[photo credit: here] |
Oleh:Yusroful Kholili
Capek
dan letih setelah bekerja di sawah memaksa penduduk terlelap dalam buaian tidur
malam. Saat siang hari udara dingin di desa yang terletak di kawasan gunung Semeru
mendekap seluruh penduduk di dataran tinggi ini. Apalagi saat malam hari, udara
dingin datang berlipat-lipat dibanding saat siang, membuat tubuh lebih memilih
untuk berlama-lama berlindung di balik selimut. Adalah suatu kewajaran jika
saat malam hari desa ini sepi, kebanyakan aktivitas yang dilakukan adalah
istirahat di dalam rumah. Malam benar-benar hanya menjadi waktu peristirahatan
dari segala pekerjaan berat, dan rumah menjadi benteng dari tajamnya dingin
yang menerobos dinding-dinding kehidupan.
****
Sunyi.
Rembulan menyibak malam dengan sinarnya,
jejeran buah cabai besar yang sudah siap panen nampak gamang dalam kegelisahan.
Gundah dan pasrah nampak disembunyikan,
namun warna kulitnya menunjukkan rasa itu “merah kehitaman”. Yang akan terjadi
hanya dapat digantungkan pada detik-detik yang akan datang berkelanjutan. Entah
tangan petani sendiri yang akan memetiknya saat siang tiba. Seorang yang dengan
tangan itu juga telah menanam dan merawatnya atau mungkin tangan-tangan panjang
akan menjamahnya secara diam-diam saat malam. Dan kemudian membawanya lebih
dulu dari saat senja hilang sampai sebelum subuh menjelang. Angin bersekongkol
dengan malam, menantang siapa saja yang nekat membuka mata di alam terbuka.
Hembusan udara dingin yang dihasilkan dari persekongkolan itu menjadi senjata
ampuh untuk mendiamkan para penantangnya. Sedangkan sepi turut membuka ruang
gerak-gerik yang tidak diharapkan. Inilah di antara bentuk persekongkolan dari dua benda abstrak yang
saling bahu membahu membangun sebuah “keadaan”.
Tak
ada yang akan menantang “keadaan”, kecuali ada campur tangan “ keadaan lain”
yang mendorong, atau bahkan memaksa
seseorang untuk tak mengalah dengan “keadaan”, dan kemudian mengubahnya menjadi
sebuah “kenyataan” yang lebih diharapkan.
***
Malam
itu, dingin sebagai salah satu petugas “keadaan” tak ingin terganggu tugasnya
oleh selainnya. Sebagaimana seorang petani yang bersikukuh untuk tetap membuka mata
di alam terbuka. Alam yang gelap tanpa satu penerangan, rembulan pun nampaknya
memilih untuk menyembunyikan sinarnya di balik kabut, bintang-bintang yang diharapkan
memberikan sinarnya barang sepercik, juga membututi rembulan. Mengintip dari
balik awan, satupun tak tampak. Tidak ada lagi yang diharapkan untuk menerangi.
Lampu-lampu penerangan belum lagi terpasang. Di persawahan, penerangan adalah
suatu angan-angan, tak lebih konkret dari sekedar bayang-bayang.
****
Dari
atas pohon kulihat seseorang duduk di samping gubuknya. Dari cara duduknya yang
menyandar pasrah pada pohon jati di belakangnya kelihatan sekali bahwa Kesegaran
tubuhnya telah terkuras untuk bekerja, sebagaimana kulitnya yang mulai keriput
kering. Sedang bercak hitam tersebar di permukaan kulit kehitaman karena
seringnya sinar matahari yang membakar peluh saat berladang. Matanya yang sayu
terlihat dipaksakan melawan kantuk, yang
sejak mega merah mulai hilang, kantuk telah bersarang di pelupuk matanya. Capek
mungkin telah melandanya dari ujung rambut sampai kakinya.
Tak
hanya melawan kantuk, dinginnya malam yang menusuk tulang belulang, dia lawan
dengan menyembunyikan kulitnya di balik kain sarung yang dipaksakan untuk
menutupi sekujur badan kecuali telapak tangan dan mukanya. Betapa keras
kehidupan. Tak hanya kecapekan dan kantuk dari dalam dirinya, dingin dan sunyi
ladang dia lawan demi menjaga kelangsungan ekonomi keluarga lebih
dipertimbangkn untuk bergelut dengan “keadaan”. Tugas yang lebih berat
dibanding dengan tugas untuk meninabobokkan penghuni malam yang diemban oleh
“dingin dan malam”. Bagian dari bangunan “keadaan”.
