Oleh: Muhammad Ilyas
Beberapa hari yang lalu saya disibukkan dengan hal yang sangat
membosankan. Bagaimana tidak saya dipaksa untuk membuat seabrek administrasi
guru, setiap hari saya bergelut dengan bagaimana membuat RPP (Rencana Proses Pembelajaran)
yang bagus, membuat silabus,
mempersiapkan Promes (Program Semester), Prota (Program Tahunan), agenda
harian guru selama setahun, jadual harian, jadual libur nasional, membuat
soal-soal yang sudah terstandar sekaligus dengan kisi-kisinya, membuat ranah
kognisinya bloom yang terdiri dari C1, C2, C3, C4, C5, serta C6 dan
banyak lagi administrasi yang harus diselesaikan. Maklum sekolah yang saya
tempati sedang bersiap-siap untuk akreditasi. Mungkin sekolah ini tetap ingin
mempertahankan gengsinya sebagai sekolah terfavorit di lingkungan Kota Gudeg. Maklumlah,
di era ini sekolah yang bagus adalah sekolah yang terakreditasi A, sekolah yang
mempunyai gedung yang megah, dan tentunya mempunyai kelengkapan administrasi
jika tidak memenuhi kriteria di atas, maka sekolah tersebut tidak akan laku.
Begitulah pendidikan, semua serba terstandar. Ah, lupakan
saja masalah pendidikan. Pendidikan
memang menjadi masalah klise yang jalan di tempat. Toh sekolah yang
bagus dinilai berdasarkan dokumen yang mereka punya. Persoalan sudah selesai
ketika kita menerapkan apa yang telah menjadi titah. Sabda pandita mentri….
Lah. membahas pendidikan merupakan hal tak begitu penting lagi. Masih
lebih penting masalah politik, penguasa, artis, karena banyak yang beranggapan
jalan itu yang bisa membawa kepada jalan perubahan lebih baik. Pendidikan
hanyalah sebagai beban negara yang harus diciutkan. Bagaimana tidak, UU telah
mengamanatkan minimal anggaran untuk pendidikan sebesar 20%. Wah, ini jelas membuang-buang
biaya saja. Belum tentu semua akan selesai hanya dengan cara memperbaiki pendidikan.
Hal ini terbukti yang digadang-gadang menerapkan sistem pendidikan terbaik
adalah negara-negara Skandinavia. Pendidikan di sana sudah diakui seluruh dunia
bahwa menerapkan sistem yang sangat inovatif, memanusiakan dan seabrek pujian. Yah
mungkin tak bakalan habis pujian yang diberikan sampai tujuh turunan.
Sulit memang untuk didefinisikan. Sang legenda terkenal, mas
Aristoles, mendifinisikan pedagogi itu sebagai ngemong. Lah itu kan
dulu. Masak kita melihat masa lalu. Kan kalau zamannnya mas Aris beda dengan
sekarang. Dulu enggak ada Google, enggak ada Youtobe, enggak ada acara Inbox, Dahsyat,
dan seabreg acara televisi yang layak. Sekarang anak sekolah belajar enggak
melulu di bangku sekolah, mendengarkan guru, lalu pulang. Sekarang zamannya
adalah belajar di luar ruangan, belajar berinteraksi dengan masyarakat luas,
agar tahu kehidupan masyarakat itu seperti apa. Nah, alasan inilah yang membuat
sekolah di Trenggalek diliburkan hanya untuk memobilisasi acara Inbox. Keren
sekali! Yang diajarkan oleh sekolah di Skandinavia adalah belajar dengan
masyarakat. Berhubungan langsung dengan masyarakat. Memobilisasi terhadap acara
tersebut merupakan metode pembelajaran terbaru, yang disebut dengan jreng-jreng
model education. Tentulah ini nantinya menjadi modal untuk menyumbangkan
teori yang sejajar dengan konsep teori Barat seperti, Licona, John Dewey,
(bukan John Rame-rame), Bloom, AS Neil, atau selevel Poulo Freire.
Pembelajaran dengan musik di acara Inbox, menurut penelitian dari
Arumi Harum (bukan Bachin, soalnya kalau bachin bahasa Jawanya “bau”),
menunjukan meningkatkan kecerdasan yang sangat luar biasa, bahkan bisa
mengalahkan kecerdasan Einsten. Tak terbayang bagaimana orang Trenggalek cerdas
semua karena inovasi dari pemangku kebijakan. Yah, lagi-lagi politik. Maaf,
saudara, bukan bermaksud untuk mempolitisasi atau untuk menggiring hal tersebut
ke ranah politis (baca: kepentingan penguasa), melainkan kita fokus ke ranah
yang lebih rendah lagi, yaitu memperbaiki moral generasi muda.
