[Judul: Dunia Pasca-Manusia; Menjelajahi Tema-Tema
Kontemporer Filsafat Teknologi | Penulis: Budi Hartanto | Penerbit: Kepik, Depok | Cetakan: Pertama Februari, 2013 | Tebal: xx + 140 hlm.; 14 cm x 21 cm | ISBN: 978-602-99608-9-1]
| Oleh: Abdul Rahman Wahid*
Teknologi dan cara berpikir, tata nilai, serta perilaku
manusia saling membentuk dan saling menentukan secara timbal balik.
Dewasa ini, ketergantungan manusia akan teknologi sangat
melekat. Hampir seluruh aktivitas manusia berdampingan dengan teknologi.
Teknologi telah membantu pekerjaan-pekerjaan manusia menjadi mudah.
Kebutuhan-kebutahan tersaji serba instan. Meskipun telah memberi nilai positif
terhadap kehidupan manusia, bukan berarti teknologi ini tidak ada nilai
negatifnya bagi kehidupan. Sejak pertengahan abad ke-19 hingga kini, beberapa pemikir mulai Baudellaire,
Tolstoy, Sorokin, hingga Heidegger, Adorno, dan Virilio telah membentangkan
berbagai gambaran suram sains dan teknologi.
Teknologi merupakan sebentuk akumulasi pengalaman manusia
dari masa ke masa; Kemampuan nalar dan imajinasi yang digunakan manusia dalam
mencapai tujuan hingga terbentuknya peradaban virtual saat ini.
Berbeda dengan realitas atau fakta kehidupan khususnya di
Indonesia saat ini. Di balik posisinya sebagai alat bantu untuk pekerjaan
manusia dalam segala hal, teknologi menjadi hal yang menakutkan bagi kehidupan,
kelunturan akan budaya, dekadensi moral bahkan perilaku manusia mulai keluar
dari norma-norma yang ada. Tak lain karena google dan wikipedia telah menjawab
sesuai dengan yang diinginkan.Sains modern yang sejak awal perkembangannya memang selalu mengacu pada materialisme serta sains modern telah dijadikan tolok ukur dalam mentukan kebenaran. Inilah yang membentuk gagasan “manusia telah dikloning” (pencipta dijadikan budak oleh ciptaannya). Sangat ironis, memang.
Berangkat dari fakta-fakta di atas, Budi Hartanto menulis dalam buku kumpulan esai-esai dan opininya yang berjudul ”Dunia Pasca-Manusia” yang terbagi dalam tiga bagian. Di dalamnya dikumpulkan tulisan-tulisan analisis perspektif filsafat terhadap sains dan teknologi, yang merupakan bunga rampai pemikiran Don Ihde tentang filsafat teknologi dengan pemakaian istilah posfenomenologi.
Pertama, instrumen mentransformasikan pengalaman
perseptual atau kesadaran, ketika kemampuan indrawi secara intensional dan
hermeneutis berekstensi melalui instrumen teknologis. Sains dan teknologi
sebagai ilmu objektif yang hak memiliki kriteria yang akurat mengenai cara yang
harus ditempuh kapan suatu informasi bisa disebut ilmiah dan bisa diberi
validitas sebagai suatu ilmiah. Kemudian dikatakan secara subjektif dengan
kebenaran yang kita cari.
Dalam filsafat don Ihde pikiran dan pengetahuan dijelaskan sebagai bersifat eksternal. Oleh karena itu, dalam filsafatnya tidak ada entitas metafisis jiwa (internalisasi) yang dipahami sebagai sumber pengetahuan. Eksistensi dunia nonfisik hanyalah konstruksi pengalaman perseptual (makropersepsi) yang terakumulasi yang kemudian membentuk ide tentang kesadaran. (halaman 38)
Dengan demikian sains dan teknologi tidak dijadikan alat
utama untuk membenarkan sesuatu, sehingga manusia tidak menganggap kebenaran
sains dan teknologi berada di dalamnya. Akan tetapi, kebenaran sains dan
teknologi berada di luar sains dan teknologi.
Kedua, keahlian etis yang tumbuh dan terbentuk lewat
pengalaman, seperti dalam fase-fase pemerolehan keahlian lainnya, melampaui
keputusan moral yang bernilai logis dan rasional mengandaikan bahwa bisa
dikonseptualisasikan. Faktanya, pada dasarnya manusia adalah makhluk irasional.
Inilah yang jadi pembeda manusia dengan mesin yang merupakan ciptaan manusia.
Kodrat manusia adalah berfikir irasional (menggunakan perasaan-perasaannya atau
purbasangka, sifat egoistis, dan intuisi moralnya yang kadang saling
bertentangan dengan yang lain), sehingga ia dapat merasakan kualitas-kualitas
hati (cinta, amarah, iri hati, dan lain sebagainya). Untuk itu, apabila ingin
terhindar dari kehancuran akibat irasional dan kebodohan, akal dan pikiran
tentunya harus dibebaskan dari kepentingan-kepentingan atau keinginan-keinginan
manusiawi yang sifatnya irasional. Rasionalitas mesin terkesan rigid, pucat,
dan kaku. Manusia telah menjadi robot atau mesin atas mesin ciptaannya sendiri
(teknologi telah menjadi berhala bagi manusia). Selagi sains dan teknologi
digunakan secara instrumental, rasionalitas dalam hal ini tetaplah berguna.
Ketiga, teknologi bergerak secara masif mengontrol
dan menguasai dunia kehidupan. Dengan kata lain teknik adalah kekuatan utama,
tidak ada kekuatan selain teknik itu sendiri, karena teknik merupakan syarat
bagi kehidupan. Bisa diistilahkan, orang yang tidak menggunakan teknik dengan
sendirinya akan tersingkir atau tereleminasi dari dunia kehidupan. Asumsi
seperti inilah yang mulai mengakar di benak manusia modern saat ini. Tak pelak,
degradasi moral manusia dewasa ini menyebar hampir menyeluruh.
Teknologi telah mencipta dunia yang telah melampaui kodrat kemanusiaan.
Akibatnya, banyak persoalan moral yang muncul yang tidak hanya melibatkan
manusia tapi juga artefak teknologi (halaman 95). Maka, etika dalam teknologi
menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dalam peradaban yang serba mesin ini.
Relasi manusia dan teknologi serta integrasi agama dan teknologi dalam hal ini
tidak bisa ditawar lagi, karena pemisahan antara keduanya hanya akan membawa
terhadap kehancuran dan dekadensi moral bagi manusia itu sendiri.[]
0 komentar:
Post a Comment