Pagiku, apa kabar kawan?
Bagaimana negerimu, apa sudah
bangkit?
Aku dengar
negerimu sudah merdeka sejak puluhan tahun yang lalu
Saat negerimu
punya pemimpin Bung Karno
Sekarang, Aku tak percaya lagi
kawan
Cobalah kau buka jendela dan tengok
Cobalah kau buka jendela dan tengok
penjajahan
gedung-gedung asing masih mencakar di langit biru
Jual beli pulau,
masih menjadi tradisi di negerimu
Negerimu masih dijajah oleh
tambang-tambang ketamakan
Negerimu masih butuh uang dengan
menjual gadis-gadis rupawan
Negerimu masih
menjadi buruh pengedar dan lumbung narkoba
Negerimu, yang
kau sembah menyembah pada penjajah dan mafia.
Teriak keras negerimu di 17 Agustus
"Merdeka"
Hanya untuk menutupi keputusasaan
mereka
Pagiku, sudahkah kau baca surat
kabar?
Di koran tertulis, negeri tersubur dan aman adalah negerimu
Di koran tertulis, negeri tersubur dan aman adalah negerimu
Tapi kudengar,
berbagai agama memberontak atas nama negerimu
Berbagai
kepentingan sudah mengadu domba tetanggamu
Teriak kafir, menjadi nyanyian baru
para jelata dan cendekiawan
Merenggut sejahtera yang sempat
lestari di berbagai belahan
Kawan, bertindaklah, cegah mereka,
dan katakan "kita, satu tuhan"
Pagiku, kau selalu bernyanyi
"negeriku negeri yang elok"
Berbagai Suku
berbaris dalam kesatuan bahasa
Ragam budaya
mewarnai setiap pelosok bangsa
Adat istiadat
menjadi pembeda antar suku bangsa
Pagiku, kau kesiangan kawan
Suku yang kau
banggakan, telah habis terkikis oleh penebang hutan
Budayamu pun
telah hilang di keramaian bule-bule telanjang
Dan adat bangsamu
berubah wujud menjadi binatang jalang
Tapi bukan salahmu kawan, kau hanya
pagi yang lugu
Seumpama penanak
nasi kau hanya tungku
Pemimpin kitalah
yang menjadi kayu
Tapi sayang, Api nasionalisme mati
dalam kayu semangat juang mereka
Hanya asap yang keluar, mengaburkan
kekayaan mereka
Mereka enggan
berbicara angka kemiskinan
Mereka hanya
mengandalkan TKI sebagai jawaban
Mereka tak perduli bagaimana rakyat
bekerja
Mereka pura-pura tak melihat rakyat
yang sengsara
Bahkan bagi
mereka, kau sebagai tungku hanya sebuah masalah berat
"Kau,"
bentak mereka, "buat apa memikul beban rakyat?!"
Ketamakan mereka ditutupi dengan
kebijakan-kebijakan usang
Sabar, sabar dan tunggu terlalu
sering mereka dendangkan
Gila tahta, hobi
korupsi telah membutakan hati mereka
Atas
Kesabaranmu, keuletanmu, kedermawananmu dan keberaniamu yang perkasa
Kepada siapa kau akan mengadu
kawan?
Satrio piningit yang kau tunggu, telah
diadopsi
diadopsi
Berdoalah, semoga
kemerdekaan yang sesungguhnya tak sekadar opini.
Ahmad Nilam
23 Oktober, berkawan dengan pagi.
Sumber Gambar:
0 komentar:
Post a Comment