Oleh: Muhammad Madarik
Tamhîd
Pondok pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang
berfungsi sebagai wadah kaderisasi Muslim, pengembangan pengetahuan keagamaan,
penguatan syariat ala ahl as-sunnah wa al-jamaah dan penyebaran misi
Islam. Hingga saat ini, fungsi yang sudah tercermin dari sejak berdirinya
pesantren tersebut dengan gigih tetap diperteguh oleh para pengasuh dengan
segala dinamika perkembangannya. Beberapa pilar eksistensi pesantren yang telah
dicanangkan sejak masa pendiri terus dipertahankan mulai generasi kedua, duet
KH Khozin Yahya dan KH Mursyid Alifi, hingga dekade generasi ketiga sekarang
ini, KH Mukhlis Yahya beserta Dewan Pengasuh.
Konsistensi pengasuh terhadap fungsi lembaga ini begitu kokoh
hingga zaman kini, meskipun dalam setiap perjalanan sejarahnya, pesantren RU I
menghadapi berbagai pergumulan politik praktis. Sebagaimana diketahui bahwa
dinamika politik dalam sejarah bangsa berproses terus-menerus dengan segala
ragam konstelasi yang terkadang panas menyengat. Gesekan antar kelompok partai
dengan segudang kepentingan masing-masing seringkali membuat keadaan gemuruh;
pengerahan massa, saling memojokkan, tuding-menuding (black campaign)
dan banyak lagi variasi langkah saling serang menjatuhkan lawan. Saat suasana
hiruk-pikuk politik di luar pagar pesantren bergejolak, Raudlatul Ulum I secara
kelembagaan sama sekali tidak terusik. Keteguhan prinsip di tengah hempasan
arus politik inilah tema yang akan diangkat dalam tulisan ringkas ini.
Menimbang Risiko
Menganalisis konsekuensi sebuah sikap yang diambil tentu tidak
seperti layaknya menghitung angka-angka matematis yang jelas-jelas bersifat
pasti, hitam di atas putih. Ada banyak faktor, kecenderungan dan
indikasi-indikasi yang harus dijadikan obyek pembacaan. Oleh karenanya, tentu
kurang bijak jika penilaian ini menjurus pada sebuah langkah penghakiman (judgement)
benar-salah.
Sebagaimana kita tahu, sejak 1998 yang lalu PPRU I sudah bertekad
mengambil posisi netral secara kelembagaan yang ditandai dengan terbitnya Surat
Pernyataan dan Himbauan. Detail surat tersebut adalah:
"Dengan berbagai pertimbangan untuk serta dalam perjuangan menegakkan demokrasi, kami keluarga Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang menyatakan mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sementara pondok pesantren Raudlatul Ulum I sebagai sebuah lembaga pendidikan, kami nyatakan netral dan tidak terikat dengan partai politik apapun.
Selain itu, kami menghimbau kepada keluarga besar, santri pondok pesantren Raudlatul Ulum I pada khusunya dan masyarakat luas pada umumnya, supaya tetap rukun, bersatu dan senantiasa menjaga ukhuwah islamiyah, meskipun partai politik yang dipilih tidak sama. Adalah hak asasi setiap orang untuk memilih partai politik yang disukainya, tanpa boleh dipaksa-paksa ataupun dihalang-halangi. Tetapi perbedaan partai politik tidak boleh menyebabkan kita saling benci, saling bermusuhan apalagi saling mengafirkan. Kegiatan politik jangan sampai membuat urusan perjuangan agama dan pendidikan menjadi terbengkalai. Apapun alasannya, al-akhlâq al-karîmah harus senantiasa dijunjung tinggi."
Menilik dari surat di atas sebetulnya ada dua pernyataan yang dapat
disimpulkan. Pertama, sikap politik keluarga yang bernaung di bawah
partai bikinan Gus Dur itu. Kedua, posisi PPRU I yang dinyatakan netral
secara kelembagaan. Sedangkan di bagian lain, keluarga pengasuh menghimbau agar
menjunjung kerukunan dan persatuan di atas segala macam kepentingan apapun.
Tetapi sejalan dengan dinamika perkembangan politik yang kian
menjemukan sebagian masyarakat akibat "dagelan" politisi badut, maka
poin pertama dari sikap politik keluarga dalam beberapa momen pesta demokrasi
tidak lagi seragam sebagaimana dalam surat pernyataan itu. Ambil contoh dalam
pilkada Malang 2015 ini, ada kiai dan gus dilingkungan PPRU I yang lebih memilih
untuk tidak memilih, ada gus yang diam-diam menjatuhkan kecenderungannya pada
salah satu calon, ada pula nyai yang bersikap memilih rivalnya, tetapi ada juga
gus yang secara konfontatif menetapkan akan mencoblos lawan pilihan nyai
tersebut.
