Oleh: Halimah Garnasih
“Katakan padaku tentang kesia-siaan,” pintasantri putri itu kepada
seorang perempuan setengah baya tanpa kerudung yang sudah sebulan ini selalu
muncul tiba-tiba dan menghabiskan malam di depan aula. Aula putri yang
didominasi warna putih dan coklat. Aula putri yang tampak gagah sekaligus
anggun, adem terkadang juga pengap aneh sekaligus mistis.
Perempuan itu terkekeh-kekeh memandang aula putra. Sementara pondok
putri telah gelap. Semua khos sudah sepi menyisakan hening yang mengambang.
“Ceritakan kepadaku,” pinta santri putri itu lagi. Sarung coklatnya
yang ngelinting di bagian bawah menyentuh latar aula yang abu-abu. Baju panjangdan
kerudungnya yang sama-sama berwarna putih telah pudar menjadi kuning mangkak.
Perempuan itu berpindah menatap mata santri di sampingnya.
Satu-satunya santri yang nekat mendekat dan berbicara dengannya. Sementara dada
santri putri itu sedikit berdesir saat mata perempuan misterius yang dianggap
aneh oleh seluruh santri itu mendarat di kedua matanya. Tepat pada kedua
pupilnya yang berwarna hitam kecoklat-coklatan.Santri putri itu juga tak tahu
mengapa dirinya seberani ini. Entahlah, bermalam-malam dirinya tak bisa tidur.
Dan beberapa hari ini dia merasakan perempuan misterius itu menatapnya terus
setiap kali dirinya turun dari musholla, melewati ndalem Nyai Maftuhah,
melewati khos B. Lalu berjalan lurus ke utara melewati kamar A4 dan masuk ke
kamarnya di A1, kamar Al-Bayti.
Apakah dia mengetahui kegelisahanku ini? terka santri putri itu
sambil membawa sepiring nasi kost yang baru diambilnya dari ndalem Nyai
Ruqoyyah. Santri putri itu memandangi perempuan misterius yang sore hari
terkadang tiba-tiba muncul dan duduk-duduk di depan musholla. Musholla putri
yang hijau dan teduh sekali.
Perempuan itu terkekeh-kekeh di depan muka santri putri yang
rupanya sedang gelisah itu.
“Konon,” suara perempuan misterius itu renyah dan teduh. Santri
putri itu terperanjat. Baru kali ini dia mendengar suara dari perempuan yang
disangkakan bisu dan gila ini. Terlebih, alangkah tak disangka suara itu begitu
mendamaikan jiwanya.
Lalu, mendengarlah santri putri itu sebuah cerita:
Konon, tersebutlah seorang santri yang tenar dengan kepandaian
khitobahnya. Santri baru yang namanya langsung mercusuar karena kepandaiannya
itu. Yang namanya kerap mampir di bibir-bibir santri yang sedang istirah di
kamar, di antara dua santri yang sama-sama tengah menciduk air dari kolam lalu
mengguyurkan ke tubuhnya, di antara gerombolan santri yang sengaja ngendon di
bawah jemuran sambil petan-petan dengan hanya mengenakan telesan, di WC
yang berjajar tujuh dan baunya ngau’dzubillah menyengat hidung tapi terkesan
biasa karena sudah kadung biasa, juga di antara para khoddam ndalem yang tengah
mengiris bawang di dapur. Dan tentu saja, juga kerap mampir di ruang dengar
beberapa cak santri yang yang memiliki akses mudah keluar-masuk gerbang pondok
putri.
“Dari kecil, bahkan sebelum masuk SD, dia sudah dilatih oleh
kakeknya,” aku Habibah, santri yang sekampung dengan santri tenar itu. Sementara
gerombolan santri lain yang mengitarinya
mengangguk-ngangguk, beberapa hanya melongo.
Untuk pertama kalinya Habibah merasa bangga menjadi tetangga santri
tenar itu. Ia semakin berbusa-busa menceritakannya. Menjawab semua pertanyaan
dari para santri lainnya. Bahkan, tentang suatu hal yang sesungguhnya tidak
diketahuinya, Habibah mengarang bebas demi ingin tampak begitu dekat dengan
santri tenar itu.
“Ya, semuanya dilatih detil oleh kakeknya. Yang penting itu bukan
materi khitobahnya, karena itu bisa kita pelajari dari buku-buku kumpulan
khitobah bukan?”
Habibah sengaja diam sebentar, menunggu para santri bertanya
serempak kepadanya. Dan betul seperti perkiraannya. Lalu Habibah menjawab
dengan senang hati dan tampak meyakinkan, “yang penting adalah tekhnik memegang
microvon atau memegang talinya, tekhnik memindahkannya dari tangan kanan ke
tangan kirinya, tekhnik menggoyang tubuh, menganggukkan kepala, mengedipkan
mata, juga….”sengaja lagi Habibah mengulur kalimatnya.
