Oleh: Muhammad Mahrus*
Abstraksi
Diskursus
tentang pesantren memang selalu menarik untuk dibahas. Terutama ketika
pesantren dikaitkan dengan tema-tema tertentu yang seakan tidak ada sangkut
pautnya dengan pesantren itu sendiri. Akan tetapi, begitulah pesantren.
Sederhana dalam kompleksitas pergulatannya dengan sejarah perjalanan dunia.
Karena pesantren sebagai subkultur. Meskipun istilah ini masih dalam upaya
pengenalan identitas kultural oleh kalangan dari luar terhadap persantren.[1]
Untuk
membaca pesantren, setidaknya terdapat tiga tipologi. Pertama, pesantren
salaf/tradisional. Model pesantren ini merupakan model pesantren asli dalam
arti metode dan cara pengajarannya masih seperti model pesantren awal. Berdiri
atas dasar kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas intelektual Kyai lalu dibangunlah
pondokan-pondokan permanen sebagai tempat tinggal para santri. Cara mengajarnya
juga khas dengan metode bandongan, wekton, dan sorogan. Dan sampai hari ini
masih banyak pesantren yang menggunakan tipologi tersebut.
Kedua,
pesantren khalaf/modern.[2]
Pesantren model ini dimaksudkan sebagai jawaban ketika pesantren dituduh
sebagai lembaga pendidikan yang kolot dan kaku. Pesantren ini mulai melakukan
inovasi dalam metode belajarnya seperti memberlakukan sistem klasikal dalam
kurikulum pendidikannya. Pesantren kedua ini biasanya berdiri atas inisiatif
bersama di bawah yayasan-yayasan tertentu. Kemudian setelah berdiri
bangunan-bangunan sebagai sarana pembelajaran dan tempat tinggal santri,
dipilihlah seorang Kyai yang dianggap mampu untuk mengasuh pesantren tersebut.
Ketiga, pesantren takmili. Tipologi terakhir pesantren ini dicontohkan terhadap
pesantren-pesantren yang memiliki Madrasah Diniyah dan Ma’had ‘Ali. Pesantren
takmili merupakan model pesantren penyempurna terhadap model pesantren kita hari
ini.
Terhadap
tipologi pesantren di atas, tampaknya dapat kita lihat bahwa pesantren tidak
sepenuhnya menutup diri atas perubahan. Pesantren selalu mengikuti perkembangan
sebagaimana kebutuhannya dalam menjawab tantangan zaman. Akan tetapi, setiap
perubahan yang dilakukannya tidak serta merta meninggalkan ciri khas yang
melekat dalam dirinya. Kitab kuning, misalnya.
Fenomena
Pop Culture
Pop culture
merupakan dampak dari globalisasi yang telah mewabah di kalangan generasi muda
secara umum. Tidak terkecuali kalangan pesantren. Banyak dari mereka yang mulai
terbawa oleh gaya hidup modern sebagaimana remaja-remaja perkotaan yang memang
dekat dengan kultur pop tersebut. Di sisi lain, pesantren dimasukkan dalam
kategori lembaga pendidikan civil society yang dapat menjaga eksistensinya tanpa intervensi negara, serta mampu
melakukan perubahan melalui proses detradisionalisasi sebagai dampak dari
modernisme selain globalisasi dan social reflexifity. Menurut Nurcholish
Madjid, diyakini bahwa pesantren memiliki akar tradisi tersendiri yang kemudian
menjadi sistem nilai yang telah dikembangkan sejak awal mula berdirinya:
ahlussunnah wal jama’ah.
Seiring
perkembangan zaman, pesantren-pesantren yang juga ikut berubah dalam arti
menyesuaikan dengan kondisi zaman, memberikan pengaruh terhadap gaya hidup para
santrinya. Misalnya, ketika memasak masih menjadi bagian dari aktifitas belajar
para santri lama, tampaknya hari ini tradisi tersebut sudah mulai
terpinggirkan. Digantikan dengan cara-cara yang lebih praktis dan instan. Fakta
tersebut dapat dipahami sebagai akibat dari semakin padatnya jadwal belajar
yang diberlakukan di pesantren-pesantren kita hari ini sehingga para santri
harus berfikir ulang ketika ingin memilih cara lama seperti generasi
pendahulunya. Pun, bisa juga ia akan dihadapkan pada rasa gengsi di antara
teman-temannya yang sudah tidak melakukan aktifitas tersebut. Belum lagi
ditambah sarana dari pesantren sendiri yang kebanyakan hari ini telah memiliki
kantin-kantin pribadi dengan dalih sebagai sarana penunjang ekonomi pesantren.
