Friday, December 27, 2013

Kemana Kau, Perempuan?

Alamanda. credit: blog
Oleh: Halimah Garnasih

Kamu berubah semenjak mengenalnya. Tapi kamu bilang kamu yang sekaranglah kamu yang sebenarnya. Sebelum perubahanmu ini, kamu adalah perempuan periang, lincah, dan spontanitas. Tapi sekarang, kamu jadi pendiam, gerakmu lebih halus, dan terkesan malu-malu.

Kami sebagai temanmu khususnya aku, sangat merasa aneh dengan perubahanmu ini. Sudah sangat sulit sekali kamu bisa keluar malam seperti biasanya. Nongkrong di warung kopi sambil membincangkan artikel, puisi ataupun cerpen teman-teman kita yang hari ini termuat di media. Mengamati dan mendiskusikan perkembangan atau lebih tepatnya kemerosotan bebera aspek negara kita.

Monday, December 23, 2013

Bung Hes dan Penjaranya


Oleh: Muhammad Hilal

Berjumpa kembali dengan Bung Hes adalah kesempatan langka. Beberapa waktu lalu tiba-tiba dia kirim sandek, meminta saya bergabung dengannya di warung kopi. Tentu saya langsung mengiyakan, sebab sudah terhitung lama saya tidak mengobrol dengannya secara luring, apalagi di sebuah warung kopi.


Lelaki asal Banyuwangi ini adalah kawan satu angkatan di kampus, tapi beda fakultas. Saya mengenalnya cukup akrab sebab kami bergiat dalam organisasi mahasiswa yang sama. Bersama-sama dengan yang lain, kami menjalani proses itu: berlama-lama di warung kopi diselingi diskusi atau bicara serabutan, terlibat kepanitiaan acara-acara tertentu, bersentuhan dengan politik kampus, menimbun modal pengetahuan untuk hari depan, dan seterusnya, dan seterusnya.


Ada yang unik dari Bung Hes semasa kami masih kuliah: dia punya kemampuan bahasa Inggris lebih baik ketimbang yang lain. Kecuali bung Hes, kami adalah sekumpulan mahasiswa yang payah dalam bahasa Inggris. Ini sebetulnya tidak ada masalah, hanya saja dia seringkali menunjukkan gejala keminggris yang menggelikan, sok-sokan beraksen asli daratan anglosaxon sana. Kalau mau bilang what is that? dia membunyikannya menjadi “wo’ is da’?”, atau kalau mau bicara what’s a matter, guys? bunyinya menjadi “wo’ a mata, gais?” Sontak gaya keminggris ini menjadi bahan pergunjingan di antara teman-temannya, ya saya termasuk. Kami suka menirukan gaya keminggris ganjil ini untuk lucu-lucuan.

Selain itu, bung Hes adalah pembaca buku yang tak kenal rasa capek. Ini juga terhitung unik di kalangan teman-teman sefakultasnya. Saya tahu betul, rata-rata teman-teman sefakultasnya lebih gemar berkesibukan dalam hal-hal praktis dan cenderung enggan menelusuri buku-buku. Bung Hes lain. Meski dia juga bergelut dengan hal-hal praktis, namun dia selalu menyisihkan waktu untuk tenggelam dalam lembar-lembar buku. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan menjadi pengurus panitia acara tertentu, dia dipercaya oleh teman-temannya untuk menduduki posisi yang berurusan dengan konsep-konsep dan perumusan “isi” acara. Saat sudah menjadi senior pun, dia kerap diminta jadi konsultan konsep-konsep oleh para juniornya, berbeda dengan teman lain yang biasanya jadi konsultan untuk kerja praktis atau kerja jaringan.


Saya ingat kadang berkunjung ke kamar kontrakannya untuk satu urusan atau lain hal. Di situ dia menumpuk koran-koran yang menurutnya memuat bahan-bahan penting. Untuk diklip, katanya. Saya suka mengajaknya berdiskusi mengenai banyak hal. Menurut saya, dia punya sudut pandang yang kerap bengal dan tak mudah ditebak.