“Juga apa?” Penasaran gerombolan santri bersamaan. Habibah
tersenyum dan melanjutkan pelan, sangat pelan, “melempar senyum…” Gerombolan
santri ramai. Saling berargumen ini-itu. Ada pula yang hanya bergumam-gumam.
Juga yang diam-diam mencatat betul. Tak sedikit yang nyinyir meledek.
Lalu, malam senin adalah malam yang sangat ditunggu-tunggu para
santri putri. Untuk pertama kalinya, mereka akan menyaksikan langsung santri
tenar itu menunjukkan performance khitobahnya. Betapa divisi bakat dan seni
telah didorong-dorong oleh ratusan santri untuk mengundang santri tenar itu.
Aula putri hening. Para santri yang malam itu tidak mendapat giliran
tampil dan hanya menjadi audiance, seperti menahan nafas sebentar saat nama
santri tenar itu disebutkan oleh Pembawa Acara. Gila! batin Pembawa Acara
menemukan dirinya berdebar-debar bahkan hanya menyebut nama santri tenar itu.
Pembawa Acara surut ke belakang. Aula tetap hening. Semua sorot mata dari
ratusan santri putri yang mengenakan kerudung putih jatuh ke pintu aula yang
wibawa. Tiga detik, lima detik, akhirnya sepasang kaki muncul dari luar. Dengan
busana panjang perpaduan warna biru dan merah jambu, seorang perempuan belasan
tahun masuk dengan aura yang kuat membias di wajahnya. Membias di tubuhnya.
Membias di bibirnya yang penuh pesona. Lalu, aula putri penuh sihir!
Paginya, kamar mandi ramai. Membicarakan kedahsyatan semalam.
“Begitu kenes!” seorang santri menirukan santri tenar saat
menggoyangkan wajahnya.
“Ho’oh, suaranya lo… berubah-rubah. Kadang wibawa, kadang manja,
kadang tegas, kadang kemendel!” kata yang lain sambil mengguyurkan air ke baju
seragamnya yang berwarna krem. Baju seragam Madrasah Diniyahnya.
“Tapi… cantikkan.. suaranya itu lo… apalagi pas diselipin membaca
qiro’ah dan nyanyi India. Hem….khitobahnya jadi asyik kan. Gak kaku…” Sahut
satunya sambil memainkan kakinya yang dicemplungkan ke dalam kolam.
“Ah, tetap saja. Orangnya gak ramah. Dasar sombong!” Yang lainnya
nyinyir. Beberapa santri di ujung sana mengiyakan sambil mengenakan baju, dan
memeras telesan.
Benar-benar mercusuar. Penampilannya selalu menyihir. Di muhadloroh
khos, muhadloroh orda, muhadloroh haflah akhirissanah, apalagi undangan di luar
pesantren. Dan namanya semakin tinggi saja seakan tak terjangkau.
Perempuan misterius itu terkekeh-kekeh.
“Apa yang terjadi selanjutnya? Katakanlah,” santri putri itu
semakin tidak mengantuk. Sementara dini hari begitu menggigit.
Sampai datanglah seorang ahli khitobah yang lainnya. Kita kasih
nama Atun ya.
Lalu ngekek. Sementara santri putri itu sedang penasaran.
Santri tenar itu merasa terusik. Puncak kepopulerannya merasa
tersaingi. Bukan karena lebih bagus, tapi dia merasa kehilangan para fans.
Fansnya yang lebih memilih orang yang ahli namun tetap ramah dan rendah hati
dengan sesamanya. Teman-temannya semakin menyenanginya.
Perempuan itu terkekeh-kekeh.
Pukulan telak baginya, saat dirinya merasa makhluk alam lain pun
lebih menyukai saingannya daripada dirinya. Atun jarang tersadar. Banyak jin
yang berebut masuk ke wadagnya. Dari jin bayi, batita, remaja, sampai jin nenek
peyot. Tapi ada satu jin yang lebih sering ngendon dan lama keluarnya. Jin itu
mengaku bernama Cika.
Para santri sudak kenal baik dengan Cika. Jin yang baik kata
mereka. Para santri pun mudah mendeteksi Cika bila sedang masuk ke wadag Atun
dari ketawanya yang khas. Khas jin yang kemendel.
Cika pernah membuat olah. Tiga hati tiga malam dia tak mau keluar
dari wadag Atun. Saat ditanya kenapa tak mau keluar, “Gak mau. Ada jin jahat
jahat, besar, dan hitam yang mau masuk. Cika kasihan sama Atun,” jawabnya
manja. Padahal, satu hari lagi, Atun harus tampil khitobah di muhadloroh.
Jadilah divisi bakat dan seni melatih Cika berkhitobah. Menggemblengnya
habis-habisan. Dan berhasil! Cika tampil mempesona. Suaranya melengking tinggi.