Sesekali
kulihat Jari jemarinya merogoh isi plastik hitam, yang kemudian diambilnya tembakau
dan cengkeh secukupnya dari dalamnya. Kemudian ramuan tembakau itu ia letakkan
di atas selembar kertas rokok, untuk kemudian melintingnya menjadi sebuah
batang rokok. Sebuah rokok yang oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan
rokok Tengwe (ngelenteng dewe,
pilinan sendiri). Lantas tangannya kembali merogoh isi plastik tersebut, dan
dikeluarkan sebuah korek api, sembari menyulut rokok itu dengan korek tersebut.
Sesaat pancaran sinar dari korek tersebut satu-satunya cahaya yang berani
menyingkap kegelapan di sekitarnya. Kepulan asap dari hisapannya yang dalam,
kini menjadi teman satu-satunya untuk mengusir kantuk yang mendera.
****
Jauh
dari jangkauan si petani, di tempat berbeda yang hanya dibatasi oleh
persawahannya, kulihat ada sesuatu bergerak mengendap-endap dalam
persembunyian. Tampak seorang berpakaian serba hitam menutupi tubuhnya. Tinggal
bola matanya saja terlihat putih di tengah-tengan petang. Dari caranya bergerak
menunjukkan manusia hitam itu siap siaga, untuk menyergap buah-buah siap panen
yang menjadi intaiannya. Menunggu waktu yang tepat, saat yang jaga dalam
kelalaian.
Sepi
malam menjadi rekannya untuk meloloskan aksinya. Kewaspadaan tinggi yang dia
lakukan mampu mengusir udara dingin dengan sendirinya. Dengan alasan menyambung
hidup dan instan, tanpa harus bersusah payah bekerja, keuntungan akan diraup
dalam waktu semalam. Dingin pun tak digubris seraya merapatkan rangkulan pada
iblis. Pertimbangan akan celaka kalau sampai tertangkap basah oleh yang punya,
menciut oleh nafsu untuk dapat memanen buah cabai, walaupun tak ikut menanam
dan merawatnya. “Untuk apa menenanam dan
merawat, kalau bibit dan obat-obatan mahal harganya. Lebih baik nekat memanen
yang sudah tumbuh saja, hanya modal keberanian, biaya pun bisa ditinggalkan,”
bisiknya pada serumpun ilalang yang memberikan tempat untuk menyembunyikan
tubuhnya.
“Betapa
aneka macam isi tanah ini. ‘Keadaan‘ yang sama, punya fungsi beda di antara
keduanya. Di pihak yang satu gelap, dan sunyi menjadi tantangan yang siap mengakhiri
pendapatan untuk bertahan hidup, sedang di pihak berbeda sepi dan gelap seakan
menjadi rekan kerja ‘instan’nya. Yang sama saja sudah beraneka, apalagi yang
jelas-jelas beda. Tapi, kenapa kok masih diributkan? Yah mungkin inilah
keniscayaan,” komat-kamit pikiranku bebicara sendiri.
Drama
hidup yang berbeda itu, menjadi tontonan saat kakiku nyaman bertengger pada
salah satu dahan pohon jati. Pohon
tinggi tegap yang menggagahi gubuk reot yang berada di samping akar pohon ini
tertanam. Ya, hanya sebuah gubuk yang salah satu sisinya telah miring, meronta
tak kuat saat angin datang menerjang. Suatu kali kudengar perdebatan antara
pohon jati dan gubuk itu:
“Aku
bangga jadi diriku ini. Walaupun sudah renta begini aku masih bisa menjadi
tempat berteduh si petani di bawah atapku, sedang rumput yang tumbuh di tanah
menjadi tempat yang nyaman bagi petani untuk sekadar menyeka kucuran keringatnya
selepas bekerja di bawah terik matahari. Bahkan di tanahku juga si petani
merebahkan badannya untuk melemaskan kembali otot-otot dan tulangnya, setelah dikerahkan
untuk merawat tanaman di sawah. Saat malam pun, aku teman satu-satunya saat berjaga
malam,” serang gubuk, sementara pohon jati terus beridiri dengan angkuhnya.
***
Di tengah
tontonan itu, terdengar suara yang diarahkan kepadaku:
“Burung
hantu, ngapain kau di situ?” Sapa kelelawar yang tengah bergelatungan
pada ranting di atas dahan yang kugunakan untuk bersantai mengikuti alur
kehidupan malam itu.
“Ssst…
Jangan rame! Tak tahu apa? Aku lagi menonton drama hidup manusia di bawah
pohon ini.”
“Emang
ada tontonan apa di bawah dan membuat kau berminat bertengger di markasku ini?”
Jawabnya ringan.
