Friday, September 27, 2013

Krisis Karakter Ideal



Oleh: Muhammad Dhofir

Akhir-ahkir ini krisis karakter memang sudah menjadi suatu fenomena sehari-hari yang kurang elok di masyarkat, baik masyarakat pedesaan, perkotaan, di lembaga-lembaga pendidikan tertentu, dan bahkan di institusi pemerintahan yang sudah sering dibicarakan di media. Percaturan politik yang tidak mengindahkan rule of law, tetapi rule of money, hemat saya tak menunjukkan apa-apa selain bahwa para politikus belum menjadi figur yang baik dan terpercaya bagi masyarakat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai etika kepada manusia yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter berpijak pada sumber dari nilai moral seorang pendidik, seperti; guru, keluarga, dan lingkungan. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti bila ditelisik lebih jauh bagi mereka yang dapat menerapkan. Contoh sederhananya dalam etika tegur sapa, dari sebelumnya yang suka berkata kotor bisa menjadi berpikir dua kali bila kata-kata itu ingin dilontarkan lagi kepada orang lain. Pepatah mengatakan “salahnya menghitung uang konsekuensinya untung dan rugi, namun bila salah ucapan konsekuensinya bisa menyinggung orang lain alias ada yang sakit hati”.

Wednesday, September 25, 2013

The Javanese Mind


(Sebuah Telaah atas Pola Pikir dan Kisah Manusia Nusantara dalam Arus Balik)[i]



Oleh: Muhammad Mahrus[ii]


“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa lalu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!”[iii]


Semacam Abstraksi

Kiranya, penggalan dialog dalam karya monumental Pramoedya Ananta Toer di atas merupakan salah satu narasi atas pengetahuan penulis terhadap pola pikir masyarakat Nusantara pada kurun waktu abad ke-16 (hingga sekarang). Ketika itu, masyarakat Nusantara sedang dalam situasi yang berat. Simbol kejayaan Nusantara hampir menjadi dongeng dan legenda semata. Bahkan tanpa ruh yang mampu menghasilkan horison baru. Sementara, Nusantara juga sedang dalam kungkungan lingkaran setan yang entah sampai kapan bermuara.


Barangkali, Pram memang hanya seorang anak bangsa yang berani mengajarkan pada generasi setelahnya agar lebih peka terhadap kompleksitas tantangan dan kemungkinan harapan. Dia mengajarkan pada kita bagaimana mengenali diri, pun betapa mahal harga diri. Dia juga mengajari kita tentang bagaimana seharusnya menghadapi masa depan, baik dengan tangis maupun canda tawa. Dia meyakinkan kita bahwa kita adalah manusia, penanggung jawab penuh atas diri dan bangsanya. Sedangkan sejarah, sebagaimana air, tenang-menghanyutkan, beriak dan bergelombang, berarus dan berpetaka. Tetapi, air adalah air, air adalah kehidupan.
Dalam sejarah Nusantara, sayangnya tidak cukup tua peradaban Nusantara yang (ter)sampai(kan) pada kita. Jika pun ada, sejarah peradaban Nusantara kebanyakan dilihat dari teori evolusi yang lahir dari peradaban di luar Nusantara. Alurnya pun terpotong-potong seakan memang tidak ada bagian penting selain yang telah disajikan. Sehingga, kita menjadi generasi yang a historis terhadap sejarah peradaban kita sendiri.


Lintasan sejarah Nusantara rupanya banyak yang terekam baik dalam pengetahuan Pram. Lika-liku pergolakan, kemunafikan, kearifan, dan kebesarannya juga tidak luput dari perhatiannya. Pram melihat Nusantara sebagai bangsa dengan peradaban yang sangat tinggi, tinggi sekali. Genap dengan falsafah dan estetika yang terkandung di dalamnya. Khusus dalam periode sejarah arus balik, Pram menceritakan sejarah Nusantara (dengan suka-dukanya) sebagai bangsa yang pernah besar dengan kekuatan armada laut; di mana periode sejarah ini adalah penggalan sejarah bangsa yang dibangun oleh Majapahit; meliputi alasan-alasan kebesarannya berikut implikasi pasca keruntuhannya.



Tak dapat dipungkiri, bahwa akal sejarah masyarakat Nusantara seakan berjalan tanpa alur. Di dalamnya juga terdapat berbagai macam konstruksi—yang seringkali kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme—pengetahuan. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, serta keyakinan dan agama. Dengannya, kita semakin jauh dari bentuk masyarakat Jawa yang berkarakter, asli (pure form).



Nusantara; Arus Balik

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang luas wilayahnya lebih didominasi lautan. Dalam sejarah Nusantara, Majapahit adalah kerajaan besar di antara peradaban-peradaban besar di dunia. Majapahit adalah simbol kejayaan Nusantara dengan segenap suka-dukanya. Majapahit adalah cikal bakal Indonesia, meski Indonesia tak sebagaimana Majapahit.