Ragam pilihan yang ditunjukkan oleh sebagian anggota keluarga
pengasuh itu jelas merupakan aspirasi individu yang tidak mewakili lembaga apapun.
Kendati secara eksplisit, sisi lain dari konten pernyataan tersebut memuat
sebuah dukungan kepada salah satu kontestan pemilu, tetapi tidak serta merta
bisa dimaknai mengerangkeng seseorang untuk mengembara di atas altar politik,
apalagi mengebiri hak azasinya di dalam satu lubang politik praktis. Sebab,
putusan pilihan personal pasti berdasar pengamatan, ikhtiar dan pertimbangan
atas situasi dan kondisi dunia politik yang terus beproses. Hanya saja,
gejala-gejala perilaku oknum politisi di dalam perkembangan berikutnya memengaruhi
pandangan setiap orang, termasuk masing-masing anggota keluarga pengasuh. Oleh
karenanya, penulis menganggap absah saja keragaman pilihan masing-masing
beliau. Tema penting dari pernyataan itu, yang harus dipegang teguh ialah sisi
kebersamaan dan persatuan. Ternyata pada aspek ini, tembok persatuan segenap
unsur keluarga pengasuh tak secuilpun terbelah.
Perbedaan sikap politik di lingkungan PPRU I yang tidak mampu
mengoyak jaring ukhuwah antar keluarga seperti ini dibandingkan dengan sebuah
lembaga lain yang terang-terangan mendeklarasikan pada satu pilihan nyata lebih
menguntungkan. Netralitas model PPRU I dipandang memiliki beban risiko agak
ringan, secara psikologis dan politis, ketimbang sikap yang lain. Memang pada
tataran kepentingan, sikap seperti ini tidak banyak menghasilkan poin. Tetapi
bukan berarti peluang untuk melakukan lobi-lobi kepada pemegang kekuasaan
melemah. Keanekaragaman ikhtiar politis masing-masing unsur keluarga masih
merupakan potensi daya tawar dengan pintu-pintu kekuasaan. Tinggal sejauh mana
tingkat kepiawaian lobi, keterampilan strategi dan kecerdasan insting masing-masing
anggota pengasuh mengetuk daun pintu instansi. Hebatnya, hal ini sama sekali
tidak akan menggoyahkan komitmen netralitas pesantren PPRU I yang telah
dibangun.
Hanya saja, kesempatan langkah pendekatan kepada penguasa tidak
begitu menganga selebar lembaga-lembaga yang semenjak pertama sudah
memproklamirkan sikap politiknya pada satu pilihan. Cuma di balik itu,
sebagaimana kita maklum bahwa semakin tinggi pohon, maka terpaan anginnya juga
kian membesar. Sikap politis merupakan kaidah matematis; jika menang, maka
menuai banyak pundi-pundi. Tetapi apabila kalah, maka tak ubahnya bagai orang
jatuh tertimpa tangga pula.
Dari situasi dunia politik yang penuh dengan intrik, prediksi,
permainan kotor, slogan “tidak ada persahabatan abadi kecuali kepentingan”,
maka eksistensi PPRU I sebagai lembaga pendidikan dan dakwah lebih aman.
Sebagai pesantren yang telah berumur, PPRU I sudah mengorbitkan banyak tokoh
masyarakat dengan segala macam peran dan ragam pengaruhnya. Dalam persoalan
keikutsertaan masing-masing alumni di dalam kancah perpolitikan tidak luput
dari pengaruh kearifan lokal, dinamika wacana dan perkembangan situasional.
Oleh karena itulah, seringkali bendera politik yang dikibarkan tidak satu warna
antar masing-masing mereka. Tetapi berkat sikap netral PPRU I yang sudah
dikukuhkan, komunikasi antar pengasuh, alumni dan stakeholder tetap
terjaga dengan baik, dan interaksi tiga lingkar ini tak pernah porak-poranda
oleh fanatisme partai dan sentimen rivalitas.[]
sumber gambar: di sini.
Netralitas menjamin keberlangsungan lembaga pendidikan menuju masa depan yang cemerlang dengan berpegang teguh pada komitmen yang sudah disepakati bersama
ReplyDeleteBetul, Mas Yuyud. Trims, atas komentarnya....
Delete