Wajahnya lebih bersinar daripada biasanya. Tekhnik-tekhnik khitobah yang
dikeluarkannya membuat terkejut para pelatih. “Itu tekhnik adaptasi sendiri,
kami tidak pernah mengajarkannya. Itu keren. Dia melebihi dari apa yang kita
latih,” jawab sang pelatih pada wartawan pers pondok putri.
Malam itu, tentu saja para santri berbondong-bondong datang ingin
menyaksikan penampilan seorang jin. Eh, kok seorang. Seejin yang akan
berkhitobah. Malam itu pujian dilayangkan kepada Atun tiada habis-habis. Esoknya,
berita itu menjadi Had News buletin pondok putridan tak habis-habis
dibincangkan selama dua pekan. Dan tentu saja, si santri yang merasa dulu
tenar, panas pada dadanya. Membara pada hatinya.
Perempuan misteriusitu terkekeh-kekeh agak lama.
Dia sungguh marah dan tidak bisa menerimanya. Semua jalan
ditempuhnya untuk merebut kembali hati para fansnya, termasuk berpura-pura
kejinan. Tapi tak lama, karena modus kepura-puraannya akhirnya ketahuan. Waktu
dia pura-pura pingsan dan para santri berama-ramai menggotongnya, seorang Neng
berumur empat tahun yang sedang bermain di taman pondok tiba-tiba menggelitik
kakinya. Dan dia tertawa.
Perempuan misterius itu terkekeh-kekeh lagi. Semakin ngekek.
Puncaknya adalah peristiwa sore itu. Sore yang surub jelang
maghrib. Pondok putri gempar. Atun, berteriak kencang. Memang, sudah tidak
heran Atun berteriak-teriak. Para santri sudah mafhum, keadaan seperti itu
adalah keadaan disaat jin akan masuk. Entah lewat jempol kaki atau ujung-ujung
jari tangan. Tapi teriakan atun yang ini lain. Teriakanny panjang dan menyayat
hati yang mendengarkannya.
Sulifah, seorang santri senior tiba-tiba menunjuk ke kamar pojok. Gemrudukpara
santri ke sana. Mereka melihat si santri yang dulu tenar, sedang duduk bersila,
tangannya menyatu di depan dada, mulutnya ndemimil, dan tubuhnya gemetar.
Kholifah, keluar dari kamarnya menyadari banyak santri sudah bergerombol di
luar kamarnya. “Anu, katanya keris yang dari Sunan Ampel untuk Lila hilang,”
Kholifah menjelaskan keadaan yang menimpa santri yang dulu tenar. “Dan sekarang
dia sedang berusaha merebutnya,” tambah Kholifah lagi cemas dan hanya bisa
melihat semacam semedi yang dilakukan Lila. Sementara sore itu pondok putri
memang kacau. Semakin banyak santri yang tiba-tiba pingsan lalu
berteriak-teriak.
“Merebut kembali? Keris Sunan Ampel?” Tanya Khuzaimah, santri
senior di kamar Atun kepada Kholifah.
Kholifah mengangguk meyakinkan dengan wajah taku-takut.
“Lila mengaku mendapat keris dari Sunan Ampel sebagai restu dia
berkhitobah. Berdakwah kepada manusia,” tiba-tiba Habibah menyeruak di antara
gerombolan santri. Keluar dari kamarnya dimana Lila masih terus melakukan
semacam semedi. Para santri hanya semakin bingung, ada yang tidak percaya, ada
juga yang diam-diam menikmati peristiwa ini. Karena aneh dan unik.
“Siapa yang mengambil keris Lila?” tanya Khuzaimah cepat.
Kholifah dan Habibah saling pandang. Lalu pelan keluar satu nama
dari mulut mereka berdua, “Atun.”
Di kamar ujung yang lain, Atun berteriak-teriak semakin tinggi dan
ganjil. Khuzaimah merasa tak enak. Banyak santri yang tak percaya. Surub di
pondok putri semakin mencekam. Bahkan, sampai azan Cak Ibe (panggilan akrab
Ibrahim oleh santri putri) berkumandang, Lila masih saja bergetar dalam
semedinya, dan teriakan atun semakin panjang. Dan semakin terdengar ganjil…
“Lalu apa yang terjadi?” sergah santri putri itu dibawa buncah
penasaran. “Apakah benar Lila mendapatkan keris dari Sunan Ampel? Dan Atun yang
mengambilnya?” santri putri itu begitu teramat penasaran.
Sementara perempuan misterius terkekeh-kekeh meninggalkan santri
putri itu sendiri di pelataran aula putri. Sampai di depan khos B, pada jeda
kekehannya, santri itu mendengar perempuan misterius itu berkata: ITU TIDAK
PENTING. Lalu terkekeh lagi.[]
# Malam
Jum’at yang ganjil
Pada
Kereta Tawangalun Menuju Banyuwangi
# Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment