Oleh: Ahmad Biyadi
“Nggak...!” Aku menoleh lantang, menolak sesendok nasi suapan ibu itu. “Pokoknya nggak!” Ibu itu masih merengek memaksa, dua hari kamu belum makan, katanya.
Telunjukku mengacung tajam. Dia paham, jangan paksa aku. Ibu itu
menunduk menggeleng kecil, lalu pergi. Pasrah.
***
Aaaaaahhhhhh...
Tiba-tiba aku berteriak kencang. Urat leherku tegang. Marah bukan main.
Orang-orang di sekitar kaget. Ada yang lari takut. Ada yang cuma menoleh,
seperti melihat hal yang sudah biasa. Sama sekali aku tak peduli, padahal
ramai. Hampir sama tak pedulinya mereka terhadapku. Aku menunduk. Nafas
tersengal. Bukan malu, tapi itu letusan marahku.
***
“Opo’o kowe, Naaak?” Ibu itu merengek. Tak tahan mungkin. Setelah dua jam lebih merayuku
untuk minum obat. Haha! Akhirnya meletus juga tangisnya. Tetesan
itu hangat meleleh di pipinya yang mulai keriput. Kasihan sekali dia, mengapa
bertemu dengan makhluk seperti aku. Orang sebaik dia memang melas. Bukankah jadi orang baik memang menderita? Tapi penderitaan itulah yang membuatnya jadi baik. Haha! Aku melamun. Ibu itu tetap kubiarkan saja.
Lama, lalu dia pergi, masih tetap menangis.
***
Tiba-tiba dia
duduk di kursi di depanku. Tenang, tidak gegabah. Tanpa tanya, tanpa kata. Pria
janggut putih itu tampak sama sekali tak memaksa, tak ingin aku melakukan yang
ia inginkan seperti pria-pria jas putih yang sering datang. Yang datang dengan
tas ‘sok tahu’, pegang ini, pegang itu lalu corat-coret kertas dan berkata, tebus
di apotek ya. Pria janggut putih itu hanya membawa air putih di gelas
biasa. Meminumnya sendiri, lalu menghela nafas. Seperti sedang menunggu waktu
yang tepat untuk melakukan sesuatu yang tepat.
Sepuluh menit,
lima belas, setengah jam, satu jam setengah, masih tetap diam, aku dan pria
janggut putih itu. Dia tetap tenang, aku tetap tak peduli.
Tersenyum kecil,
dia akhirnya berkata tanpa melihat ke arahku, “Ada apa? Kok sampek
segitunya?”
***
Orang-orang itu
serentak melihatku. Seolah di-pause sejenak, lalu kembali normal,
kembali melakukan kelakuan orang-orang kebanyakan. Sebagian besar sama sekali
tak peduli suara lantang teriakanku. Marah-marah kata mereka. Marah-marah?
Mereka benar-benar tak mengerti. Tiba-tiba suara kasar satpam mengusirku. Tanpa
perintah aku pergi. Keluar dari tempat jahanam itu.
***
Nyaring suara
klakson itu marah. Menunjukkan bahwa si ‘tuan’ sedang tergesa-gesa. Diikuti
klakson ‘tuan-tuan’ marah yang lain. Bersahut-sahut seperti lolongan serigala
yang berarti Woi orang jelek, minggir! Jalan ini milik embahku. Sibuk,
seolah dunia sudah terlalu sibuk, hingga waktu harus dikejar. Kencang sekali
orang-orang itu lewat. Lewat di depan rumahku dan aku yang sedang duduk di
teras rumah. Pandanganku kutajamkan ke arah mereka. Aku menggeleng. Lalu masuk
rumah. Tak tahan. 3 bulan ini sama sekali tak ada kata nuwon sewu. Nuwon
sewu mereka kini tergantikan lolongan-lolongan klakson itu. Tinggal
beberapa gelintir kakek tua yang sesekali bilang nuwon sewu, jalan kaki,
sambil menunduk dan tersenyum ramah.
***
“Dunia ini lucu, Mbah,” kataku sambil
menunduk. Lalu kenapa kamu marah bukannya tertawa? Dia masih tetap tenang. Aku
sudah lelah tertawa. Tawaku hanya sendiri, meski lucu, orang justru akan
menyalahkanku. Lalu, Itu artinya marah adalah solusi? Pria janggut putih itu
bertanya tanpa paksa. Tenang. Seolah dia tahu persis apa yang telah dan yang
akan terjadi. Menggeleng kecil, itulah yang hanya bisa aku lakukan. Lha
terus kenapa? Dia menghela nafas lalu tersenyum kecil. Aku paham sekali,
itu yang aku tangkap darinya.
“Le, aku karo
kowe mung iso ngerêm.“ Tiiing... kata-kata itu mengiang di telingaku.
***
“Ora oleh! Ini tidak sah! Duso!” Telunjukku marah mengacung pada Abang itu. Dia kulihat memberi uang pada
seorang pak tua. Kasihan, katanya. Belas kasih apanya, uang itu adalah
pinjaman. Pak tua itu sedang dalam kesulitan, cucunya tiga bulan belum bayar
sekolah. ‘Bahagia’ pak tua
itu pergi, meski sebenarnya otaknya sedang berpikir bagaimana cara dia akan
mengembalikan pinjaman itu. Tentu saja dengan bunga lumayan yang diminta Abang
itu. Lupa apa Abang itu kalau pak tua itu adalah tetangganya sendiri?
Entah sudah
berapa ribu duso-duso yang aku teriakkan yang cuma berakhir memantul di
dinding. Aku masih ingat kata-kata ayah saat melihatku ‘mengambil’ beberapa
uang receh di lacinya saat aku masih kecil, ora ilok, Le, marai fakir.
