Kita tahu banyak anak remaja di
kampung kita, persis seperti yang kita pahami tak terhitung gadis-gadis di
tempat kita berasal. Pola kehidupan perempuan muda secara garis besar hanya
terbagi menjadi dua gaya: Pertama, berperilaku cenderung lugu. Kedua, bertingkah
modis bergaya hidup glamor.
Pada diri mereka yang bertipe kedua,
tampilannya sungguh menjadikan kita terheran-heran. Kenapa bisa tingkah polah mereka
bak kacang lupa kulitnya? Dari mana sebetulnya diri mereka? Hanya gadis-gadis
desa yang jauh dari gemerlap kehidupan kota.
Cobalah sedikit bayangkan dalam alam
pikiran Anda! Semenjak kecil mereka hidup di pelosok, sekian kilo dari sebuah
keramaian kecamatan. Bocah cilik yang bermain di sekitar lingkungan gubuknya
dengan alat-alat permainan sederhana. Pecahan genteng, belahan batu bata,
dedaunan, gelang karet dan macam-macam mainan alami. Tak ada jarak anak
laki-laki dan perempuan dan bahkan tidak dipisah oleh sekat-sekat kekhawatiran
orang tua dari sisi norma-norma, sebab cara bermain merekapun tanpa tersentuh
oleh cengkraman syahwat-birahi. Ketika azan Magrib mulai dikumandangkan
bocah-bocah itu telah bergegas menuju surau untuk belajar mengeja huruf-huruf
Alquran kepada kiai langgar atau guru ngaji. Di dalam perjalanan antara rumah
dan surau, anak-anak itu nyaris saja memenuhi badan jalan karena gurauan yang
tak kenal tempat dan waktu. Tawa bahagia menyelimuti wajah-wajah polos mereka,
terkadang saling tarik pakaian bagi sesama lelaki, atau kejar-lari dengan
perempuan yang diwarnai gelak-tawa dan jerit kegembiraan. Kadang-kadang
teguran, atau nasihat dengan suara lantang orang-orang tua menghentikan guyonan
mereka. Tetapi dasar anak "bandel" seusia itu, suara-suara tawa dan
jerit yang melengking seringkali memekikkan telinga para orang tua.
Belum lagi saat di depan guru dalam
surau. Ada saja tingkah polah yang diperbuat salah satu di antara mereka
sebagai bahan gurauan. Kadangkala anak putri dicubit, dicibir atau dicemooh
secara bersama-sama hingga menangis. Ada pula saling ejek sesama anak pria
sampai terjadi perkelahian, tidak saling menyapa atau mengadu kepada gurunya.
Kisah masa kanak-kanak di desa itu
kemudian terbelah oleh zaman. Pengalaman waktu-waktu belum balig hanyalah
kenangan yang tertinggal. Sekarang, putaran jarum jam yang terus berdetak tanpa
henti tak menyisakan jejak-jejak mereka kecuali cuilan khayalan masa lalu yang
terpendam di benak orang-orang kampung. Sebagian mereka belajar di sekolah umum
dengan muatan pengetahuan-pengetahuan non agama. Sedangkan sebagian yang lain
masuk ke dunia pendidikan pesantren.
Nah, ternyata tipologi dan
kecenderungan yang beragam tampak akibat pilihan masing-masing mereka ini.
Sebagian mereka benar-benar tampil modis lengkap dengan segala aksesoris yang
melekat di badannya. Rok pendek sebagaimana seragam sekolah umum menjadi style
harian yang tak lagi terasa risih. Tas ransel, dan telepon genggam menambah
gaya hidup mereka bak perempuan metropolitan selalu punya rasa percaya diri
untuk tampil beda.
Meski tidak selalu orisinal karena
banyak mengadopsi gaya selebritis populer yang mereka lihat di majalah dan
televisi, tetapi "keakuan dan keangkuhan" ingin tampil dicap
"modern" sanggup mengubah tatanan hidup dan budaya yang sudah mapan
di tengah masyarakat.
Salah satu yang bisa diangkat
sebagai contoh antara lain terjadinya gelombang Korea sudah menyebar keseluruh
dunia, terutama di kalangan anak muda. Berawal dari kesuksesan film dan
band-nya, gaya Korea akhirnya menjadi trend di berbagai negara di Asia termasuk
di Indonesia. Dengan semakin populernya keberadaan artis Korea tersebut,
membuat banyak perubahan dalam gaya hidup anak-anak muda, khususnya para
penggemar musik dan juga drama yang berasal dari Korea Selatan tersebut.
Dalam hal pergaulan, mereka
cenderung merdeka dari tata nilai yang sudah diyakini oleh masyarakat. Andaikan
bukan karena setitik rasa malu terhadap lingkungan yang masih bersemayam di lubuk
kecilnya, tentu pergaulan bebas hampir-hampir saja jadi mazhab dalam interaksi
dengan teman-temannya. Walaupun dalam banyak ihwal pergumulan persahabatan,
pagar-pagar norma dan nilai kesopanan tak lagi kokoh. Boleh dibilang, pergaulan
antar lawan jenis nyaris tanpa batas, seakan cara bergaul antar mereka
dilakukan sekehendak hati mereka. Kecuali sebab-sebab pertimbangan
"publik" sajalah, mereka berupaya menyembunyikan diri dari
masyarakat.
Begitu jauhnya kita menyaksikan
tingkat ketimpangan antara mereka yang menyelami sebuah pendidikan non
pesantren dan tarbiyah di lembaga Islam tertua di tanah air itu. Kita lihat
bagaimana pola hidup anak-anak pesantren. Sejak awal masuk ke dalam lingkungan
pesantren sudah ada pemasrahan yang betul-betul melalui keterwakilan
berdasarkan kesadaran mendalam antara pihak wali dan pihak pesantren.
Kendatipun proses administrasi kerapkali diselenggarakan oleh pesantren karena
tuntutan zaman sekarang, namun pemasrahan totalitas kepada pengasuh pesantren
menjadi bagian dari tahapan pendaftaran untuk masuk pesantren. Praktik sowan
kiai merupakan agenda yang dianggap sangat sakral sehingga meninggalkan
kegiatan satu ini dianggap langkah yang tidak etis.
Berikutnya soal cara hidup di dunia pesantren yang dapat digambarkan seperti gadis terpingit. Interaksi dengan alam di luar pagar pesantren dibatasi oleh tata aturan yang sangat ketat, sehingga memungkinkan tingkah kehidupan mereka begitu higienis dan tak mudah terlumuri pengaruh pergaulan bebas nilai-nilai.
Tentu kehidupan santri putri dalam
pandangan sebagian orang luar dianggap "kolot dan terbelakang".
Betapa tidak, menurut mereka, tanpa pakaian yang tergolong trendi ala sosialita
dengan satu juta ke atas, para santri menutup tubuhnya hanya kisaran tujuh
puluhan ribu belaka harga baju yang mampu dibeli.
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment