Oleh: Muhammad Zaini
Sebagai pimpinan dan
sekaligus pengasuh
pesantren, seorang kiai
sangat menentukan dan mewarnai pembentukan tipologi pondok pesantren yang tercermin dalam pola hidup keseharian
para santri dan komunitas dalam pondok pesantren tersebut. Karena itu, menurut Mujammil Qomar (Qomar, 2002: 64), karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui
profil kiainya. Apabila Kiainya ahli fikih akan mempengaruhi pondok
pesantrennya dengan kajian fikih, kiai ahli
ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pondok pesantrennya untuk mendalami ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi
idealisme fokus kajian di pondok pesantren yang diasuhnya.
Kepemimpinan seorang kiai sebagaimana yang telah digambarkan Ziemek (Ziemek, 1986: 138) adalah
kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh
untuk mengelola pesantren yang didirikannya, Kiai berperan sebagai perencana,
pelaksana dan pengevaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren.
Pada sistem yang seperti ini, Kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal.
Dengan model ini, kiai berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta
ditaati dan diyakini kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan
kepada para santri. Hal ini dipandang karena kiai memiliki ilmu yang dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk
Allah, serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam
melalui kegiatan pendidikan.
Secara sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kiai sangatlah penting, Ia memiliki kedudukan kultural dan struktural
yang tinggi di mata masyarakatnya. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem
keumatan. Peran kepemimpinan kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan
sosial yang lebih luas (Steenbrink, 1986: 109). Prinsip demikian singkron dengan
argumentasi Geertz yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang
mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social
Change) dan perantara budaya (cultural broker). Ini berarti, kiai memiliki
kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya (Wahid,
1987: 200).
Pondok pesantren kalau boleh diibaratkan
sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pondok pesantren, karena itu kiai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pondok pesantren. Imam
Bawani mengatakan bahwa maju
mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kiainya, terutama oleh
adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma kiai
serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama,
Kiai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh
sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh,
pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren (Bawani, 1997: 14).
Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan
didukung potensinya memecahkan berbagai problem kemasyarakatan, keagamaan,
kepribadian dan barangkali juga politik, menyebabkan kiai menempati posisi
kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat
dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat
setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga
memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun
terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri
dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang
kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara
moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai.
Di tengah krisis kepemimpinan, sistem
pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup,
pengembalian peran tokoh bermoral seperti kiai menjadi amat penting untuk tidak
hanya menjadi penjaga moralitas umat, tetapi juga dalam
mewujudkan pendidikan Indonesia yang mengedepankan
karakter bangsa dan budaya religius.
Kepemimpinan kiai dalam pesantren merupakan
salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai
tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan
mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan
bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau
melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh
lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut
memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang
kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk
dicapai oleh sekelompok individu.
Menurut Mastuhu, kepemimpinan kiai dalam pesantren dimaknai sebagai
seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren
tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya
tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk
berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan
(Wahid, 1987: 243). Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kiai di
atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa?
Karena kiai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai
karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan
kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak
otonom atas kerajaan yang dipimpinnya.
Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kiai
sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan
pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama
(Islam). Oleh karenanya, kiai tidak hanya dipandang sebagai
tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan
kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di
pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis
pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara
keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kiai dipandang memiliki
kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transendental karena kedekatannya
dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat
strategis tersebut, menjadikan seorang kiai tidak hanya tinggal diam di
pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas.
Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan
masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, pemerintahan dan lain sebagainya. Wallahu a’lam
Daftar Bacaan.
Bawani, Imam. 1997. Tradisionalisme
dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Qomar, Mujammil. 2002. Manajemnen
Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga..
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah,
Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman. 1987. Principle
of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in
Education and Community Development in Indonesia. Berlin: Technical
University Berlin.
Zeimek.
1986. Pesantren
dan perubahan sosial. Jakarta:
P3M.
sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment