Oleh: Muhammad Madarik
Aku jengah hidup dengan dia.
Mochamad kembali melayang jauh di pembaringan beralaskan karpet lusuh. Huuh,,,
ia melenguh memendam kebosanan dalam bingkai hidup yang mulai retak.
Kebersamaannya untuk bahagia, tetapi bagi Mochamad hanya dapat dimaknai sebagai
pelepas hasrat belaka.
Anak ini dipanggil Mas oleh
karibnya, menghisap dalam-dalam batang rokok yang hanya tinggal beberapa kali
hisapan. Lamunan yang kian jauh menghinggap di antara sekian misteri hidupnya.
Tak tahu akan bagaimana, benar-benar sesak terasa bagi dirinya kendati begitu
lapang hidup ini bagi mereka. Senyum bahagia selalu menghias bibir mereka,
tanpa keluh jalani takdirnya. Sementara baginya, ruang hidup ini sebegitu
sempit seakan Tuhan sengaja menjerat dengan tali kehendak-Nya di leher pemuda
ini.
"Mochamad... Mochamad..."
Sebutnya dalam-dalam di antara angan pikiran yang terus saja melayang. Perjaka
ini beranjak kian menua, sekeriput air muka yang tampak tak mampu lagi menahan
usia. Bantal usang ia apit di selangkangan dan sejurus kemudian terguling ke
kiri dan ke kanan. Hembusan nafasnya yang keras dimaksudkan menyumbat rasa
galau yang tak lagi bisa diukur. Huuh....
***
Medsos-lah yang telah menghantar
namamu di lubuk ini. Walaupun sosok diriku hanya diperlakukan tirani sebuah
pengkhianatan tak berhingga sakitnya. Heeh... Kembali Mochamad menahan dan
menghembuskan nafas panjang. Namamu selembut salju, menyejukkan dan membuat
hampir semua tersenyum. Bayangkan, kau dipanggil Citra. Khayal sang pemuda
mengingat sebuah nama yang hadir di pelupuk mata, saat alam fikirannya
melayang. Begitu memikat. Citra oh Citra. Indah nian nama itu. Nyaman nan
tenteram bagi tiap pendengarnya.
Tetapi selaksa pesona nama itu
hanyalah tertinggal di pucuk duri bunga melati yang tajam. Melukai dan
menyisakan perih yang sulit untuk diobati. Bagi Mochamad, kenangan indah
bersamanya cuma jejak-jejak berdarah yang tercecer. Dalam bingkai hidupnya,
hanya lukisan bunga Kamboja di tengah-tengah pekuburan tua. Di sampingnya,
menyemai siksa batin seakan butiran pelor yang menancap di tubuh ini dan
akhirnya menyesakkan dada saja.
Citra, oh Citra... Di dekatmu tak
lagi ada ruang untuk bernafas. Rangkaian cinta selalu saja kau anyam dengan
benang basah yang lapuk. Susunan kerangka sejuta rasa semudah rapuhnya bangunan
yang dirancangnya sendiri. Citra, begitu goyah kehidupan berdekatan denganmu,
sehingga angin sepoi-sepoi tak mampu dihalangi. Dalam sekian waktu di pusaran
hidupmu membuat aku tak pernah paham apa arti kata komitmen. Uuh... Kini dada
Mochamad terasa penuh beban. Sesak.
Aku benar-benar telah tewas. Sang
Mochamad bergumul dalam angannya. Bau darah di sekujur tubuh ini menyebarkan
anyir kematian yang terasa dekat. Degup jantung perlahan melambat detik demi
detik. Citra, aku tak pernah takuti nyawa tercabut sekalipun oleh pedang musuh.
Tetapi maut pasti kuanggap monster bila disusuri dengan kepala yang berpaling
dari-Nya. Kaulah yang menjadikan jiwa ini terperosok di jurang kedurhakaan.
Sungguh, bagiku kini firman Tuhan dan sabda rasul-Nya merupakan simbol agama
yang terasa kering mutiara. Aku tampil sebagai lelaki berandal di mana ruhani
tak pernah lagi tersirami. Panggilan Tuhan nyaris tak terdengar oleh
hingar-bingar duniawi, angin surgapun hampir-hampir tidak menyapu diri ini
akibat gilasan nafsu dan syahwat.
Nyata benar keberadaanmu membutakan wujud
Sang Esa di mata batinku. Kehadiranmu betul-betul mengaburkan makna persaksian
antara Tuhan dan aku sebagai hamba-Nya. Akal sehat kian bertambah picik tatkala
kau mewarnai sejarah hidupku. Kaulah biangnya! Sekarang, dalam satu hembusan
separuh nafaspun aku tak bersedih dengan perpisahan, namun aku menangis
sepanjang hayat sebuah pertemuan.
