Oleh: Muhammad Madarik
Di teras langgar desa berkumpul beberapa anak-anak kecil
seusai salat Isya berjamaah yang diimami Abah Pud, seorang kiai kampung yang
bernama lengkap Haji Mahfud Shobri, lelaki sepuh berusia hampir menginjak
80-an. Sang ustadz yang sabar mengajarkan Alquran setiap bakda salat Magrib
sampai Isya. Karena malam ini merupakan malam keramat, kegiatan sebelum salat
Isya diisi dengan salawatan diba' seperti tradisi masyarakat di
mushalla-mushalla tetangga.
Murid-murid Abah Pud itu duduk membentuk lingkaran
sebagaimana biasa. Mereka bercengkrama membicarakan berbagai hal, mulai dari
soal guru mereka yang seringkali menjewer, membentak, memukul dampar sampai
persoalan ngerasani anak gadis yang acapkali menjadi buah bibir di
antara mereka.
"Hei, malam ini Jumat kan?" Kata Mat Jupri membuka
perbincangan. Memang, Mat Jupri merupakan anak yang paling tua di antara
murid-murid Abah. Dia pandai memancing suasana berubah sesuai kehendak muatan
hikayat yang diceritakan. Ia lihai membawa kawan-kawannya ke dalam keadaan
riang menyenangkan atau takut mencekam.
"Ya, kenapa?" Timpal Edi Santoso.
"Biasanya arwah nenek kita datang. Konon katanya mereka
menjenguk ke rumahnya hanya sekadar ingin melihat keluarganya yang masih hidup,"
sambung anak yang lebih dikenal dengan sapaan Mamat itu.
"Hiii... Sudahlah, jangan ngomong-ngomong yang begituan
teman!" Sela Badrul.
"Huuu...." Serempak suara teman-temannya. Badrul
yang berbadan bongsor memang penakut.
"Dulu, ada seorang wanita tua di sebuah kampung. Dia
hidup sebatang kara. Anaknya meninggal semenjak usia balita karena terkena
penyakit parah sehingga nyawanya tak tertolong, sedangkan suaminya kecelakaan
sampai harus menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Dia menjanda hingga
menua. Menunggu rumah setelah sekian lama tidak lagi memiliki harta benda.
Satu-satunya yang menjadi haknya cuma rumah tua yang berada di pojok kampung.
Setiap hari ia mencari kayu bakar untuk kemudian dijajakan di pinggir jalan
pasar sebuah kecamatan. Namanya saja menjual seutas ranting, terkadang dibeli
kadang pula harus dipikul kembali ke rumahnya." Mamat menghela nafas
seakan ikut menanggung getir nasib perempuan papa itu.
"Terus gimana Mat?" Tanya Edi.
"Sang nenek lama tak terlihat di pinggir jalan pasar
seperti ia lakukan dalam mencari nafkah. Beberapa orang yang biasa membeli
barang jualannya itu saling bertanya. Tetapi satu sama yang lain merasa tidak
tahu-menahu soal sang nenek."
"Kemudian sebagian mereka menyepakati untuk menjenguk
sekadar ingin memaklumi kabarnya. Berangkatlah beberapa orang ke kediaman
perempuan tua itu. Sesampai di halaman rumah, mereka mulai ragu. Kira-kira
orang yang dicari ada di rumah atau keluar. Mereka semakin tanda tanya ketika
memperhatikan kondisi rumah yang terlihat tak terawat dengan dedaunan yang
berserakan dan nyata tidak pernah dibersihkan. Mereka semakin tercengang
tatkala tangga demi tangga dan teras begitu kotor. Daun pintu yang sedikit
menganga membuat syak wasangka mereka kian berkecamuk."
Belum sempat Mat Jupri melanjutkan kisahnya, tampak Abah Pud
keluar dari mushalla seraya menutup pintu setelah sejak tadi berada di mihrab.
"Hach, belum pulang anak-anak?"
"Belum!" Jawab mereka nyaris serentak.