Tapi sulit sekali jika yang kita bahas di sini hanya spaneng
terhadap masalah pendidikan. Mbok yo dibumbui dengan humor politik, biar
agak sedap sedikit. Yah, maklumlah isu yang paling disukai itu ketika
bersinggungan dengan hal-hal politis. Yah, walaupun Mas Pram pernah bersabda
dalam kitabnya kalau seseorang tidak akan lepas dari politik, bahkan berdua dengan orang lain itu
merupakan politik (berdua?). Yah, mungkin politik bagaikan dewa. Dewa agung
yang bisa mengubah apapun dengan abracadabra. Yah, pendidikan sebagai
tumbal dan digunakan oleh para politisi busuk demi apalah-apalah.
Saya fokuskan lagi terhadap masalah Inbox yang sudah menyumbangkan
para intelektual yang nantinya akan berkiprah di dunia international. Akademi Inbox,
mungkin itulah yang terbesit dalam benak artis papan lapuk (maksudku papan
atas). Artis-artis tersebut menjadi daya pikat tersendiri, menjadi figuran, dan
menjadi panutan generasi sekarang. Banyak generasi yang tersugesti oleh
kehebatan artis. Bagaimana bisa generasi muda tidak terkesima oleh artis papan
Jakarta, lhawong duta Pancasila yang menjadi dasar negara kita saja dari
artis. Menurut sang duta, lambang Indonesia adalah bebek nungging. Yah itulah
realitas. Itu tak lain adalah—mengutip salah satu tulisan di Amanah RU—humor ala
begundal yang tak tahu tata krama. Iyalah, masa lambang negara digituin.
Lhawong Bung Hatta saja pernah bersumpah, beliau tidak akan menikah
sebelum Indonesia Merdeka. Ngeri sedap! Beliau tidak main-main dengan nasib
bangsanya. Tapi walaupun begitu, para pendiri bangsa tidak pernah menjadi duta
Pancasila. Hal itu hanya menjadi penghargaan yang besar terhadap artis Inbox.
Jadi sangat wajarlah jika sekolah diliburkan hanya demi mobilisasi acara
tersebut.
Acara ini juga sebagai solusi kebangsaan yang kian hari kian tak
tentu. Yah, daripada mendengarkan dagelannya Senayan, lebih baik mendengarkan dagelan
acara Inbox dan Dahsyat. Toh mereka jujur menjelaskan keadaan bangsanya, mereka
jujur kalau keadaan bangsa ini sangat kritis, selera humor orang kan berbeda. Siapa
yang berhak untuk menghakimi selera orang? Anggaplah ikhtilaf. Mungkin samalah
dengan aliran Realisme Magisnya masa
kini. Atau acara tersebut disebut sebagai Magisme Realis? Wah, tak tahulah itu.
Pokoknya yang terpenting pahlawan untuk selalu dikenang itu adalah artis Inbox
dan Dahsyat.
Mobilisasi siswa untuk mengikuti acara Inbox bukanlah salah. Hal
ini dikarenakan para siswa merasa begitu dekat dengan artis-artis bintang Inbox
tersebut. Mereka lebih merasa nyaman dan merasa cita-citanya tercapai jika
bertemu dengan idolanya. Mereka tak kenal siapa Pak Syahrir, Pak Tan, Pak
Cokro, Pak Karno, Pak Hatta. Mereka merasa asing dengan nama-nama tersebut,
mereka lebih peduli terhadap apa yang dipakai artis Inbox. Sedang apa, makan
apa, dan hal-hal yang sangat penting untuk keperluan artis Inbox. Menurut saya itu
wajar, karena duta Pancasila ada di serentetan artis Inbox tersebut.
Kita berharaplah kepada acara Inbox ini agar bisa mengubah dunia,
mengubah aspek ekonomi yang sangat membebani rakyat. Dan rakyat pun senang
dengan apa yang mereka perbuat. Yah, mungkin ini adalah titik jenuh masyarakat
kita terhadap dagelan yang dibuat oleh para badut-badut senayan, atau
badut-badut di tempat lain. Jadi sangat maklum dan sangat lumrah jika
memperbaiki pendidikan, memperbaiki bangsa dengan karakter Inbox dan Dahsyat.[]
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment