Friday, May 30, 2014

Sauda

credit photo: here

Oleh: Siti A'isyah

Kereta yang ku tumpangi semakin mendekati kota kelahiranku. Kenangan-kenangan pahit segera menyergapku. Jika bukan karena keinginan kuatku untuk segera mengetahui alasan Sauda mau menerima kembali mantan suaminya, Rowo, tidak ingin rasanya aku kembali menginjakkan kaki ke kota ini. Tapi Sauda bersikeras tidak mau memberitahukan alasannya itu lewat telepon ataupun lewat media sosial lain. Dia harus menyampaikannya langsung kepadaku. Dan satu-satunya jalan adalah aku harus datang ke rumahnya, di kota kelahiranku.

Melewati tiga stasiun lagi, kereta ini akan berjalan di rel kota J.

Ingatanku melayang pada suatu hari ketika kakiku melangkah masuk ke rumah Sauda, seorang perempuan beranak tiga, yang tertua berumur 7 tahun dan yang bungsu berumur 23 bulan, yang menjadi korban kekerasan suaminya. Kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi, semua dialaminya. Saat melihatnya, rasa iba dan marah segera memenuhi dadaku. Badan kurusnya lebam membiru. Anak-anaknya juga kurus tidak terawat. Rumahnya, yang sebenarnya cukup besar, nyaris kosong tanpa perabotan, hanya satu set meja kursi lusuh di ruang depan dan tempat tidur dan sebuah lemari pakaian yang tersisa di kamar.

Tuesday, May 27, 2014

Di Kapal Bukit Raya

credit photo: here.

Oleh: Muhammad Madarik

Ibnu Taslim berjalan gontai setelah hampir sejam mengantri bersama penumpang lain di pintu keluar ruang tunggu penumpang. Ia kemudian memperlambat langkahnya di antara pejalan lain sejenak setelah pandangannya mengarah ke kapal besar yang kokoh bersandar di pelabuhan selat Madura. Kapal laut “Bukit Raya” itu terasa sedikit mengobati hatinya yang gundah. Perlahan kakinya dia langkahkan kembali setelah sigaretnya menyala di antara jemari tangan kanannya. Ibnu menghisap sigaret mild itu dalam-dalam sembari merapatkan diri ke dalam barisan antrian para penumpang menuju anak tangga besi besar ini sesaat seusai rokok kesukaan banyak teman di kampusnya itu dia hempaskan.

Sesampainya di dak atas ia langsung berlari sebagaimana banyak penumpang kelas ekonomi berhamburan masuk ke pintu-pintu dak bawah untuk mencari tempat masing-masing. Setelah naik-turun dan keluar-masuk dak, Ibnu akhirnya menemukan tempat yang agaknya masih kosong di antara beberapa tas milik penumpang.

“Maaf, apa di sini masih kosong, bu?” Tanya Ibnu sambil mengusap tetesan air peluh di dahinya kepada ibu setengah tua yang duduk menata tas dan kardus bawaannya.

Friday, May 23, 2014

Mahkamah Konstitusi, Siapa Mengawasi Siapa?




Oleh:Ghufron AM

Hukum Tata Negara merupakan sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, Hukum Tata Negara membahas struktur organisasi negara dan hubungan struktur negara dengan warga negaranya. Seperti halnya yang dikatakan Vanderpot, Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing masing, hubungan satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu.

Telah lama diasumsikan untuk mencapai sistem pemerintahan yang stabil, tidak hanya bersandar pada kontruksi politik dan hukum semata, perlu berpijak pada orientasi politik, sikap dan tujuan masyarakat sipil yang terpadu dan kuat. Dalam sebuah tesisnya, Francis Fukuyama mengatakan, diterimanya konsep demokrasi secara universal di penjuru dunia dikarenakan masyarakat dan warga negaranya memiliki orientasi politik yang jelas dan nyata secara bersama-sama.

Monday, May 19, 2014

Kajian tentang Bid'ah






Oleh: Abdurrohim Said

Dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, Rasulullah saw. bersabda: "berhati-hatilah pada setiap hal yang baru, karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat perkara baru dalam masalah agama, dan setiap perbuatan baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat.

Perhatikan nggeh, "semua bid'ah adalah sesat." Pertanyaan selanjutnya, apa sih bid'ah itu?