"Terus bagaimana selanjutnya Mat?" Tanya Edi
setelah Abah Pud tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Akhirnya mereka masuk sesaat setelah saling
berpandangan. Di ruang depan tak ditemukan seseorang yang dimaksud. Hanya ada
kursi kayu jati bersulam rotan, mejanya juga terdiri dari bahan yang sama. Di samping
tataan kursi terdapat lemari bupet yang tak lagi terisi perhiasan. Kaca-kacanya
banyak yang pecah dan retak. Menuju ruang berikutnya terdapat pintu besar
dengan pintu berukir juga. Secara perlahan, mereka memasuki ruang tengah. Cukup
gelap di tempat, hanya diterangi oleh cahaya dari pintu depan. Perasaan mereka
semakin berkecamuk sebab berhembus bau kian menyengat. Bau itu seperti aroma
bangkai yang sudah lama membusuk. Perempuan di antara mereka mulai menghentikan
langkahnya. Rasa takut dan merinding menyergap sekujur tubuh beberapa wanita
itu, tetapi untunglah laki-laki di antara mereka merupakan pria-pria pemberani.
Mereka menyelediki sumber hembusan tak sedap itu. Dan...."
Mat Jupri menghela nafas panjang sebelum meneruskan
ceritanya, sementara teman-teman di sekeliling anak yang lihai bercerita itu
menunggu kelanjutan kisah yang masih menyisakan tanda tanya besar.
"Dan ... setelah salah satu mereka menyinari dengan
sorot lampu lewat HP, ternyata sesosok wanita tua itu tergeletak di lantai.
Terlihat duduk bersandar di tembok dengan kaki selonjor ke depan. Tetapi yang
membuat kaget, ternyata nenek itu sudah tidak bernyawa lagi. Mata cekungnya
membelalak, rambutnya telah bercampur uban terurai dan menjulur agak ke bahu,
kedua tangannya teruntai ke samping tubuh kurusnya. Mulutnya menganga. Entah
bagaimana peristiwa ajalnya tercabut, kepala orang tua itu mendongak. Hal yang
membuat semua yang ada di ruangan itu miris, ternyata tubuh kriput itu
dikerubungi semut merah."
"Sebagian perempuan bergegas ke ruang depan, tetapi
yang laki-laki segera mengambil tindakan merawat dan menyelesaikan jenazah
supaya secepatnya dikebumikan."
"Terus gimana Mat?" Tanya Kholis yang semenjak
awal hanya menyimak.
"Ya, seluruhnya termasuk para tetangga berdatangan
mengurus mayat itu hingga selesai. Acara ‘selamatan kematian’ dilaksanakan
dengan menggunakan biaya hasil swadaya. Selesai sudah acara itu, tetapi karena
tidak ada ahli waris lagi, maka kediaman tersebut menjadi rumah tua yang tak
berpenghuni. Oleh karena, rumah itu sampai sekarang terlihat mencekam."
Badrul, si anak penakut ini sejak tadi cuma mendengarkan Mat
Jupri sambil menopang tangannya ke daun telinga agar tidak kentara bahwa ia
sedang menyumbat kupingnya. Ia duduk merapat di antara Kadir dan Nur Hasan
untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti perasaannya. Kini jam menunjuk
ke arah 21:13 WIB, Mat Jupri beranjak menutup pintu, jendela mushalla dan
mematikan lampu-lampunya, menandakan bincang-bincang mereka telah berakhir.
Hanya tiga orang yang searah dengan Badrul, selebihnya berada di arah yang
berbeda-beda. Anak-anak itu mulai berhamburan keluar halaman mushalla,
sementara dada Badrul sesak oleh bayangan nenek yang mati mengenaskan. Walau ia
ikut melangkah mengikuti jejak teman sebayanya, tetapi kecamuk pikirannya terus
dihantui bayang-bayang sang nenek. Lebih-lebih tatkala akan masuk gang menuju
rumahnya harus sendirian, sedangkan dua sahabatnya terus saja melewati gang itu.