“Itu
loh, alur hidup si petani. Setelah susah payah bekerja, terik dan hujan dia acuhkan
demi untuk merawat tanaman cabainya agar bisa tumbuh, terbebas dari hama yang
setiap waktu mencoba memangsa hidup si cabai, agar tidak gagal panen. Saat buah
sukses melewati hari-hari pertumbuhannya dan petani siap panen, malamnya tak
peduli dingin, capek, kantuk menyerang, dia paksa melawan, untuk menjaga
tanamannya dari pemangsa yang berasal dari sebangsanya. Coba lihat sendiri di bawah
itu.” Jelasku pada kelelawar itu.
“Wah
tontonan semacam ini sudah biasa. Kini untuk melihatnya pun ruangku telah sesak
dengan adegan itu. Untung saja aku tak mengikuti episode kelanjutannya, karena
alurnya lebih parah lagi. Dilanjutkan saat siang, dan siang waktuku untuk tidur
pulas dari kenyataan hidup si petani itu,” jawabnya mantap kepadaku. Tak terima promosiku tak digubris olehnya, kuajukan
pertanyanku.
“Emang
ada apa saat siang tiba? Sok tahu lho.”
“Suatu
kali burung pipit bercerita padaku. Katanya nanti saat buah cabai yang selamat dari tangan-tangan pemangsa telah
dipanen oleh pak tani, hasilnya akan dijual ke pedagang setempat. Anehnya, saat
penjualan si petani tidak dapat menentukan harga cabainya sendiri. Pedagang
yang akan membeli cabai petani itu yang memberikan harga cabai.”
“Itu
kan sudah menjadi hukum ekonomi. Kebutuhan pasarlah yang menentukan,” sanggahku.
“Padahal
mulai dari awal pembelian bibit, obat-obatan, perlengkapan pertanian, semua harga
datangnya dari si pemilik toko, si penjual,” balas kelewar tanpa menggubris
sanggahanku, seraya melanjutkan, “petani hanya dapat merogoh koceknya dalam-dalam,
dengan harga tinggi yang ditawarkan. Bahkan tak jarang si petani memohon-mohon
orang lain untuk merogoh uangnya yang kemudian dapat ia pinjamkan. Hanya
pedagang cabailah yang dapat memberikan pinjaman itu, yang kemudian dengan
pinjaman itu pedagang melilit petani dengan perjanjian hasil panen cabai dijual
kepadanya. Kalau sudah mulai dari modal
awal, bibit, dan obat-obatannya menggunakan hasil pinjaman petani kepada
pedagan gtersebut, maka jual cabainya harus ke pedagang itu juga, tentunya
dengan harga yang tidak sama dengan petani lainnya, dipotong-potong tak jelas,”
jelasnya mengguruiku. Aku hanya diam dan menjadi murid yang baik mendengarkan
pengetahuan baru itu darinya.
“Dan
aneh, baru kali ini kulihat penjual yang tak bisa menentukan harga barang jualannya
sendiri, padahal dia pemilik barang itu. Aku rasa ini menyakitkan,” tambahnya
di sela-sela pandangan mataku yang mengarah ke petani yang nampak mulai sudah
terkalahkan oleh kantuknya.
Cerita
itu terus menerus mengaduk-ngaduk pikiranku. Geram aku melihatnya. Dahiku
mengernyit memikirkan hal itu. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan. Untuk
jadi pahalwan kesiangan pun tak mungkin, karena siang lebih membuatku tertidur
dan terbuai dari segala ini. Puas
mendengar keterangan itu, kukepak-kepakkan sayapku, dan kemudian membawa tubuhku
mengeliligi persawahan itu. Terlihat gerak orang berpakaian hitam yang mengawasi,
sedang si petani nampak menyeka mukanya. Jelas bukan keringat yang ia seka. Keringat
yang akan keluar akan membeku sebelum sampai pada pori-pori, gara-gara dingin
yang menusuk tulang belulang seperti malam ini. Mungkin kesulitan hidup ini
yang ia seka dari mukanya. Atau mungkin kantuk yang ingin ia buang agar tak
menambah kesulitan hidupnya.
“Hhhh… Bedebah! Alur
kehidupan tercekik oleh ‘keadaan’ yang diciptakan!” Gerutuku menyibak kesunyian.
Dan aku terus berjalan, menjauhi si maling yang nampaknya terkejut dengan
suaraku. Raut wajahya nampak
kebingungan, ciut sudah nyalinya. Keringat dinginnya keluar namun masih tak
membasahi kering hati nuraninya. Sedang si petani nampak baru tersadar dari
mimpi-mimpinya. Dan kemudian bergegas untuk menyadarkan dirinya bahwa ini semua
hanya alur cerita yang diperankannya. Ulah sutradaralah yang membuatnya pada
posisi ini. “Dalam cerita pun aku tak mau memainkan posisi ini,” desisku pada
angin. Dan aku pun terus terbang, yang kemudian hilang dalam kegelapan.[]
0 komentar:
Post a Comment