Friday, May 16, 2014

Kuasa Kleptokrasi






Oleh: A. Athok Lukman Hakim

Salah satu persoalan yang membuat hidup jadi pelik adalah jika sesuatu berperan tidak sesuai fungsinya. Anda bisa bayangkan jika kambing dipaksa untuk diperankan menjadi sapi, dibuat membajak sawah. Atau sabit Anda perankan menjadi gergaji mesin untuk memotong kayu. Kualitas sebuah pekerjaan harus sebanding lurus dengan kualitas intrumen atau subyek pelakunya.

The righ man in the righ place, sebuah adagium tentang keterkaitan suksesnya pekerjan dengan kualitas subyek pelakunya. Perahu yang baik akan maksimal fungsinya jika dia berada di sungai besar atau di laut. Dia akan kehilangan “tuah”-nya andai berada di padang pasir. Celana dalam akan kehilangan eksotismenya jika berada di kepala kita. Dan betapa lucunya jika kondom Anda jadikan bungkus koleksi HP.

Monday, May 12, 2014

Kiat-kiat Menjadi Kaum Stoik di Masa Kini


Oleh: Muhammad Hilal

Pengantar: Siapa itu kaum Stoik?
Kaum Stoik adalah para filsuf pasca Aristoteles yang menganut mazhab Stoisisme.  Mazhab ini didirikan oleh Zeno of Citium (332-262 SM.). Stoa adalah istilah Yunani yang berarti beranda atau koridor suatu bangunan. Oleh karena Zeno mengajarkan filsafatnya di koridor Poikile, Athena, maka para filsuf itu disebut kaum Stoik. 

Dalam kazanah Islam mereka disebut dengan Ar-Rawâqiyûn—rawâq adalah terjemahan harfiah dari Stoa. Disebut demikian karena Zeno mengajarkan filsafatnya di koridor Stoa Poikile

Para filsuf Stoik dikenal karena ajaran mereka tetang etika. Menurut mereka, keutamaan tertinggi itu adalah kesesuaian tingkah laku manusia dengan alam. Alam bergerak dalam ritme dan rangkaian yang teratur. Tugas manusia adalah menyesuaikan dirinya dengan ritme dan rangkaian itu. Dengan cara itu, kebahagiaan akan tercapai.

Saturday, May 10, 2014

Toleransi untuk Indonesia


Komentar atas buku Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme,
Kazuo Shimogaki LKiS, 1993 

Oleh: Yahya Hayat
 
Pentingnya Revitalisasi Khazanah Islam Klasik
Ketika kita bicara seorang Hassan Hanafi, setidaknya setelah kita mengenalnya dari tesis yang beliau tulis “Al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al-Islâmiyah,” beliau adalah seorang modernis—meminjam istilah Kazuo Shimogaki dalam buku ini. Artinya, dia adalah seorang pembaharu Islam yang berpendapat bahwa seharusnya orang-orang Islam melakukan revitalisasi khasanah Islam klasik untuk kemajuan orang-orang Islam itu sendiri. Beliau termasuk orang yang gelisah atas budaya orang-orang muslim yang hanya bertumpu pada teks-teks yang ada dalam ilmu klasik.

Sebenarnya ketika kita berbicara revitalitalisasi khasanah  Islam klasik, pintu untuk merealisasikan metode ini sangat terbuka semenjak zaman dahulu setelah periode Muhammad ibn Jâbir ath-Thabarî (w. 310 H.). Dia adalah seorang tâbi‘ at-tâbi‘în penulis kitab Jâmi‘ Al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân. Beliau adalah seorang ahli tafsir pada masanya, yang mana pada periode sebelum Ath-Thabarî para mufassir hanya bertumpu pada riwayat yang ada. Metode seperti ini disebut juga tafsir bi al-ma’tsûr dan berlangsung sejak zaman para sahabat Nabi Muhammad, sehingga menafsiri Alquran harus mempunyai sanad yang tersambung pada Nabi Muhammad. Namun pada periode setelah Ath-Thabarî ini kebiasaan menafsiri Alquran dengan ketentuan di atas mulai dikembangkan dengan munculnya metode tafsir bi ar-ra’y atau disebut juga tafsir logika, hanya dengan catatan tetap menitikberatkan relevansi dan korelasinya dengan Alquran atau hadis.

