Alamanda. credit: blog |
Kamu berubah semenjak mengenalnya. Tapi kamu bilang kamu yang
sekaranglah kamu yang sebenarnya. Sebelum perubahanmu ini, kamu adalah
perempuan periang, lincah, dan spontanitas. Tapi sekarang, kamu jadi pendiam,
gerakmu lebih halus, dan terkesan malu-malu.
Kami sebagai temanmu khususnya aku, sangat merasa aneh dengan
perubahanmu ini. Sudah sangat sulit sekali kamu bisa keluar malam seperti
biasanya. Nongkrong di warung kopi sambil membincangkan artikel, puisi ataupun
cerpen teman-teman kita yang hari ini termuat di media. Mengamati dan mendiskusikan
perkembangan atau lebih tepatnya kemerosotan bebera aspek negara kita.
Kamu lebih suka mengurung diri di rumahmu pada saat malam
hari. Saat suatu kali kami tanyakan tentang profesi dan kesibukanmu
sekarang, kamu hanya tersenyum dan menjawab dengan satu kata: memasak. Tentu
kami sangat terkejut mendengar itu. Karena kami tahu, kamu, perempuan yang
dalam. Perempuan yang suka keheningan. Karena seperti katamu pada kami, hanya
keheninganlah yang paling mengerti segala warna gejolak di dadamu. Segala warna
emosi di jiwamu. Segala warna kegelisahan di sukmamu. Dan memasak, bagimu
adalah hal yang membuang-buang waktu. Katamu, dengan duaribu perak nasi kucing,
sudah bisa menyumbat lambungmu. Sekalian berbagi rizki dengan masyarakat sipil.
Kami tahu itu. Kami teman-temanmu yang sangat paham bahwa saat
siang hari kamu adalah perempuan lincah, periang, dan menggemaskan, lalu malam
adalah tempat kamu menjelma sebagai perempuan puitis, perempuan romantis. Kami
tahu, kala malam tiba, dan bulan penuh sedang menggandul di langit, kamu, di
depan rumahmu, di bawah pohon kamboja, menulis pusi. Atau kadang, menggigit
bibir terbawa arus emosi cerpen yang kamu baca. Juga sering diam-diam kamu
menangis dalam, setelah usai membaca novel. Kami juga tahu, bunga-bunga mawar dan
alamanda di depan rumahmu selalu menikmati emosi yang keluar dari suaramu saat
membaca puisi. Itu indah sekali, Kawan. Kami mencintai hidupmu yang itu. Kami
bahagia pada bahagiamu. Tapi sekarang ... kenapa? Kenapa, Kawan? Kamu hilang.
Kamu bukan kamu, Perempuan!.
Kini, tentu saja, malam-malam lewat dengan begitu ganjil. Di
jembatan Sayyidan ini, kami habiskan malam-malam dengan gamang. Mahmoed memang
tetap menabuh jimbenya. Tapi sungguh, tabuhannya tak bergairah. Di telingaku
terkesan bukanlah tabuhan jimbe tapi bunyi perutnya yang lapar. Laila, memang
masih memainkan biolanya, tapi kamu juga mesti tahu, biola itu menangisi
ketiadaanmu. Air matanya berjatuhan dan menyatu dengan air sungai Gajah Wong
atau mungkin juga air Kali Code. Aku bisa memahami perasaan biola itu. Baginya,
persatuan melodinya dengan bulan biru adalah segalanya. Tapi tanpamu di
malam-malam kami, bulan itu tidak menoleh sekalipun. Dan itu artinya, melodi
biola Laila, tak menemukan gairahnya. Tentu saja bulan itu tak menoleh, selama
ini, ia ada karena ingin menyorongkan cahayanya pada tarian-tarianmu. Ia merasa
ada, karena melihat keayuan cahayanya saat menyorongkannya pada gemulai
tarianmu di bawah langit.
Kamu, kembalilah. Tak hanya Jimbe Mahmoed dan Biola Laila yang
lesu. Sulingku pun seakan kehilangan Jiwa. Begitu juga dengan teman-teman yang
lain.
Suatu malam, kami sangat bersuka cita saat melihat seorang
perempuan yang berjalan di samping Munir adalah kamu. Jalanmu santai, senyummu
sederhana, tapi jelas terpancar kebahagiaan yang sedang bermekaran di sana.