Sehingga, semua perubahan yang terjadi di dalamnya terkesan alami.
Merambah
wilayah yang lain, rupanya penyakit instan ini mulai menjangkiti aspek-aspek
yang lain. Alih-alih sebagai kebutuhan informasi dan komunikasi,
pesantren-pesantren kita sudah mulai memasukkan teknologi modern. Sarana-sarana
tersebut didatangkan sebagai penunjang perubahan yang dilakukan pesantren.
Di mana pesantren yang mulanya mencukupkan koran sebagai media informasi, hari
ini sudah didukung dengan sarana akses internet genap dengan laboratorium dan
piranti media sosial dan lain sebagainya. Sampai di sini, segala keterbatasan
yang dulunya memberikan jarak antara pesantren dengan modernitas hari ini sudah
terjawab. Santri sudah dengan gampang mendapatkan informasi apapun yang dia
suka dan inginkan. Sementara animo kalangan remaja, kaprahnya menginginkan
hal-hal yang baru dan sedang menjadi tren pada saat itu. Sepertinya, ini yang
disebut Giddens dengan “detradisionalisasi”.[3]
Santri
Sadar Media
Meminjam istilah
Nurkhalik Ridwan (penulis buku Gus Dur dan Negara Pancasila dan sejumlah buku
tentang pemikiran Gus Dur), ketika seorang santri disuruh lari, maka dengan
segenap kemampuannya dia akan melaju. Bagi mereka yang tidak begitu memiliki
kemampuan dalam hal lari, maka ia akan terlihat lamban dan terseok-seok. Tapi
ketika dia memiliki kemampuan tersebut, maka ia akan melesat melebihi yang
lain. Sayangnya, beberapa di antara mereka yang memiliki kemampuan tersebut,
karena saking kencangnya, membuat dirinya lupa pada jalan pulang dan tidak
dapat pulang kembali.[4]
Potensi-potensi
demikian semestinya mendapatkan jalan yang tepat mengingat sebuah perubahan
merupakan keniscayaan. Tentu dengan tetap memegang teguh konsep al-Muhaafadlatu
‘ala al-Qadiimi al-Shaalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidiidi al-Ashlah. Faktanya,
hari ini sudah semakin banyak pesantren-pesantren dengan tipologi ketiga
(Takmiili). Di samping pertumbuhan pesantren-pesantren modern yang semakin
merata. Gontor dengan semangat “ilmu amaliyah dan amal ilmiyah”-nya
bercita-cita mendirikan pesantren modern 1000 titik di seluruh Indonesia. Di
Bogor, terdapat sebuah pesantren yang memberikan fasilitas khusus kepada
seluruh santrinya berupa 1 unit laptop untuk masing-masing orang sebagai sarana
pembelajarannya. Di Rembang, sudah mulai dijalankan program pengajian live
streaming oleh KH. A. Mustofa Bisri. Di Tegalrejo Magelang, KH. Yusuf Chudlori
memanfaatkan stasiun radio sebagai media dakwahnya kepada masyarakat luas.
Belakangan strategi tersebut diikuti oleh rekan-rekan alumni pesantren di
Wonosobo lewat sebuah program religi di radi Citra FM Wonosobo.
Rupanya
kesadaran akan fasilitas media sosial seperti itu semakin mendapatkan ruang
dari kalangan pesantren. KH. Sholahuddin Wahid, dengan segenap kesibukannya
mendedikasikan diri pada pesantren dan masyarakat, saya pastikan setiap pagi
selalu menyapa masyarakat lewat twitter. Begitu juga KH. A. Mustofa Bisri,
pada kesempatan-kesempatan tertentu, beliau meluangkan waktu dan ilmunya untuk
memberikan kuliah-kuliah agama lewat twit-twit pendek berantai. Tidak jarang
beliau berdua harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar fikih yang dalam
kurikulum sebagian pesantren, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya akan ada di
kelas-kelas shifr (persiapan) sebelum santri masuk kelas diniyah di pesantren.