Sebagai negara maritim, negara dengan kekayaan bahari, tanah subur Nusantara yang dikenal dengan Indonesia, seharusnya kita menjadi negara yang makmur nan perkasa. Didukung dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, genap dengan falsafah dan estetika serta kebudayaannya yang beragam; Indonesia adalah surga dunia. Karenanya bangsa dan negara-negara menjadi iri dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia.



Sewaktu Majapahit masih ada, masyarakat Nusantara tidak begitu khawatir  dengan benturan peradaban yang terjadi dalam berbagai bentuk. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Majapahit sampai pada puncak kehancurannya. Sayangnya, masyarakatnya terlena dalam riak gelombang keruntuhan peradabannya sendiri; antara sadar dan tidak. Bangkitnya Demak pun ternyata bukan jawaban atas fakta tersebut.



Secara simbolik, runtuhnya Majapahit adalah terbukanya jalan atas sebuah arus dahsyat dari negeri Atas Angin di Utara yang kemudian menghancurkan Nusantara (ini) di Selatan. Arus itulah yang tak mampu dibendung anak-anak bangsa meskipun kesadaran akan eksistensinya masih melekat. Sejak itu pula sebenarnya arus itu membawa segala-galanya ke Nusantara, termasuk kekacauan dan segala atribut keburukannya. Arus balik: serangan balik yang mendorong masyarakat Nusantara hingga pada titik nadir yang tak dapat diprediksi batas akhirnya. Arus balik tidak hanya mewujud dalam gelombang besar. Ia bisa merupa sebagai gemericik dan riak gelombang yang sederhana. Tapi hantamannya terasa ketika arus tersebut telah membawa peradaban yang telah rapuh nan lapuk termakan usia. Dengan atau tanpa kesadaran dari peradaban itu sendiri.



Sebagaimana tersebut di atas, bahwa gelombang dahsyat ini menerjang segala aspek dalam tata peradaban Nusantara. Potensi kemakmuran dan kejayaan masyarakatnya terdorong ke sudut kegelapan dan kehancuran. Intregitas bangsa menjadi taruhan. Wawasan kebangsaan dan jati diri diperjualbelikan. Eksistensi seakan tak lagi penting dalam jiwa masyarakatnya yang semakin kerdil.



Mengapa arus balik? Benturan antarperadaban ini bermula dari jalur laut. Di mana sebagian tanda runtuhnya Majapahit adalah kekalahan pertempuran armada lautnya yang kemudian mendorong masyarakatnya ke daerah pedalaman. Pergeseran wilayah ini rupanya juga seiring dengan pola pikir yang semakin sempit. Sehingga membentuk mental-mental inferior atas kekuatan-kekuatan yang ada di luar. Saya menyebutnya, Mentalitas Inlander.[]





[i] Paper ini dipresentasikan dalam diskusi rutin Humaniora Park, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada 29 November 2011.


[ii] Penulis novel MAFIA; Three in One, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pembebasan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


[iii] Toer, Pramoedya, Ananta, ARUS BALIK, Hasta Mitra, Jakarta, Juli 2001, Cet. IV, hal. 6.

Friday, September 20, 2013

Raudlatul Ulum

Oleh: Muhammad Mahrus

desir angin kali ini
sayup-sayup mengantarku pada masa lalu
saat bersenda
bergumul bersama sembari melantunkan alfiyah
saat-saat di mana seakan tiada dosa

Raudlatul Ulum
aku rindu padamu

kuharap masih ada tempat untukku
karenamu aku berada di sini, kini
menjemput senjaku
yang pernah kau kenalkan padaku

Raudlatul Ulum
mawar yang kau tunjukkan padaku, dulu
kini sedang merekah bersama senja
saling menghiasi hari-hariku

Raudlatul Ulum
aku berharap bisa persembahkan mereka untukmu
suatu saat nanti, sebagai tanda baktiku padamu

Yogyakarta 2009
Pernah dipublikasikan di sini.
Muhammad Mahrus
adalah mahasiswa AF Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
penulis novel Three in One.

Sunday, September 8, 2013

Mengoleksi Origami


Oleh: Alif Aslah Abdurrahman
 
Suatu hari aku dan adik membuat origami. Tiba-tiba adik berkata, “ayo kita mengoleksi origami.”

“Ide yang bagus,” jawabku. Kami pun langsung membuat origami sampai larut malam dan adikku tertidur.

Besoknya sepulang sekolah aku segera mengganti baju, shalat, makan, kemudian berlari untuk segera membuat origami.

Sekarang koleksi origamiku 29 buat, ada yang berbentuk burung elang, badak, dan sebagainya. Semua origami kutaruh di dekat jendela. Aku memang senang membuat origami.[]

Alif Aslah Abdurrahman
Siswa kelas IV MI Raudlatul Ulum Putra Ganjaran
Gondanglegi Malang.
Tulisan ini pernah dimuat di Kompas Minggu
8 September 2013. 
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top