Oleh: Abdul Rahman Wahid
Sering kita jumpai di kalangan masyarakat awam yang
pemikirannya bisa dikatakan masih kolot atau konservatif anggapan bahwa semua
hal baru yang berbau modern itu adalah hal yang tidak baik dan tak layak diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pendidikan yang bukan agama mereka anggap
pengetahuan yang menyimpang, sampai-sampai mereka dengan tegasnya mengatakan,
kalau seorang santri menggeluti ilmu pengetahuan umum, ilmu agama yang
dipelajarinya akan sia-sia. Mereka hanya memandang masalah secara tekstualnya
saja, terlalu menerima realitas yang ada, tanpa mau mengkaji ulang akan
permasalahan yang dihadapinya. Kitab-kitab fiqih yang mereka pelajari
seakan-akan tidak perlu ada pengkajian ulang lagi, dalam artian mereka
menganggap kitab-kitab fiqih yang telah ditulis oleh para pakar tersebut adalah karya yang sakral dan hasil ijtihad
mereka tidak perlu dikritisi lagi.
Pada akhirnya pemikiran yang seperti itu sangatlah
berpengaruh dalam interaksi antar sesamanya, menjadikan hubungan sosialnya tidak lagi baik.
Karena orang yang hanya berpikir fanatik seperti itu cenderung melihat orang
lain yang tidak sepaham dengan mereka sebagai pemikiran yang salah. Bahkan,
seringkali terjadi pengafiran antar sesama hanya karena permasalahan sepele,
dan hal seperti itu sudah biasa terjadi dikalangan masyarakat awam.
Padahal, tidak bisa dipungkiri lagi, perubahan peradaban
yang dari masa ke masa ini mengalami kemajuan yang sangatlah signifikan, sudah
pasti permasalahan-permasalahan baru akan datang silih berganti. Mau tidak mau,
permasalahan-permasalahan itu menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai umat Islam
pada umumnya, dan para pemikir-pemikir Islam khususnya. Lebih-lebih intelektual
Islam yang disiplin ilmunya adalah hukum Islam harus bisa memberikan jawaban
atau solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut, agar dalam peradaban yang
semakin modern perkembangannya ini Islam selalu bisa memberikan solusi dalam menanggapi tantangan modernitas.
Jika umat Islam mampu memberikan solusi akan permasalahan
tersebut maka orang-orang non Muslim tidak akan menganggap agama Islam adalah
ajaran yang kaku, tidak bisa menjawab tantangan modernitas, dan tidak menganggap
Islam hanyalah ajaran klasik yang terpaku pada hal-hal mistik saja. Dengan
adanya para pemikir Islam yang kritis sehingga mampu memberikan solusi akan
permasalahan modern ini, maka Islam akan sampai pada misi universalnya, yaitu
agama yang shâlih likulli zamân wa makân.
Hanya dengan pembuktian itu Islam akan kembali pada masa keemasannya.
Kitab-kitab fikih yang kita jumpai selama ini, perlu kita
akui, memang karya orang-orang yang sangat brilian, namun karya tersebut takkan
lepas dari keadaan zaman pada saat kitab itu ditulis. Kitab-kitab fikih itu
memang valid dan relevan, tetapi hanya pada waktunya. Jadi, hasil ijtihad para
pengarahnya pun bukan hal yang tabu lagi untuk kita kritisi.
Umar bin Khattab adalah khalifah pertama yang dalam
menetapkan hukum sangatlah berani meskipun hal tersebut tidak ada dalam
ketentuan nash. Kemudian pada periode
tâbi‘în muncullah sosok Imam Syafi’i
yang populer dengan qaul qadîm dan qaul jadîd-nya.
Tidak berhenti di situ saja, pada periode tâbi‘
at-tâbi‘în muncullah sosok Najm
Al-Din Al-Tufi, seorang pemikir Islam yang
membawa konsep kemaslahatan sebagai
kunci utama bahwa hukum itu bisa berubah. Ketiga tokoh ini sudah menjadi bukti
kalau Islam itu bersikap kondisional dalam menyikapi suatu permasalahan.
Seiring dengan kemajuan zaman, baik dari segi geografis,
kebudayaan, sosial dan kebudayaan, problem-problem dalam kehidupan manusia
terus bermunculan, dalam hal ini menjadi tekanan pada ahli hukum untuk bisa
menyikapi problem tersebut.
Berawal dari sinilah ahli-ahli hukum atau para intelektual Muslim dituntut supaya berpikir kritis dalam
realitas yang dihadapinya. Kebutuhan akan hal tersebut sudah menjadi bukti yang
real dengan lahirnya para pemikir-pemikir Islam yang dari generasi ke generasi
mengalami perkembangan serta perubahan yang sangat signifikan, terutama dalam
permasalahan fikih yang berkaitan dengan interaksi sosial manusia dan
kebudayaan. Permasalahan-permasalahan ini menunjukkan bahwa para pemikir hukum
islam memang harus berfikir kritis, disesuaikan dengan perkembangan peradaban
manusianya. Dalam ungkapan-ungkapan yang lebih jelas, dengan menjadikan latar
belakang sosial dan budaya sebagai dasar pembetukan hukum Islam, hukum Islam akan
tetap dinamis dan responsif, serta memiliki adaptabilitas yang tinggi sesuai
dengan tuntutan perubahan, bahkan, lebih
jauh lagi, akan menghidupkan serta menggairahkan ijtihad bagi umat Islam.
Dalam hal ini, posisi ijtihad adalah inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita
islam yang universal, yaitu sebagai ajaran yang shâlih likulli zamân wa makân. Menjawab tantangan modernnitas
adalah suatu kewajiban bagi para pemikir islam
yang pada perkembangan terakhir telah terperangkap dalam taqlid dan
kejumudan pasca imam-imam mazhab.[]
*Abdul Rahman Wahid adalah mahasiswa Perbandingan Madzhab,
Fakultas Syari'ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment