Abdurrohim,
penulis cerpen Untukmu Yang Lalu, membagikan cerpennya ke beberapa media
sosial daring. Ternyata cerpennya mendapat beberapa tanggapan dari teman-temannya.
Berikut ini adalah dua di antaranya.
Kawan,
sebelumnya aku tak pernah mengomentari cerpen secara tertulis. Jadi sori, jika
tidak sistematis. Ya, aku komentator amatiran, sebagaimana kau yang cerpenis
amatiran, hahaha … perpaduan menarik.
Langsung
saja.
Aku
menemukan sebuah upaya habis-habisan darimu untuk bermain simbol. Tapi
percayalah, simbol hati untuk cinta sudah klise. Hubungan keduanya (Hati dan
cinta) sudah terlalu sering dibicarakan, romantika itu—mohon maaf—kurang
menarik. Jika saja hati di sana dieksplorasi untuk memperoleh makna baru, atau
lebih dalam, atau lebih berusaha mengungkapkan warna-warni batin manusia,
mungkin “hati” itu akan lebih segar.Sebab “hati” toh bukan hanya tempatnya
cinta, tapi semua kumpulan perasaan manusia. Benci bertempat di hati, iri
bertempat di hati, hasud dengki dendam semua di hati. Dan semua itu tidak
terpisah-pisah. Bahkan cinta dan benci seseorang kepada satu objek bisa
sama-sama berkumpul di dalam hati layaknya keluarga kecil. Jelasnya, kalau
memaknai hati sebagai semata-mata cinta, itu wajar dan acap dilakukan banyak
orang. Tapi kalau mengeksplorasi “hati” sebagai “tempat ngopi cinta dan benci
pada objek yang sama”, itu baru tidak normal. Menarik.
“Hati
sebagai cinta” mungkin dibutuhkan untuk menjalin alur cerita sekaligus
meyuguhkan peristiwa di luar nalar, dengan harapan lahir daya kejut yang
menghentak perasaan dan nalar. Di sana juga ada imajinasi liar yang coba
dieksplorasi, juga ada kekejaman dan laku brutal untuk memeperkuat sisi romantik
percintaan—putih akan semakin tampak putih jika disandingkan dengan hitam. Tapi
upaya itu, menurutku, lho, belum sepenuhnya berhasil.
Untuk
ke-liar-an imajinasi, misalnya, setelah hati di ambil dari dada, lalu emoh2an
bertukar hati, kenapa tidak diberikan pada anjing, binatang yang konon paling
setia pada majikannya itu. Atau pada kucing gendut—yang entah kenapa—bisa menyantap
ikan hiu, untuk ditukar dengan hati ikan hiu yang—juga entah kenapa—sudah
menyatu dengan hati kucing itu. Atau saat emoh-emohan terjadi hati dua tokoh itu
disambar elang yang muncul entah dari mana. Dua hati itu dibawa terbang, sampai
menembus langit ke romantik, lalu diberikan kepada seorang nabi yang tidak
pernah terceritakan, untuk disantap bersama kurma kering dan air zam-zam. Atau
mungkin dua hati itu dijadikan makan malam oleh keduanya karena seharian belum
makan. Lalu karena dua tokoh itu sudah tidak punya hati, keduanya saling
memakan satu sama lain. Tapi semakin saling memakan, semakin tubuh keduanya
membesar, kaki tangan keduanya semakin panjang, mata dua tokoh itu semakin
banyak tak terhitung. Di mana-mana ada mata si perempuan, di mana-mana ada
tangan si laki-laki, di mana-mana ada kehangatan dan bau keringat si laki dan
si perempuan. Di manapun, keduanya bisa merasakan kehadiran satu sama lain.
Intinya hanyalah, keliaran yang coba dibangun itu, kenapa tidak dilanjutkan
dengan keliaran lain, oman mungkin?
Untuk sisi romantik yang coba ditonjolkan, sebagaimana tampak dalam dialog, “Tanpa hati ini kau
akan mati,” katamu kala itu. (jawab si laki-laki) “Hanya tubuhku yang akan
mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Aku seperti pernah mendengarnya,
mungkin dari acara TV, tapi entahlah.
Di luar
ungkapan dan diksi yang sudah sering ditemui, tulisanmu enak dibaca.
Mungkin ini
dulu, kawan (namanya juga komentator amatiran, wajar kalau singkat). Oh, ya,
satu lagi, “masa lalu” hanya akan menjadi masa lalu jika kita memang
menyimpannya sebagai masa lalu. Dan karena itu—menurutku—“masa lalu” bisa
diperbaiki (dalam diksimu “dirubah”); dengan maaf dan janji.
Kurang
lebihnya mohon maaf.[]
HAI!
Aku sudah
baca cerpenmu. Ternyata BAGUS banget. Kau pintar menulis cerpen yang surealis.
Meski masih harus dipoles lebih padat dan bagus lagi. Cerpenmu pada beberapa
bagian memang masih ada yang kurang dan ada rasa ganjilnya. Kapan-kapan kita
ketemu boleh deh diobrolin.
Oya, tidak
ada kata "rubah" ya. Yang betul "ubah". Mendapat imbuhan me
atau di atau ber. Berubah, Mengubah, Diubah. Bukan Berubah atau Merubah. Tidak
ada kata dasar "rubah", yang ada kata dasar "ubah".
Ingat-ingat ya….[]
0 komentar:
Post a Comment