Tuesday, January 15, 2013

Pulang Kampung

9:39 AM


Oleh: Ahmad Biyadi

Nggak...!” Aku menoleh lantang, menolak sesendok nasi suapan ibu itu. “Pokoknya nggak!Ibu itu masih merengek memaksa, dua hari kamu belum makan, katanya. Telunjukku mengacung tajam. Dia paham, jangan paksa aku. Ibu itu menunduk menggeleng kecil, lalu pergi. Pasrah.
***
Aaaaaahhhhhh... Tiba-tiba aku berteriak kencang. Urat leherku tegang. Marah bukan main. Orang-orang di sekitar kaget. Ada yang lari takut. Ada yang cuma menoleh, seperti melihat hal yang sudah biasa. Sama sekali aku tak peduli, padahal ramai. Hampir sama tak pedulinya mereka terhadapku. Aku menunduk. Nafas tersengal. Bukan malu, tapi itu letusan marahku.
***
Opo’o kowe, Naaak?” Ibu itu merengek. Tak tahan mungkin. Setelah dua jam lebih merayuku untuk minum obat. Haha! Akhirnya meletus juga tangisnya. Tetesan itu hangat meleleh di pipinya yang mulai keriput. Kasihan sekali dia, mengapa bertemu dengan makhluk seperti aku. Orang sebaik dia memang melas. Bukankah jadi orang baik memang menderita? Tapi penderitaan itulah yang membuatnya jadi baik. Haha! Aku melamun. Ibu itu tetap kubiarkan saja. Lama, lalu dia pergi, masih tetap menangis.

***
Tiba-tiba dia duduk di kursi di depanku. Tenang, tidak gegabah. Tanpa tanya, tanpa kata. Pria janggut putih itu tampak sama sekali tak memaksa, tak ingin aku melakukan yang ia inginkan seperti pria-pria jas putih yang sering datang. Yang datang dengan tas ‘sok tahu’, pegang ini, pegang itu lalu corat-coret kertas dan berkata, tebus di apotek ya. Pria janggut putih itu hanya membawa air putih di gelas biasa. Meminumnya sendiri, lalu menghela nafas. Seperti sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang tepat.

Sepuluh menit, lima belas, setengah jam, satu jam setengah, masih tetap diam, aku dan pria janggut putih itu. Dia tetap tenang, aku tetap tak peduli.

Tersenyum kecil, dia akhirnya berkata tanpa melihat ke arahku, “Ada apa? Kok sampek segitunya?”
***
Orang-orang itu serentak melihatku. Seolah di-pause sejenak, lalu kembali normal, kembali melakukan kelakuan orang-orang kebanyakan. Sebagian besar sama sekali tak peduli suara lantang teriakanku. Marah-marah kata mereka. Marah-marah? Mereka benar-benar tak mengerti. Tiba-tiba suara kasar satpam mengusirku. Tanpa perintah aku pergi. Keluar dari tempat jahanam itu.
***
Nyaring suara klakson itu marah. Menunjukkan bahwa si ‘tuan’ sedang tergesa-gesa. Diikuti klakson ‘tuan-tuan’ marah yang lain. Bersahut-sahut seperti lolongan serigala yang berarti Woi orang jelek, minggir! Jalan ini milik embahku. Sibuk, seolah dunia sudah terlalu sibuk, hingga waktu harus dikejar. Kencang sekali orang-orang itu lewat. Lewat di depan rumahku dan aku yang sedang duduk di teras rumah. Pandanganku kutajamkan ke arah mereka. Aku menggeleng. Lalu masuk rumah. Tak tahan. 3 bulan ini sama sekali tak ada kata nuwon sewu. Nuwon sewu mereka kini tergantikan lolongan-lolongan klakson itu. Tinggal beberapa gelintir kakek tua yang sesekali bilang nuwon sewu, jalan kaki, sambil menunduk dan tersenyum ramah.
***
“Dunia ini lucu, Mbah,” kataku sambil menunduk. Lalu kenapa kamu marah bukannya tertawa? Dia masih tetap tenang. Aku sudah lelah tertawa. Tawaku hanya sendiri, meski lucu, orang justru akan menyalahkanku. Lalu, Itu artinya marah adalah solusi? Pria janggut putih itu bertanya tanpa paksa. Tenang. Seolah dia tahu persis apa yang telah dan yang akan terjadi. Menggeleng kecil, itulah yang hanya bisa aku lakukan. Lha terus kenapa? Dia menghela nafas lalu tersenyum kecil. Aku paham sekali, itu yang aku tangkap darinya.

Le, aku karo kowe mung iso ngerêm.Tiiing... kata-kata itu mengiang di telingaku.
***
Ora oleh! Ini tidak sah! Duso!Telunjukku marah mengacung pada Abang itu. Dia kulihat memberi uang pada seorang pak tua. Kasihan, katanya. Belas kasih apanya, uang itu adalah pinjaman. Pak tua itu sedang dalam kesulitan, cucunya tiga bulan belum bayar sekolah. ‘Bahagia’ pak tua itu pergi, meski sebenarnya otaknya sedang berpikir bagaimana cara dia akan mengembalikan pinjaman itu. Tentu saja dengan bunga lumayan yang diminta Abang itu. Lupa apa Abang itu kalau pak tua itu adalah tetangganya sendiri?