Badrul mulai dihinggapi bayang-bayang yang kian mencemaskan setelah mengingat
akan menelusuri gang ke arah rumahnya sendirian.
Badrul pernah tahu rumah tua itu, ia kadang lewat jalan yang
melintasi rumah dalam cerita Mat Jupri itu. Semua anak-anak tentu pernah
melihat rumah itu, sebab lokasinya hanya berada di desa tetangga dekat desa
mereka. Namun selama ini mereka hanya mendengar tempat tersebut sebagai rumah
angker belaka.
Kini, Badrul merasa gelisah saat menelusuri gang menuju
rumahnya dengan gontai. Lampu yang menerangi ruas jalan hanya terdiri dari
beberapa buah dengan jarak yang cukup berjauhan, itupun masih dihalangi
dedaunan dan dahan-dahan dari beberapa pepohonan sehingga badan jalan tak
begitu jelas terlihat. Kondisi gang yang sepi menambah tegang si anak mata
wayang ini. Ia percepat langkah-langkahnya, tetapi serasa semakin berat
diayunkan. Merasa seakan-akan diikuti seseorang di belakang tubuhnya,
menjadikan bulu kuduknya berdiri.
Memasuki jalan gang memang agak sepi. Kiri-kanan hanya
ditumbuhi pohon-pohon, dan beberapa lahan kosong masih berupa pekarangan yang
cuma berisi tanaman singkong, pepaya, pisang atau berbagai tumbuhan sayur.
Badrul mulai lega saat rumah pertama sudah tampak di mata.
"Heeech..." Badrul menghela nafas panjang.
Belum sampai di depan rumah itu, Badrul merasa kecewa sebab
tak seorangpun terlihat. Pintu tertutup, dan hanya lampu luar yang membantu
menyinari jalan. Entah kenapa, badrul tak memiliki keberanian menolehkan
kepalanya ke arah rumah itu. Kian dekat, detak jantung yang dirasakan Badrul semakin
kencang. Apakah ini nyata? Ia benar-benar melihat seseorang sedang duduk di teras
rumah itu. Rambut sebahu, berbaju kurung dengan warna putih yang mulai lusuh.
Angin malam yang berhembus, di tambah bunyi jangkrik
menyempurnakan pemandangan malam ini. Malam ini memang malam Jumat, malam yang
dikeramatkan orang-orang kampung. Begitu senyap terasa gang ini.
Semakin dekat, kian jelas rupa orang itu. Apa yang terurai dalam
cerita Mat Jupri tentang detail nenek itu sungguh nyata. Mulutnya menganga,
bercak sisa darah menempel di bagian bibirnya, bulatan matanya tampak tenggelam
dalam kelopak yang mencekung. Wajahnya putih memudar, jelas-jelas pucat tanpa
darah mengalir. Di antara kisaran mata menghitam semakin kelabu hingga pusat
mata. Tubuhnya terlihat membungkuk, mengesankan ia sangat renta. Tangan pucat
yang kian memperlihatkan kerut-kerut telapak tangannya memegang kedua lututnya.
Tetapi tangan yang tampak menua, masih ditumbuhi kuku yang runcing.
Orang itu duduk tanpa suara. Badrul semakin tenggelam dalam
ketakutan. Kedua kakinya ia buat melangkah lebih cepat, tetapi nenek berjubah
itu seakan mengejar. Ia semakin dekat, sepertinya tangannya akan menjamah
bahunya.
"Huuuuuch..." Dengus Badrul begitu lega ia mula
memasuki pagar besi rumahnya. Rasa takut ini hilang, ketika jasad perempuan tua
itu terlihat berdiri di dekat ujung pagar rumahnya. Segera ia membuka pintu dan
masuk. Entah apa yang terjadi dengan tidurnya nanti.
"Heeech..." Kembali Badrul mendengus di ranjang.[]
Sumber Gambar:
oleh Yan Arief Purwanto
0 komentar:
Post a Comment