Berita
Secara umum ada dua jenis berita yang biasa digunakan media massa. Pertama adalah berita keras atau hardnews dan yang kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Kapan kita menggunakan berita jenis hardnews dan feature? jawabannya sesuai dengan materi berita cocoknya dibuat hardnews atau feature.

Pada media online dan media harian kita lebih banyak menemukan berita jenis hardnews. Kenapa? Karena berita jenis ini simpel dan mendahulukan yang penting di awal tulisan. Rumusnya sangat klasik yakni rumus piramida terbalik, yakni menempatkan yang penting di atas, semakin kebawah semakin tidak penting.

Rumus klasik lainnya dari hardnews adalah berita harus menjawab enam pertanyaan, yakni 5 W dan 1 H. Atau dalam bahasa Indonesianya enam yang harus dijawab itu adalah apa, siapa, di mana, kapan, kenapa dan bagaimana. Jika sudah bisa menjawab enam pertanyaan tersebut, maka berita sudah bisa dikatakan hardnews. Oleh karenanya, pada media online kita kerap mendapati berita hanya tiga larik yang sudah menjawab enam pertanyaan tersebut.

Pada berita jenis ini, lead berada pada paragraf pertama. Jika kita mendapati fakta kalau seorang kecelakaan dan ternyata itu adalah anak bupati, maka yang dijadikan lead dan juga judul berita adalah anak bupati yang kecelakaan. Kronologi tentang kecelakaan bisa ditaruh di bagian bawah.

Sedangkan jenis berita kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Biasanya feature berkisah tetang kehidupan seseorang. Feature yang menarik tidak akan jauh dari dua rumus ini, yakni orang yang from hero to zero atau from zero to hero. Orang yang awalnya miskin sekali lalu sukses menjadi dokter atau presiden, kisahnya selalu menarik.

Atau seorang siswa jawara olimpiade tingkat nasional, setelah dicek ternyata dia adalah anak sopir angkot. Sebaiknya, berita jenis ini yang ditonjolkan anak sopir angkot dan juga prestasinya. Tidak melulu soal prestasinya.

Hal menarik lain soal kenestapaan seseorang yang sebelumnya menjadi hero. Seperti contoh ada Mantan Bupati yang ketika pensiun memilih berkebun. Ini bisa jadi feature menarik meski semisal Mantan Bupati tersebut hanya hobi berkebun, bukan karena tidak punya uang untuk beli sayur-sayuran di Pasar.

Pada berita jenis ini yang paling penting adalah penggambaran. Karena berita dalam jenis ini adalah ceritanya, maka biasanya hal penting tidak ada di depan melainkan ada di tengah atau di akhir berita. Pada awal berita umumnya berupa deskripsi terhadap orang atau pristiwa yang kita tulis dalam bentuk feature-nya.

Oleh karenanya, dalam feature ada istilahnya super lead. Selain untuk memancing pembacanya, super lead ini juga berisi tentang inti dalam tulisan tersebut. Sehingga, orang bisa tertarik membaca diskripsi hingga inti dari berita.

Untuk mempermudah menggambarkan, berikut saya tuliskan beberapa contoh deskripsi dalam features yang ada dalam buku berjudul "Seandainya Saya Wartawan Tempo". Pada contoh pertama ini bermula dari seorang wartawan yang merasa ingin tahu tentang kebiasaan pengamen yang banyak kita temui di jalanan.

Mungkin orang biasa menganggap biasa pengamen tersebut dan kadang kita tidak memperdulikannya. Seorang wartawan yang jeli bisa membuat feature menarik dari berbagai kisah mereka. Contohnya yang ada dalam buku tersebut seperti ini:
Nama saya Buyung. Tak seorangpun pernah menanyakan asal-usul saya.
Cita-cita saya hanya sanya satu menjadi penyanyi, enggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung, bisa. Ayah saya kuli bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.
Dari deskripsi memikat itu, bisa ditulis artikel panjang. Pada akhirnya cerita ini dimuat di rubrik selingan di Majalah Tempo edisi 6 Mei 1989 dengan judul: Bocah-Bocah Turun ke Jalan.

Ada lagi deskripsi yang bunyinya seperti ini:
Laksana tarian perli langit, asap membumbung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang api (Tempo, 30 Januari 1993, Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali).
Bola mata juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (Tempo, 2 Januari 1993, Kasmaran Laut di Sarang Elang)
Dari berbagai contoh itu, kita bisa menyimpulkan kalau tulisan ini enak dibaca karena tidak boros menggunakan kata-kata. Kalimat disusun secara ketat, sehingga pembaca tidak bosan membacanya.

Hitam-Putih Media
Saya tidak ingin berpanjang-panjang membahas soal ini. Karena mungkin semua sudah tahu kalau sangat jarang kita mendapati media yang independen. Terlebih, pasca pemilu 2014 yang dua stasiun televisi seperti berlomba-lomba memihak dua calon presiden berbeda.

Tapi, saya yang bekerja di media menganggap kalau masih ada media yang lurus. Ya, meskipun melenceng tidak terlalu parah. Lalu, kenapa media sulit independen seratus persen? Menurut saya jawabannya karena tiga hal, yakni karena bisnis, politik dan juga faktor subjektivitas media.

Saya ingin membahas faktor subjektifitas media. Menurut saya karena media merupakan produk kreatif manusia, maka bisa saja media memihak berdasarkan prinsip dan visi media tersebut. Media toleran misalnya, akan sulit memuat pernyataan-pernyataan tokoh ekstremis yang itu bisa menghasut orang ikut pada ajaran mereka.

Belum lagi ada subjektivitas wartawan yang menganggap berita A penting serta menarik dan menganggap berita B tidak penting. Karena ada subjektivitas itu selalu akan ada keberpihakan di media. Atau mungkin tidak hanya di media, dalam hidup kita saja sebenarnya kita sudah memihak ketika memutuskan beragama, mempunyai istri yang satu agama, sampai ketika ikut organisasi tertentu. Hal tersebut menurut saya pilihan yang berpihak, yang juga tidak bisa dihindari oleh wartawan dan pekerja media.

Tapi, dari keberpihakan itu menurut saya kita punya hati nurani yang layak kita bela. Hati nurani bagaikan wasit kita mau berpihak ke mana sebaiknya mengikuti kata hati nutani kita.

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi bersama Gubuk Tulis, 13 April 2016.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
[sumber gambar: di sini]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top