Saturday, September 22, 2012

Kitab Fikih Tak Tabu Dikritisi

9:15 AM


Oleh: Abdul Rahman Wahid

Sering kita jumpai di kalangan masyarakat awam yang pemikirannya bisa dikatakan masih kolot atau konservatif anggapan bahwa semua hal baru yang berbau modern itu adalah hal yang tidak baik dan tak layak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pendidikan yang bukan agama mereka anggap pengetahuan yang menyimpang, sampai-sampai mereka dengan tegasnya mengatakan, kalau seorang santri menggeluti ilmu pengetahuan umum, ilmu agama yang dipelajarinya akan sia-sia. Mereka hanya memandang masalah secara tekstualnya saja, terlalu menerima realitas yang ada, tanpa mau mengkaji ulang akan permasalahan yang dihadapinya. Kitab-kitab fiqih yang mereka pelajari seakan-akan tidak perlu ada pengkajian ulang lagi, dalam artian mereka menganggap kitab-kitab fiqih yang telah ditulis oleh para pakar tersebut  adalah karya yang sakral dan hasil ijtihad mereka tidak perlu dikritisi lagi.

Pada akhirnya pemikiran yang seperti itu sangatlah berpengaruh dalam interaksi antar sesamanya,  menjadikan hubungan sosialnya tidak lagi baik. Karena orang yang hanya berpikir fanatik seperti itu cenderung melihat orang lain yang tidak sepaham dengan mereka  sebagai pemikiran yang salah. Bahkan, seringkali terjadi pengafiran antar sesama hanya karena permasalahan sepele, dan hal seperti itu sudah biasa terjadi dikalangan masyarakat awam.


Padahal, tidak bisa dipungkiri lagi, perubahan peradaban yang dari masa ke masa ini mengalami kemajuan yang sangatlah signifikan, sudah pasti permasalahan-permasalahan baru akan datang silih berganti. Mau tidak mau, permasalahan-permasalahan itu menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai umat Islam pada umumnya, dan para pemikir-pemikir Islam khususnya. Lebih-lebih intelektual Islam yang disiplin ilmunya adalah hukum Islam harus bisa memberikan jawaban atau solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut, agar dalam peradaban yang semakin modern perkembangannya ini Islam selalu bisa memberikan solusi  dalam menanggapi tantangan modernitas.

Jika umat Islam mampu memberikan solusi akan permasalahan tersebut maka orang-orang non Muslim tidak akan menganggap agama Islam adalah ajaran yang kaku, tidak bisa menjawab tantangan modernitas, dan tidak menganggap Islam hanyalah ajaran klasik yang terpaku pada hal-hal mistik saja. Dengan adanya para pemikir Islam yang kritis sehingga mampu memberikan solusi akan permasalahan modern ini, maka Islam akan sampai pada misi universalnya, yaitu agama yang shâlih likulli zamân wa makân. Hanya dengan pembuktian itu Islam akan kembali pada masa keemasannya.

Kitab-kitab fikih yang kita jumpai selama ini, perlu kita akui, memang karya orang-orang yang sangat brilian, namun karya tersebut takkan lepas dari keadaan zaman pada saat kitab itu ditulis. Kitab-kitab fikih itu memang valid dan relevan, tetapi hanya pada waktunya. Jadi, hasil ijtihad para pengarahnya pun bukan hal yang tabu lagi untuk kita kritisi.

Umar bin Khattab adalah khalifah pertama yang dalam menetapkan hukum sangatlah berani meskipun hal tersebut tidak ada dalam ketentuan nash. Kemudian pada periode tâbi‘în muncullah sosok Imam Syafi’i yang populer dengan qaul qadîm dan qaul jadîd-nya. Tidak berhenti di situ saja, pada periode tâbi‘ at-tâbi‘în muncullah sosok  Najm Al-Din Al-Tufi,  seorang pemikir Islam yang membawa konsep kemaslahatan sebagai kunci utama bahwa hukum itu bisa berubah. Ketiga tokoh ini sudah menjadi bukti kalau Islam itu bersikap kondisional dalam menyikapi suatu permasalahan.

Seiring dengan kemajuan zaman, baik dari segi geografis, kebudayaan, sosial dan kebudayaan, problem-problem dalam kehidupan manusia terus bermunculan, dalam hal ini menjadi tekanan pada ahli hukum untuk bisa menyikapi problem tersebut.

Berawal dari sinilah ahli-ahli hukum atau para intelektual  Muslim dituntut supaya berpikir kritis dalam realitas yang dihadapinya. Kebutuhan akan hal tersebut sudah menjadi bukti yang real dengan lahirnya para pemikir-pemikir Islam yang dari generasi ke generasi mengalami perkembangan serta perubahan yang sangat signifikan, terutama dalam permasalahan fikih yang berkaitan dengan interaksi sosial manusia dan kebudayaan. Permasalahan-permasalahan ini menunjukkan bahwa para pemikir hukum islam memang harus berfikir kritis, disesuaikan dengan perkembangan peradaban manusianya. Dalam ungkapan-ungkapan yang lebih jelas, dengan menjadikan latar belakang sosial dan budaya sebagai dasar pembetukan hukum Islam, hukum Islam akan tetap dinamis dan responsif, serta memiliki adaptabilitas yang tinggi sesuai dengan tuntutan perubahan,  bahkan, lebih jauh lagi, akan menghidupkan serta menggairahkan ijtihad bagi umat Islam.

Dalam hal ini, posisi ijtihad adalah inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita islam yang universal, yaitu sebagai ajaran yang shâlih likulli zamân wa makân. Menjawab tantangan modernnitas adalah suatu kewajiban bagi para pemikir islam  yang pada perkembangan terakhir telah terperangkap dalam taqlid dan kejumudan pasca imam-imam mazhab.[]

*Abdul Rahman Wahid adalah mahasiswa Perbandingan Madzhab, 
Fakultas Syari'ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top