***
Lagi-lagi medsos yang sudah
melubangi lorong ta'aruf antara aku dengannya. Wajahmu tak dipenuhi kecantikan,
namun parasmu mencerminkan pantulan keteduhan. Kembali lamunan sang Mochamad
mengangkasa, hanya hamparan sajadah yang baru saja ia tinggalkan masih basah
oleh tetesan air mata. Ditemani secangkir kopi panas buatan sendiri dan sebungkus
kretek, raut wajah pemuda ganteng ini begitu berseri. Seutas senyum kecil yang
tersungging dalam oval mukanya menambah tampilan anak ini betul-betul tampan.
Jika bukan karena engkau, ooh..
Alfionita, mungkin aku akan tetap terjerembab dalam lubang kemaksiatan. Di
sana, harga diri kulacurkan sebegitu rendah tanpa tawar hanya semata-mata demi
kesenangan belaka. Ooh... Aku sebetulnya tak ingin membuka lembar kelam itu
lagi, sebab dalam pandanganku potret masa-masa lalu merupakan gambar buram yang
tak pantas diungkit kembali.
Alfionita... Oh, Alfionita. Kau
hadir di tengah lubuk hati ini telah kukosongkan. Aku sadar, kedatangamu di
sisiku ini bukanlah sebuah garis hidup yang ditorehkan tangan kita, tetapi aku
meyakini inilah coretan takdir yang digoreskan Tuhan dalam lingkar hidup kita.
Pertemuan ini hanyalah tatapan dua insan di persimpangan jalan setelah sekian
kurun antara kita terpisahkan. Masa demi masa bergulir tanpa terasa, perjumpaan
waktu silam kini bersemi lebih dari sekedar persahabatan. Alfionita... Oh,
Alfionita.
Bibir Mochamad kembali merekah, saat
merenungi sepotong wajah keibuan yang melintas di alam pikirannya. Tangan
kekarnya merogoh sebatang rokok sesudah membasahi tenggorokan dengan kopi di
sampingnya. Lagi-lagi putra Borneo ini terbang bersama khayalannya.
Alfionita... Oh, Alfionita. Saat
dulu perasaanku disiksa oleh pergumulan di dalam dunia gelap, kendati gadis
cantik itu tak berjarak dariku. Dan, dekapan gadis itulah yang menyebabkan aku
tersungkur di kubangan gelimang syetan. Alfionita... Percayalah ! Tubuhku,
ketika itu, berlumuran dosa. Tetapi kini sesaat setelah namamu terlukis di
relung nurani ini, jasadku serasa dibasuh oleh mata air keinsyafan. Yah, kaulah
seseorang yang datang menginspirasi sejatiku, sehingga aku sanggup menginsyafi
hakikat kehidupan ini. Sekarang aku mulai memahami siapa diri ini, hingga
setapak demi setapak aku mengerti siapa Tuhanku.
Sangat terasa setiap nafas tak kan
pernah terbeli, setiap gerak tak kan pernah tergantikan, setiap detik tak kan
pernah kembali, dan setiap apa saja walau senoktah dalam gulir hidupku tak
pernah mampu untuk ditukar, sekalipun dengan sekumpulan alam semesta.
Alfionita... Oh, Alfionita. Di mataku, eksismu bagai telaga kautsar-nya Nabi
Ahmad yang suci.
Alfionita... Oh, Alfionita. Mataku
yang mulai terbelalak pada kebesaran Sang Khalik, kupastikan berkat tunas-tunas
kesadaran di ujung fitriku yang kau sirami dengan embun kesabaranmu. Diri ini
yang beranjak ke pintu tobat, kupercaya sebab mutiara hikmah yang kau susun
dalam rangkaian petuah yang terus saja menyejukkan.
Alfionita... Hanya namamu yang
terpatri di hatiku, waktu tangan ini tengadah ke langit. Cuma panggilanmu yang
kusebut, disaat ku bermunajat di tengah kesunyian malam. Aku ingin kau menjadi
sapu tangan, saat aku butuh sesuatu untuk mengusap butiran yang mengalir di
pipi ini. Aku berharap kau tampil sebagai lentera, tatkala aku dalam belantara
kebimbangan. Aku mengimpikan kau menjelma seperti pundak, ketika ragaku goyah
dan tak lagi kukuh.
Aku memang tidak akan memperkosa
keperkasaan Tuhan, tetapi aku kan tetap mengemis di depan pintu kemurahan-Nya
semoga kita dilahirkan seakan Adam dan Hawa. Aku memang tak kan menuntut
kewenangan-Nya, namun aku bakal terus meratap di bawah kaki kearifan-Nya
mudah-mudahan kita diciptakan seperti Romeo dan Juliet.
Kini Mochamad bergegas dari
lamunannya. Ia berdiri dengan tegak keluar dari ruangannya seraya tersenyum
ceria menatap alam yang cerah. Namun di tengah angin sepoi-sepoi, khayalan sang
Mochamad masih tersisa.
Alfionita... Oh, Alfionita. Jagalah aku, agar aku tak mati kafir untuk yang kedua kali.[]
sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment