[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
Di rubrik ini, mari kita lupakan soal kemelut pemberlakuan bus
sekolah oleh Wali Kota Malang Moch. Anton yang banyak ditentang oleh sopir
angkot. Eh, maaf maksud saya Bus Halokes. Ya, yang benar adalah Bus
Halokes sebagaimana terpampang besar-besar di bus tersebut.
Ketika ada demo, para wartawan dan fotografer yang mengajak
temannya liputan pasti mengucap liputan Bus Sekolah. Bukan Bus Halokes,
meskipun makna dari dua kalimat ini sama. Lantas kenapa Bus Halokes yang
menjadi nama dari bus tersebut sulit kita ucapkan atau kita sering lupa
bagaimana melafalkannya.
Membahas ini, saya teringat teori Jacques Derrida, filsuf abad 20
termasyhur dari Perancis. Derrida mengatakan, kalau dalam dunia ini sebenarnya
hanya terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tanda, Penanda (signifier) dan
Petanda (signified). Setiap yang petanda, pasti ada penandanya,
begitulah kira-kira Derrida membagi dunia yang ruwet ini ke dalam dua kata yang
simpel.
Singkatnya, Derrida mengatakan, kalau segala sesuatu hal pasti ada
penandanya. Ketika zaman masih tidak berlampu, lantas orang menandainya dengan
kata Gelap dalam bahasa Indonesia, dan Dark dalam
Bahasa Inggris. Kata Gelap dan Dark merupakan
penanda, sedangkan keadaan gelap adalah petanda. Adapun sistem itu disebut
dengan sistem tanda.
Begitu juga dengan Bus Sekolah. Mungkin, karena bus sekolah ini
baru ada pertama kali di Malang, pemerintah ingin ’menandainya’ dengan
kata-kata unik dan khas Malangan. Jadilah, kata sekolah dibalik menjadi kata
Halokes. Bahasa walikan khas Malangan ini pun dijadikan ’penanda’ dari petanda
berupa kendaraan pengangkut siswa yang hendak pulang atau pergi sekolah.
Lantas kenapa kita sering ’melanggar’ dari apa yang sudah
ditentukan pemerintah, lidah kita sering keceplosan dengan menyebut bus
sekolah. Padahal, pemerintah sudah menandainya dengan kalimat Bus Halokes. Atau
mungkin bahasa walikan sudah tidak lagi akrab pada masyarakat Kota Malang?
Atas pertanyaan saya tersebut, memang terlalu dangkal untuk
menyimpulkan bahasa walikan sudah tidak banyak digunakan oleh masyarakat Kota
Malang. Namun, fakta kalau lidah kita kesulitan mengungkap kata Bus Halokes
tidak bisa diabaikan begitu saja.
Saya beranggapan, bahasa walikan sebagai bahasa modifikasi yang
hanya ada di Malang, memang lebih tepat digunakan untuk dialog sehari-hari.
Bahasa walikan tidak tepat menjadi bahasa publik sebagaimana Bus Halokes yang
merupakan bahasa publik. Kita tahu, dalam teori komunikasi bahasa publik yang
baik adalah bahasa yang sederhana, bukan bahasa yang malah membuat pengucapnya
sering salah melafalkan atau membuat pening kepala karena kalimat tersebut
tidak pernah akrab di telinga.
Pertanyaan selanjutnya, benarkah bahasa walikan juga cocok untuk
dialog sehari-hari bagi masyarakat Kota Malang? Dari berbagai literatur yang
saya baca dari buku dan internet soal bahasa walikan, bahasa ini memang hanya
ada di Malang dan diucapkan untuk membuat akrab penuturnya.
Namun, rupanya tidak semua orang asli Malang akrab dengan bahasa
walikan. Atau mungkin, bahasa walikan hanya akrab di kalangan kelas menengah ke
bawah saja, sangat jarang orang kaya atau terpelajar di kota ini yang
menggunakan bahasa walikan. Mungkin ini sangat subjektif, tapi itu yang saya
rasakan selama bertahun-tahun tinggal di Malang.
Soal bahasa dan kelas sosial ini, sosiolog asal Surabaya Dede
Oetomo pada puluhan tahun lalu menghasilkan penelitian menarik. Menurut dia,
masyarakat kelas menengah atas diperkotaan cenderung berkumpul bersama dan
berpisah dari penduduk lokal. Di Malang kita bisa temui hal tersebut di
Perumahan Araya, Ijen, Griya Santa, dan lain-lain.
Dalam penelitian Dede tersebut, kebanyakan masyarakat menengah ke
atas tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam kehidupan
sehari-hari. Kalau penelitian itu benar, apa yang ditemukan Dede sama dengan
apa yang saya rasakan; para orang kaya meskipun asli Malang lebih banyak
berbahasa Indonesia dan tidak lagi menggunakan bahasa walikan.
Oleh karenanya, dengan semakin meningkatnya kelas menengah, saya
khawatir kalau bahasa walikan yang katanya ’spesial’ itu akan kian
ditinggalkan. Dan apakah bahasa walikan adalah bahasa yang gagal karena sulit
diucap dan tak cocok bagi si kaya…? Saya kira untuk menjawab itu perlu ikhtiar
yang mendalam.
*Tulisan ini pernah terbit di Radar Malang edisi Minggu
(15/2/2015)
Waduch... kalau bahasa walikan identik dg kalangan menengah kebawa. Setahu saya bahasa walikan itu trend nya Ada di anak muda saja.. entah itu yg kalangan menengah keatas atau kebawa..
ReplyDeleteNah, itu bisa dikonfirmasi ke penulisnya. Btw, sudah lama tidak nongol di internet. Trims atas kunjungannya :)
Delete