[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
’Menulis adalah
soal memberi makan konsistensi’. Begitulah
saran seorang teman ketika aktivitas menulis
saya mulai mengendur suatu ketika. Saya setuju dengan ungkapannya, menulis
memang seperti orang makan. Bagi penulis, seharusnya jika lama tidak menulis akan
mengalami siksaan yang begitu berat seperti orang yang berhari-hari tidak
makan. Siksaan itu bisa berupa kelaparan, menjadi kurus, atau hingga merana.
Ungkapan teman saya yang sudah lama saya lupakan itu
kembali terngiang ketika pekan lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan di Jawa
Pos. Kali ini Dahlan menulis dalam rubrik New Hope, tulisan ini
merupakan yang pertama setelah dua bulan lamanya Dahlan ’berpuasa’ menulis di rubrik Manufacturing
Hope yang terbit setiap hari Senin.
Dalam tulisan pertamanya itu, Dahlan memang seperti orang
yang ’kelaparan’. Dia merana
karena harus berpuasa menulis selama dua bulan. Bagi dia yang sudah 30 tahun
lamanya menulis (baik ketika menjadi wartawan atau penulis), menahan untuk
tidak menulis merupakan siksaan. Apalagi, jika ada bahan menarik yang perlu
dituliskan.
Dari apa yang
dialami Dahlan itu, kita layak bercermin. Apa pun aktivitas dan pekerjaan kita, bagi seorang
penulis, menulis merupakan sebuah keharusan. Ketika menjadi menteri, Dahlan banyak mengisahkan tentang apa pun aktivitas serta
gebrakannya selama menjadi menteri. Dari tulisan-tulisannya, banyak yang
terinspirasi terutama ketika membaca bagaimana cara Dahlan menghidupkan BUMN
yang lama mati suri.
Begitulah seharusnya kesungguhan bagi seorang penulis. Sebab menulis itu seperti orang makan, tidak mudah menyerah
mencari makanan, itu merupakan kunci utamanya. Jika kita bermalas-malasan untuk mencari uang, bisa jadi kita tidak
mempunyai uang untuk membeli makan. Apakah tidak merana jika hal itu yang
terjadi.
Oleh karenanya, saya setuju jika menulis dianalogikan
dengan orang makan beserta prosesnya. Jika kita ingin membuat makanan enak,
kita harus mempunyai cukup uang, berbelanja lauk-pauk terbaik, tidak hemat
rempah-rempah, dan memasak dengan tidak ala kadarnya.
Begitu juga dengan menulis, tulisan kita akan kering jika
kita tidak mempunyai bahan yang cukup. Bahan-bahan itu bisa dari bacaan,
pengalaman, cerita orang, dan lain-lain. Karena inilah ada rumus yakni jika
negara yang memikirkan soal perbukuan sama pentingnya dengan ketersediaan
makanan, orang-orang di negara tersebut akan menghasilkan
karya-karya hebat.
Jika perpustakaan merata di setiap sudut desa,
perpustakaan kota anggarannya tidak lagi cekak, dan buku-buku bagus bisa kita
akses dengan mudah, maka tidak akan kesulitan mencari
karya-karya bagus dari penulis kita. Hal yang saat ini memang sedikit sulit
kita temukan di tengah banyaknya karya yang kualitasnya pas-pasan.
Nah, mungkin karena berjibunnya bahan inilah, Dahlan bisa
menghasilkan tulisan Manufacturing Hope hingga ratusan tulisan. Lantas kenapa tulisannya selalu dinanti orang setiap
Senin pagi..? Itu karena Dahlan mempunyai bahan-bahan terbaik dan berhasil
menuliskannya dengan baik pula.
Bagaimana dengan tulisan-tulisan New Hope ke
depannya, sebagai pembaca, saya hanya bisa membayangkan kalau
tulisan-tulisan ini berisi tentang merawat harapan, tentu dengan bahan-bahan
yang tidak jauh dari itu.
Di tengah berita-berita tentang keculasan pejabat di negeri ini, kita membutuhkan tulisan yang menggugah semangat. Berita soal
konflik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), konflik
Partai saat kongres, berita calon kapolri yang korupsi, kepala daerah yang
tertangkap tangan menerima suap, dan lain-lain, mau tidak mau membuat kita
jengah.
Kerapkali kita dibuat bosan dan putus asa. Bagaimana
bisa, pucuk pimpinan penegak hukum akan dijabat orang yang berstatus tersangka.
Akal sehat seolah tidak bisa menerima, meskipun toh itu hak prerogratif presiden. Kita juga sudah jengah dengan
aneka macam muslihat pejabat mencuci uangnya. Dari keculasan yang monoton itu,
kita membutuhkan tulisan yang menghibur, menginspirasi, dan menghidupkan harapan.
Sebenarnya, banyak penulis di negeri ini yang bisa kita dijadikan
cermin soal nalar mereka yang menganggap menulis seperti orang makan. Selain
Dahlan, Kita tahu, pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad menulis catatan
pinggir sejak tahun Sejak 1976 setiap pekan tanpa jeda, kecuali saat Majalah
ini diberedel oleh Orde Baru beberapa tahun.
Kenapa
Goenawan tidak pernah kehabisan bahan, saya beranggapan karena bahan bacaanya
yang luas. Goenawan membahas tentang siapapun dari buku-buku yang pernah dia
baca. Saat mengenang kematian Nelson Mandela, pada Tweet-nya di Twitter,
Goenawan mengatakan kalau dirinya harus riset soal Mandela. Mungkin, dirinya
memakai kata riset karena dia beranggapan kalau menulis bukanlah hal yang
main-main meskipun baginya menulis hal yang menyenangkan.
Ada satu orang lagi yang menurut saya tidak pernah
main-main dalam menekuni hobinya dalam menulis. Dia adalah Seno Gumira
Ajidarma, seorang sastrawan yang lebih suka disebut wartawan karena sebutan
sastrawan adalah sebutan yang berat.
Beberapa pekan yang lalu, saya membeli kumpulan cerpennya
yang pernah dimuat di harian Kompas. Judulnya Senja dan Cinta yang Berdarah.
Yang membuat saya geleng-geleng, Seno sudah menulis di Kompas sejak 1978
atau ketika umurnya baru 20 tahun, dan kegiatan itu terus berlangsung sampai
2013.
Setelah membaca beberapa cerpennya, tulisan Seno memang
magis meskipun disejumlah artikel tulisannya menurut saya sulit dimengerti.
Karena merasa penasaran dan ingin berguru pada Seno, saya iseng-iseng berkirim
email melalui Pana Journal, sebuah media online yang dia dirikan.
Ah, ternyata, iseng-iseng saya itu membuahkan
hasil. Meski tak sedikitpun mengajari teknik tulis menulis, Seno menyemangati
saya untuk terus menulis. Begini isi balasan emailnya: Halo Mas Irham, Salam sudah kami sampaikan ke
Mas Seno. Katanya: "Salam kembali. Yang penting dalam berlatih menulis
adalah, terus banyak baca karya bagus dan tulis terus sampai mampus."[]
0 komentar:
Post a Comment