Celana jeansmu telah berganti rok yang sepadan warnanya dengan baju dan
kerudungmu. Aku, Mahmoed, Laila dan juga teman-teman yang lain tercengang saat
kamu semakin dekat dengan meja kami. Warna bajumu. Warna bajumu yang dari jauh
tadi nampak warna gelap—warna-warna yang sering kamu pakai—ternyata berwarna
pink. Rok, baju, dan kerudungmu berwarna pink!Pink!
Kamu duduk dengan halus di samping Laila. Tapi jujur, entah
mengapa aku lebih suka cara dudukmu sebelum ini, yang apa adanya. Dan apa itu?
Aduhai, sebuah dompet mungil berwarna pink dengan gambar bunga-bunga ada di
tanganmu. Hai, Perempuan, Kawanku, kemana tas ranselmu? Tas ransel yang selalu
berat karena berisi banyak buku-buku bacaanmu. Buku-buku yang selalu saja ingin
kamu sharekan kepada kami.
Keterjutan kami berlanjut saat pelayan meletakkan satu gelas tinggi
juz alpukat. Kamu meminumnya dengan senyum yang tersembunyi di sana. Aku dan
Laila yang sangat tahu kamu tak menyukai alpukat, saling pandang. Bukan juz
alpukat, Kawan. Kopi pahitlah teman galau dan bahagiamu! Oh, kamu berubah.
Kemana, Kau, Perempuan?
Dan pada sebuah hari. Sebuah hari yang membuat
kami—teman-temanmu—paham. Kami diam-diam masuk ke rumahmu. Tentu saja alamanda
dan kamboja yang menyambut kami di pagi yang cerah. Kami masuk tanpa mengetuk
pintu. Tapi tak kutemukan kamu di ruang tamu, di kamar, di perpustakaan, dan di
kebun belakang. Ayunan putih di depan kolam renang yang bersetting alami,
bergeming. Tak ada buku berceceran seperti biasa di sana. Hanya bunga kamboja
putih yang berguguran di sana. Mempercantik halaman belakang rumahmu.
“Kalian dengar itu?” Laila mengejutkan kami.
Ya, kami mendengar suara khas minyak di dalam penggorengan saat ada
sesuatu di masukkan ke dalamnya. Dan hmm.... kami yang kelaparan ini terbuai
dengan bau gurih masakan ini. Alamak.... kami lupa denganmu, Kawan. Kami,
teman-temanmu yang lapar ini melangkah. Mencari sumber bau gurih nan lemak ini.
Sampai di depan dapur kami terhenti. Tecengang. Kami melihatmu dan
seorang lelaki sedang meremas-remas olahan kentang dalam satu wadah. Kamu dan
dia sama-sama diam. Khidmat pada pekerjaan masing-masing atau khidmat pada
perasaan masing-masing. Kami, khususnya aku, paham, Kawan. Kalian berdua sedang
tersihir suatu perasaan yang halus sampai-sampai kehadiran kami dari tadi tidak
kalian sadari. Kamu dan lelaki itu sedang berenang di sungai yang paling
pribadi. Di sungai perasaan yang hanya milik kalian berdua. Kamu dan dia
sama-sama tertunduk menatap olahan kentang dalam wadah itu. Sesekali melempar
senyum jika tangan atau jemari kalian bersenggolan. Dan tiba-tiba aku merasa
sakit membayangkan jantung kalian berdegup-degup cepat tapi lembut. Apa mungkin
aku cemburu? Ah! Bajigur! Jangan! Kamu hanyalah temanku. Temanku yang paling
spesial.
Kami paham, Kawan. Kami paham. Lalu dengan isyarat dan langkah
halus, kami tinggalkan dirimu dengannya. Kami tinggalkan dirimu yang sedang
berlayar bahagia bersamanya. Kami tinggalkan. Kutinggalkan.
Sebelum benar-benar kakiku keluar dari pagar rumahmu, kupandangi
bunga alamandamu. Dan mereka bergoyang pelan seakan mengatakan selamat tinggal.
Aku hanya bisa mengangguk. Laila yang tahu perasaanku, memandangku sayu. Ia
julurkan karet dan kukucir rambut gondrongku.
Malamnya, kupetiki sinar gitarku. Menyanyikan lagu seorang dalang.
Titi Kala Mangsa. Bulan penuh yang menggantung di langit kuyakini juga bulan
penuh yang sedang dinikmatimu dan lelaki itu di depan rumahmu. Ah, Aminah!
Yogyakarta, 19 Mei 2013
0 komentar:
Post a Comment