Sekali lagi,
strategi ini dapat menarik simpati dari banyak kalangan. Generasi yang lebih
muda dari beliau berdua, kita dapat melihat pada sosok Alissa Wahid (puteri
sulung Gus Dur). Dalam rangka membumikan pemikiran-pemikiran Gus Dur, lewat
jejaring Komunitas Matapena dan GUSDURian, ia dengan senang hati memberikan
pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan media sosial seperti facebook dan
twitter. Berikut beberapa nama yang kini mulai disebut-sebut sebagai
santri-santri sufi perkotaan. Dan seterusnya.
Pesantren
dan Tantangan Zaman
Barangkali,
pesantren memang tidak harus selamanya menutup akses terhadap perubahan zaman
berikut perangkat-perangkat yang mengantarkan perubahan tersebut. Akan tetapi
juga tidak dengan mudah menggunakan fasilitas-fasilitas perubahan itu sebagai
sarana untuk mengubah dirinya menjadi modern. Pesantren selamanya tetap akan
memegang teguh nilai tradisinya dalam mengawal perubahan. Sehingga pesantren
tidak akan pernah terjerumus dalam kubangan arus globalisasi kecuali dalam
kontrolnya sendiri.
Kilas
fenomena pesantren di atas, terdapat tiga hal mendasar. Pertama, bagaimana
mempertahankan nilai-nilai pesantren dalam menghadapi tantangan global (baca:
pop culture)? Kedua, bagaimana pesantren mengadopsi nilai-nilai modern dalam
rangka menjawab tantangan perubahan zaman? Ketiga, bagaimana seorang santri
mampu menggunakan fasilitas-fasilitas media sosial sebagai wahana untuk
menyampaikan gagasan?
Sekiranya,
dengan menjawab tiga hal mendasar tersebut, pesantren dapat melanjutkan elan
transformatifnya di tengah perubahan global.[]
Muhammad Mahrus adalah penulis Novel Mafia Three in One.
Menempuh s1 di Akidah dan Filsafat, Fakulstas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menempuh s1 di Akidah dan Filsafat, Fakulstas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di blog pribadinya.
Daftar
Bacaan
Abdurrahman
Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta, LKiS, cet. III, 2010.
Ahmad Suaedy
(Editor), Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, Yogyakarta, LKiS, 2000.
Anthony
Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial,
Jakarta, Gramedia.
Nurcholish
Madjijd, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, cet. Ke-1,
2008.
[2] Menurut Nurcholish Madjid, Pesantren
Darussalam Gontor Ponorogo adalah representasi lembaga pendidikan liberal di
Indonesia. Sementara, pendidikan liberal juga merupakan proyek modernisme.
Lihat Nurcholish Madjid dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. Ke-1,
(Bandung; Mizan, 2008), hal. 221.
[3] Anthony
Giddens berpendapat bahwa dunia modern mengakibatkan tiga hal sekaligus:
globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflixifity. Globalisasi meluluhkan
batas-batas teritorial antar Negara dan menghubungkan manusia satu dengan yang
lainnya tidak hanya dalam kepentingan ekonomi, tetapi juga terhadap kepentingan
yang lain. Lihat Sholahudin Malik dalam Globalisasi dan Perubahan Pesantren
dalam Tradisi Demokrasi.
[4] Ungkapan
ini disampaikan Nurkhalik Ridwan dalam sebuah diskusi kebangsaan yang
diselenggarakan oleh PMII Rayon Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2011). Sayangnya kalimat-kalimat yang
diungkapkan Nurkhalik Ridwan tersebut tidak sempat terekam dalam format
digital. Sehingga redaksi yang saya tuliskan merupakan elaborasi antara
ungkapan asli dari Nurkhalik Ridwan, ingatan penulis, dan penyesuaian tata
bahasa tulis dengan dialek Nurkhalik.
0 komentar:
Post a Comment