Sering pula kami berbincang-bincang soal novel. Bagi Bung Hes, satu-satunya pengarang novel dalam negeri yang mampu menggerakkan pikiran dan tubuhnya hanyalah Pram—Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Buru, Arok-Dedes dan Arus Balik, demikian Bung Hes, membangkitkan kegelisahan intelektual yang tidak ecek-ecek dan murahan. Dia selalu melihat novel lain dalam sudut pandang novel-novel Pram, sehingga dia beranggapan bahwa membaca novel selain novel-novel Pram tak ubahnya seperti liburan akhir pekan, hanyalah selingan


Melalui Pram, Bung Hes mengarifi bahwa problem bangsa Indonesia adalah mentalitasnya. Mental inlander sudah sedemikian parah di kedalaman jiwa bangsa ini, bahkan sudah menjadi berakar kuat di dasar alam bawah sadar. Sehingga ada anggapan bahwa penjajahan bisa bertahan sedemikian lama itu tak lain karena orang-orang bermental inlander inilah yang mengundangnya, bangsa kita sendiri yang meminta kita dijajah. Mental rendahan ini bercokol di benak para petinggi bangsa ini. Pram tidak sekadar menyibak kenyataan ini, Bung Hes merasa bahwa melalui novel-novelnya Pram mengajak pembacanya untuk mencampakkan keras-keras mental bobrok semacam ini. Hal inilah yang tak bisa Bung Hes temukan di novel-novel lain.


Menurutku, pandangannya tentang Pram dan novelnya agak berlebihan, meski ada benarnya juga.


Bung Hes lulus 3 atau 4 semester lebih cepat ketimbang saya. Setelah lulus dia hijrah dari Jogja ke Jakarta. Saya membayangkan di sana dia akan terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tak lagi punya waktu untuk menyelami buku-buku.

***

Reuni di warung kopi kemarin ternyata mematahkan bayangan saya di atas. Dia mengajak saya mengobrol masih tentang buku-buku, juga tentang pengetahuan-pengetahuan baru. Orang ini ndak ada habis-habisnya ya, gumam saya.


Rupa-rupanya, tahun pertama di Jakarta dia bekerja sebagai redaktur dan kontributor di sebuah jurnal ilmiah. Pantas, pikir saya, pekerjaannya masih menuntutnya untuk tetap bergelut dengan buku dan untuk selalu memperbaharui pengetahuannya. Di situ dia juga mempertajam sudut pandangnya dengan sinau analisis kebijakan, analisis anggaran, strategi komunikasi dan lain-lain hal yang terbilang baru ketimbang saat dia masih mahasiswa. Dia berbicara dengan sangat bergairah saat itu.


Bung Hes juga berbincang soal novel. Owalah, orang ini juga masih baca novel! Tapi bagaimana pandangannya tentang novel kali ini?


Kali ini dia sadar bahwa dulu pandangannya tentang novel memang berlebihan. Tak ada yang salah dengan Pram, katanya. Masalahnya hanya pikirannya terpenjara dalam bayang-bayang Pram. Dulu dia tak bisa keluar dari balik besi-besi sel Pram karena selalu menghakimi dunia luar dari sudut pandang sel itu. Dia malah menikmatinya dan selalu melakukannya dalam setiap kesempatan. Singkatnya, masalahnya adalah dia dulu tak mau keluar dari sel penjara Pram.


Kali ini dia membaca novel-novel dengan alam pikir yang lebih merdeka ketimbang sebelumnya. Sekarang dia berhasil mendapatkan taste dari banyak novel. Bahkan novel alay dan teenlit pun dia baca. Dia mengaku, novel-novel alay dan teenlit ternyata ada menariknya juga. Jadi, mulailah dia bercerita tentang novel-novel yang pernah dia baca, dan itu menyulitkan saya sebab kebanyakan belum saya baca. Kata ‘alay’ masih bikin saya pusing.


Sekarang Bung Hes sedang belajar bahasa Prancis. Ini adalah bahasa keenamnya, setelah bahasa Jawa, Madura, Indonesia, Inggris dan Arab. Katanya, dia kursus bahasa Prancis dari nol, satu ruangan dengan bocah-bocah SD yang semuanya mengaku pernah berlibur ke luar negeri. Busyet, pikirnya, bocah-bocah ini anaknya siapa sih? Jadi sebagian dari mereka belajar bahasa Prancis untuk persiapan liburan selanjutnya, ke Paris. Dia menahan diri agar tidak panik di ruang kelas itu.[]

Sumber Gambar: pixabay.com, by 25621
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top