Telunjuknya mengarahku tanpa marah-marah. Tapi mengherankan kata-kata ayah itu
selau ‘mengikutiku’. Seolah jadi malaikat pengawas tanpa bayaran. Membuatku
membuang kesempatan-kesempatan ngulangi ‘mengambil’ itu. Kata-kata ora
ilok itu menjadi lebih menakutkan dari penjara bawah tanah
yang gelap.
***
Lagi, pria
janggut putih itu tersenyum seraya menarik nafas. Bukan minuman macem-macem, Le, tapi banyu putih seng seger. Aku paham maksudnya. Netralisir
budaya, atau dalam bahasa ayah penawar
budi. Itu mengapa aku dijebloskan ke ‘penjara’ itu sejak umur 6 tahun.
Penjara kuno jauh di gunung yang susah untuk kerasan. Gak maju blas,
kata beberapa orang. Tapi akhirnya aku mengerti. Air putih, itu intinya. Air
putih agar tak keracunan. Air putih agar tubuh kembali segar. Air putih yang
baik yang bisa jadi segala minuman lain yang baik. Itulah inti dari ‘penjara’
itu.
***
“Maaf, saya enggak bisa ikut,” aku beralasan, basa-basi. Tiga orang seumuranku
bertamu, mengajakku ke suatu tempat yang kata mereka, asyik pokoknya.
Anu, saya masih ada keperluan, kataku tersenyum. Mereka setengah memaksa.
Ini-itu aku jadikan alasan. Akhirnya mereka menyerah. Keluar rumah. Yah, gak asyik, kudengar pelan. Suara knalpot sepeda motor
berteriak kencang.
Jam tangan kulirik,
menunjukkan angka 12. Aku menggeleng. Masyaallah, malam begini mereka mengajakku ngetrek. Balapan
di jalanan dengan sepeda motor melengking bukan main. Sebagian mabuk. Sebagian
pegang uang di pinggir bos panggilannya.
Sejak saat itu
jarang sekali yang mau gaul denganku. Lain dunia, kata mereka. Entahlah.
***
Piyarrr ...! Pecah. Nasi uduk itu tumpah, semburat kemana-mana. Ibu itu kaget bukan main.
Duduk di depanku. Makan bersama di ruang tamu, tiba-tiba piring di meja aku
lempar. Ibu itu ke dapur. Menghindar. Karena mengira aku marah karena masalah.
Tatapanku kosong. Benar aku marah, bukan pada ibu itu tapi pada sesuatu.
Sesuatu yang kuanggap besar, karena orang-orang menganggapnya kecil. Sesuatu
yang aku heran karena tak ada orang yang mengherankannya.
Dan sejak itu aku
sering teriak-teriak marah. Seperti seorang yang tiba-tiba kerasukan jin. Maka
Beberapa orang sok kasihan dan menyarankan aku dibawa ke RSJ. Beberapa orang
sok tahu dan memvonis aku stres. Dan Beberapa orang menggeleng tak ambil
pusing, yang penting tak mengamuk, katanya.
***
Aku cuma
pengen mereka ‘pulang kampung’, Mbah. Aku berkilah
sambil meminum air putih yang disodorkan pria janggut putih itu. Iyo, aku paham, jawabnya tenang. Beliau memang selalu begitu, tenang dalam
banyak hal. Kagumku padanya seperti kagumku pada ayah, bahkan mungkin lebih.
Karena ayah juga mengaguminya sama sepertiku. Ketenangan yang terasa di wajah
bersihnya itulah yang membuatku betul-betul mengaguminya. Sama-sekali tanpa
beban. Bahkan orang yang di dekatnya juga akan ikut tenang. Dunyo iku titipan, katanya pada ayah saat pertama ayah
mengantarkanku ke ‘penjara’ itu. Embah Yahya begitu kata orang.
Saya merasa hidup
di film, Mbah. Bertemu orang-orang Barat yang suka main sendiri-sendiri.
Orang-orang wes bukan orang Jawa lagi. Wes gak mau lagi yang kampungan-kampungan. Wes gak mau ajak-ajak[1], ater-ater[2], menunduk sama yang lebih tua, ini-itu, macem-macem. Keluhku pada pria
janggut putih itu. Sekali lagi dia bilang, iyo aku paham.
***
Matur nuwon, Mbah, terima kasih. Ibu itu bilang. Kucium tangan pria
janggut putih itu. Menangis. Terima kasih Embah, kataku. Tak lama beliau
pulang. Tinggal ibu itu di dekat pintu. Membereskan beberapa hidangan di meja.
“Bi, saya minta maaf,”
menunduk aku malu. Ibu itu tersenyum. Kamu sudah seperti anakku sendiri, Le, itu
yang aku tangkap. Ah… ibu inilah satu-satunya keluargaku, setelah ayah-ibu
wafat jauh sebelum aku pulang dari ‘penjara’ itu. Karena tak ada keluarga lagi
Bibi inilah yang membawaku tinggal di daerah dekat kota.
Masih terngiang
kata terakhir pria janggut putih itu di pintu. Ingat, Aku karo kowe dan siapapun cuma
bisa ngerêm, itu pun susah. Terima kasih, Mbah.[]
*Ahmad Biyadi, adalah santri Sidogiri, Pasuruan.
[1] Bila
seseorang warga daerah membangun rumah, para tetangga datang membantunya tanpa
upah, cukup dengan makan bersama.
[2] Makanan
yang diantarkan kepada para tetangga pada hari tertentu sebagai bentuk rasa
ingin berbahagia bersama.
0 komentar:
Post a Comment