[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
Harapan kerapkali datang dari arah
tidak terduga. Kali ini saya menemukannya dari Slamet Thohari, seorang dosen di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Brawijaya. Di sebuah
siang, saya mewawancarainya untuk tulisan feature di Radar Malang.
Dari puluhan orang yang pernah saya
wawancarai untuk tulisan feature, menurut saya Slamet yang paling
menginspirasi. Ini karena Slamet masuk kategori orang biasa tapi sudah
melakukan hal-hal luar biasa.
Bahkan, karena sangat menginspirasi,
di awal-awal wawancara saya yakin kalau inspirasi dari Slamet melebihi
inspirasi dari kisah Ikal, tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi yang laris
manis itu.
Kita tahu, Ikal yang katanya diambil
dari kisah hidup Andrea Hirata sang penulis novel, menginspirasi karena dia
adalah anak kuli timah dengan gaji pas-pasan, tapi berhasil kuliah di Sorbonne,
Prancis. Selain cerita itu, dalam novel ini menurut saya hanya berisi
adegan-adegan yang kurang “nyastra”.
Sama halnya dengan Ikal, Slamet juga
berhasil kuliah di luar negeri. Bukan di Sorbonne, tapi di University of
Hawaii, Amerika Serikat. Slamet juga berasal dari keluarga tidak mampu, ayahnya
meninggal saat dia baru berumur sepuluh tahun, dan ibunya hanya penjual kue
kecil-kecilan.
Dan yang menurut saya Slamet
melebihi Ikal karena Slamet mempunyai keterbatasan lain yang tidak dimiliki
Ikal. Slamet adalah Difabel yang hanya bisa berjalan dengan kaki kanannya.
Sedangkan kaki kirinya mengecil akibat polio yang dia derita saat berumur dua
tahun. Sampai sekarang, Slamet tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat
ketiak.
Karena sejumlah hal yang memilukan
itu, saat Slamet kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Slamet harus
banting tulang mencari hidup sendiri. Dia aktif di berbagai LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), juga membantu penelitian para dosennya.
Beberapa tahun setelah lulus kuliah,
Slamet mendapatkan beasiswa S2 dari Ford Foundation untuk kuliah di Department
of Sociology Disability Fakulty University of Hawaii. Jurusan yang saya kira
cocok dengan kondisi yang dialaminya.
Saat wawancara, saya begitu antusias
mungkin karena kisahnya yang menginspirasi. Saya pun menggiring dengan
pertanyaan heroik yang cenderung dibesar-besarkan. Mula-mula, saya bertanya apa
cita-citanya sehingga dia begitu semangat menuntut ilmu, sampai ke Paman Sam
pula.
Dengan nada kalem, Slamet mengatakan
kalau tidak terbersit sedikitpun untuk kuliah di luar negeri.”Dulu saya ingin
jadi penulis,” kata dia.”Tapi kalau sekarang saya ingin uang yang banyak,”
imbuhnya lantas tertawa terbahak-bahak. Kutipan yang terakhir ini, dia larang
untuk dituliskan di koran. Mungkin, saat ditulis di Blog dia tidak akan
mempermasalahkan.
Menjawab pertanyaan yang sedemikian
singkat itu, pancingan saya rupanya kurang berhasil. Saya gagal mendapatkan
jawaban heroik sebagaimana Ikal bercita-cita kuliah sampai ke Prancis saat dia
masih kecil, meski hidup orang tuanya pas-pasan.
Saat saya mencoba memancing dengan
sebuah pertanyaan lain, lagi-lagi jawaban heroik gagal saya dapatkan. Menurut
dia, dalam hidupnya, dia tidak pernah melakukan rencana-rencana untuk melakukan
tindakan besar. ”Hidup saya mengalir saja,” katanya. ”Dia anti tesis dari
cerita Laskar Pelangi, yang penuh cita-cita dan harapan,” kata salah seorang
temannya yang menemani Slamet wawancara.
Rupanya, teman Slamet ini paham
kalau saya sedang memancing Slamet dengan pertanyaan heroik. Apalagi, beberapa
kali saya menyebut kata “Laskar Pelangi” untuk melambangkan kisah Slamet yang
seperti Ikal dalam Novel tersebut.
Tidak hanya itu, dari wawancara dan
obrolan ngalor-ngidul yang kurang lebih satu jam itu, saya semakin
berkesimpulan kalau hidup Slamet memang mengalir. Saat pertama kali masuk
Malang, Slamet tidak pernah membayangkan menjadi dosen. Dirinya ketika itu
hanya berkeinginan mendirikan LSM tentang Difabilitas. ”Kenapa tidak di Jogja,
karena di Jogja sudah banyak LSM semacam ini, dan di Malang Jarang,” kata dia.
Pada akhirnya, LSM tersebut gagal
berdiri karena teman-temannya di Malang memilih bekerja di luar kota. Slamet pun
lantas mendapat tawaran menjadi dosen, dan dia terima tawaran itu. Sampai
sekarang, melalui Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Slamet membimbing
para Mahasiswa Difabel yang kuliah di UB.
Sebenarnya, cerita soal Ikal dan
Slamet hanya bermuara tentang satu kata yakni ‘cita-cita’. Saat masih kecil,
saat ditanya tentang cita-cita, mungkin hampir semua anak-anak memunyai
cita-cita menekuni profesi “bergengsi” seperti menjadi dokter, guru, pilot,
astronot atau yang lain.
Lantas cita-cita itu berubah saat
kita beranjak dewasa, kita tidak lagi bercita-cita menjadi pilot saat kita
hanya diterima di kampus agama. Impian menjadi dokter seolah sudah tertutup
saat kita sekolah di Madrasah jurusan Bahasa. Saat kecil, saya bercita-cita
menjadi guru, ketika Madrasah Aliyah (MA) saya sempat ingin menjadi wartawan,
berubah lagi saat kuliah saya ingin menjadi pengusaha, saat menulis catatan ini
saya tidak lagi memiliki cita-cita. Mengalir sajalah…[]
0 komentar:
Post a Comment