Entah sudah berapa ribu duso-duso yang aku teriakkan yang cuma berakhir memantul di dinding. Aku masih ingat kata-kata ayah saat melihatku ‘mengambil’ beberapa uang receh di lacinya saat aku masih kecil, ora ilok, Le, marai fakir. Telunjuknya mengarahku tanpa marah-marah. Tapi mengherankan kata-kata ayah itu selau ‘mengikutiku’. Seolah jadi malaikat pengawas tanpa bayaran. Membuatku membuang kesempatan-kesempatan ngulangi ‘mengambil’ itu. Kata-kata ora ilok itu menjadi lebih menakutkan dari penjara bawah tanah yang gelap.
***
Lagi, pria janggut putih itu tersenyum seraya menarik nafas. Bukan minuman macem-macem, Le, tapi banyu putih seng seger. Aku paham maksudnya. Netralisir budaya,  atau dalam bahasa ayah penawar budi. Itu mengapa aku dijebloskan ke ‘penjara’ itu sejak umur 6 tahun. Penjara kuno jauh di gunung yang susah untuk kerasan. Gak maju blas, kata beberapa orang. Tapi akhirnya aku mengerti. Air putih, itu intinya. Air putih agar tak keracunan. Air putih agar tubuh kembali segar. Air putih yang baik yang bisa jadi segala minuman lain yang baik. Itulah inti dari ‘penjara’ itu.
***
“Maaf, saya enggak bisa ikut,” aku beralasan, basa-basi. Tiga orang seumuranku bertamu, mengajakku ke suatu tempat yang kata mereka, asyik pokoknya. Anu, saya masih ada keperluan, kataku tersenyum. Mereka setengah memaksa. Ini-itu aku jadikan alasan. Akhirnya mereka menyerah. Keluar rumah. Yah, gak asyik, kudengar pelan. Suara knalpot sepeda motor berteriak kencang.

Jam tangan kulirik, menunjukkan angka 12. Aku menggeleng. Masyaallah, malam begini mereka mengajakku ngetrek. Balapan di jalanan dengan sepeda motor melengking bukan main. Sebagian mabuk. Sebagian pegang uang di pinggir bos panggilannya.

Sejak saat itu jarang sekali yang mau gaul denganku. Lain dunia, kata mereka. Entahlah.
***
Piyarrr ...! Pecah. Nasi uduk itu tumpah, semburat kemana-mana. Ibu itu kaget bukan main. Duduk di depanku. Makan bersama di ruang tamu, tiba-tiba piring di meja aku lempar. Ibu itu ke dapur. Menghindar. Karena mengira aku marah karena masalah. Tatapanku kosong. Benar aku marah, bukan pada ibu itu tapi pada sesuatu. Sesuatu yang kuanggap besar, karena orang-orang menganggapnya kecil. Sesuatu yang aku heran karena tak ada orang yang mengherankannya.

Dan sejak itu aku sering teriak-teriak marah. Seperti seorang yang tiba-tiba kerasukan jin. Maka Beberapa orang sok kasihan dan menyarankan aku dibawa ke RSJ. Beberapa orang sok tahu dan memvonis aku stres. Dan Beberapa orang menggeleng tak ambil pusing, yang penting tak mengamuk, katanya.
***
Aku cuma pengen mereka ‘pulang kampung’, Mbah. Aku berkilah sambil meminum air putih yang disodorkan pria janggut putih itu. Iyo, aku paham, jawabnya tenang. Beliau memang selalu begitu, tenang dalam banyak hal. Kagumku padanya seperti kagumku pada ayah, bahkan mungkin lebih. Karena ayah juga mengaguminya sama sepertiku. Ketenangan yang terasa di wajah bersihnya itulah yang membuatku betul-betul mengaguminya. Sama-sekali tanpa beban. Bahkan orang yang di dekatnya juga akan ikut tenang. Dunyo iku titipan, katanya pada ayah saat pertama ayah mengantarkanku ke ‘penjara’ itu. Embah Yahya begitu kata orang.

Saya merasa hidup di film, Mbah. Bertemu orang-orang Barat yang suka main sendiri-sendiri. Orang-orang wes bukan orang Jawa lagi. Wes gak mau lagi yang kampungan-kampungan. Wes gak mau ajak-ajak[1], ater-ater[2], menunduk sama yang lebih tua, ini-itu, macem-macem. Keluhku pada pria janggut putih itu. Sekali lagi dia bilang, iyo aku paham.
***
Matur nuwon, Mbah, terima kasih. Ibu itu bilang. Kucium tangan pria janggut putih itu. Menangis. Terima kasih Embah, kataku. Tak lama beliau pulang. Tinggal ibu itu di dekat pintu. Membereskan beberapa hidangan di meja. “Bi, saya minta maaf,” menunduk aku malu. Ibu itu tersenyum. Kamu sudah seperti anakku sendiri, Le, itu yang aku tangkap. Ah… ibu inilah satu-satunya keluargaku, setelah ayah-ibu wafat jauh sebelum aku pulang dari ‘penjara’ itu. Karena tak ada keluarga lagi Bibi inilah yang membawaku tinggal di daerah dekat kota.

Masih terngiang kata terakhir pria janggut putih itu di pintu. Ingat, Aku karo kowe dan siapapun cuma bisa ngerêm, itu pun susah. Terima kasih, Mbah.[]

*Ahmad Biyadi, adalah santri Sidogiri, Pasuruan.



[1] Bila seseorang warga daerah membangun rumah, para tetangga datang membantunya tanpa upah, cukup dengan makan bersama.
[2] Makanan yang diantarkan kepada para tetangga pada hari tertentu sebagai bentuk rasa ingin berbahagia bersama.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top