Thursday, May 8, 2014

Posisi Kitab Kuning dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia


(Sebuah Sketsa Sejarah)

Oleh: Muhammad Adib
 
Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur’an dan al-Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur’an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan madhhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madhhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,[1] terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi.

Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermadhhab di kalangan umat Islam pada umumnya.

Tuesday, May 6, 2014

Merindukan Santri* yang Melek Politik




Oleh: Siti A’isyah 

Fenomena PKB saat ini (tahun 2004) menjadikan citra politik santri terpuruk. Visi besar PKB tentang Demokrasi dan Pluralisme terkubur oleh perilaku politik yang tidak dewasa oleh kadernya. Akibatnya, politik santri yang pada sejarah Indonesia menorehkan tinta emas, akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam yang negatif. Apa yang terjadi dengan santri kita dengan kesadaran politiknya ?

Nah, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak santri menjadi politisi atau terlibat secara langsung dalam percaturan politik praktis. Pun tidak berniat untuk mengajarkan santri berebut kekuasaan. Penulis hanya ingin menumpahkan keresahan tentang betapa kebutaan kita akan politik, ingin berbagi tentang arti pentingnya politik, juga tentang efek politik dalam kehidupan, tidak hanya dalam kehidupan publik tapi juga dalam sisi hidup kita yang paling privat (pribadi).

Sunday, May 4, 2014

Ketika di Ujung Dua Hati




Oleh: Muhammad Madarik

Di malam yang sesunyi ini aku sendiri, tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari dia telah pergi, tinggalkan diriku
Adakah semua ‘kan terulang, hanya dirimu yang kucinta dan kukenang di dalam hatiku
Tak pernah hilang bayangan dirimu untuk selamanya
Mengapa terjadi pada diriku, aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan dunia agar aku dapat berjumpa denganmu.

Aku menghela nafas panjang, tatkala jemari ini tak lagi mampu menari di atas keyboard komputer. Makalah yang ditugaskan kepadaku sebagai ketua kelompok masih dapat satu halaman. Pikiran yang biasanya jernih dan fokus menyusun kata-kata seakan sirna, ketika mendayu-dayu bait lagu itu terngiyang-ngiyang di gendang telinga ini. Suara sendu seorang Chrisye dari radio ini mengantarkan aku untuk menggali kenangan satu tahun silam yang kuusahakan sedapat mungkin terkubur. Saat aku duduk diawal semester dua, seperti biasa sebelum sang mentari meninggi, aku duduk di pojok deretan panjang meja kantin milik kampus untuk sekedar mengganjal perut dengan gorengan dan kopi.

Seakan hapal dengan istiadatku, ibu kantin yang biasa dipanggil Bu Jah itu langsung menyeduh kopi hitam manis kesukaanku. Tak lama wanita paruh baya itu mengantarkan kopi panas ke hadapanku sembari mempersilahkan, “monggo, Gus !” Katanya. Sapaan dengan logat Jawa begitu kental ini, bagiku sekarang sudah tidak asing lagi, meskipun pertama kali aku dengar membuat aku kaget.Tetapi setelah tahu semua mahasiswa yang berada di warungnya akan dipanggil “Gus”, menjadikan aku paham bahwa tindakan tersebut bagian dari tatakramanya.

Friday, May 2, 2014

Ketika Umur Tak Lagi Penting



Oleh: Irham Thariq

Pada 24 April lalu, saya tepat berumur 24 tahun. Tapi tulisan ini tidak hendak membahas tentang pertambahan umur saya yang tidak ada pentingnya bagi orang lain. Saya buat pengantar di tulisan, karena momen itulah yang membuat saya ingin menulis tentang umur, yang selalu dipertentangkan banyak orang, dan oleh lintas generasi.

Bagi masyarakat modern, selain uang yang selalu dicari siang malam, umur merupakan salah satu hal terpenting. Selalu ada ceplokan telur, siraman air, kue tar, dan bahkan pesta sebagai penanda pertambahan umur. Sesekali muda-mudi merayakannya dengan foto selfie dengan jelepotan kue di pipi.

Jauh kesan heroik perayaan itu, saya membayangkan tidaklah pernah ada hal itu di generasi sebelum kita. Dari kakek-nenek dan orang tua, saya tidak pernah mendengar cerita mereka merayakan pertambahan umur. Jangankan foto selfie, mengucapkan ulang tahun pun tampaknya tidak pernah.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top