Oleh: Muhammad Madarik
Sebagaimana
sudah dimaklumi banyak pihak, desa Ganjaran merupakan lumbung ilmu pengetahuan.
Selain lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan formal, di desa Ganjaran
terdapat berbagai pesantren.
Ada
perbincangan seorang kawan yang mengutarakan sebuah wacana relevan tentang
kemungkinan di desa Ganjaran dilahirkan Ma'had Aly untuk para santri dari
beberapa pesantren di desa yang pernah disebut "mercusuar ilmu" oleh
alm. KH. Qosim Bukhori itu. Saat itu, penulis menjawab dengan nada sekenanya: "Bagus
itu." Kawan tersebut manggut-manggut disertai ekspresi datar. Penulis
tidak begitu paham apa makna di balik raut wajah kawan itu, menanggapi respon
penulis yang juga tanpa arti.
Tetapi
memperbincangkan wacana tersebut lebih serius agaknya cukup signifikan untuk
waktu-waktu ke depan mengingat desa
Ganjaran, setidaknya dalam analisa sementara penulis, telah memenuhi syarat
menjadi wadah jenjang pendidikan tinggi kalangan pesantren itu. Keterpenuhan
syarat desa Ganjaran dilihat dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul di
tempat itu. Tentu saja, tulisan sederhana ini hanya telaah awal yang dapat
dipastikan tidak berkecukupan memutar kunci pintu penyelenggaraan "proyek
besar" yang terlontar dari sekadar perbincangan antar sahabat, selanjutnya
terserah "takdir."
POTENSI
KUANTITAS
Ma’had Aly
pada dasarnya adalah lembaga pendidikan tinggi yang sepenuhnya dirancang dan
dikelola oleh masyarakat. Basis Ma’had Aly tidak lain adalah
pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dengan
perguruan tinggi pada umumnya, Ma’had Aly selama ini dibiarkan dan diberi
kesempatan berkembang atas dasar kemauan dan kesanggupan para pengelolanya. Di
satu sisi, hal ini menunjukan fleksibilitas pesantren yang luar biasa dalam
memenuhi kebutuhannya sendiri untuk mencetak generasi berilmu dan berkualitas.
Sedangkan
jumlah lembaga pendidikan pesantren di desa Ganjaran, sebagaimana diketahui
banyak pihak, terdapat 18 pesantren dengan bentuk besar dan kecil. Berangkat
dari sekian banyak pesantren di satu desa ini, tempat yang rata-rata
penduduknya berpenghasilan tebu ini dinobatkan sebagai "desa santri"
(22 Oktober 2016).
Melihat
sekian jumlah pesantren di desa ini telah mencapai batas kemungkinan untuk
rencana munculnya Ma’had Aly, kalau rata-rata grafik santri di masing-masing
pesantren dipatok 50, lalu lulusan dari pesantren-pesantren itu kisaran
jumlah10 orang X 18 pesantren, maka 180 tamatan pertahun. Jika di klaim 50%
dari lulusan itu, maka angkatan pertama rencana Ma’had Aly berjumlah 90 santri. Sebuah jumlah peserta
didik dengan kondisi dua kelas pada ukuran pendidikan ideal.
Persoalan
tingkat animo para santri terhadap Ma’had Aly tidak menjadi halangan berat,
sebab hingga saat ini ketaatan mereka pada kiainya masih menjadi simbol
tatakrama yang belum sirna. Oleh karena itu, pada kemungkinan terjelek
sekalipun kiai pesantren seringkali menggunakan gaya kepemimpinan otoriternya
untuk mengarahkan para santri dalam menentukan keputusan mereka. Sedangkan pada
sisi wacana ini, pengaruh kiai terhadap santrinya merupakan salah satu modal
kekuatan yang dapat dibuat pilar penyangga penyelenggaraan.
POTENSI
KEILMUAN
Model
pesantren di desa Ganjaran yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran
salaf dengan kitab-kitab klasik sebagai rujukan utamanya merupakan secercah
sinar yang bisa memberikan harapan untuk melempangkan proses wacana ini. Bentuk
pendidikan demikian ini memang memiliki korelasi dengan arah pendidikan Ma’had
Aly, terutama pada aspek konsentrasi pendidikan yang lebih menekankan
pendalaman disiplin ilmu yang bersumber dari referensi kitab kuning.
Kajian-kajian
kitab kuning tidak saja diselenggarakan di pesantren-pesantren lewat metode
sorogan dan bandongan, tetapi juga disajikan di sekolah-sekolah formal sebagai
salah satu materi pelajaran. Sejak awal dalam sejarah lembaga pendidikan formal
di Ganjaran, kitab kuning telah menjadi muatan lokal (mulok) yang merupakan
bagian dari anasir sebaran kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan muatan lokal
ini, beberapa kalangan masyarakat mengklaim bahwa keunggulan madrasah di desa
Ganjaran terletak pada ketersajian kitab kuning dalam struktur kurikulum
pendidikannya dibandingkan sekolah-sekolah lain di luar desa Ganjaran. Bahkan
sebagian besar alumni dan wali siswa menjadikan pelajaran kitab kuning sebagai
faktor kuat ketertarikan mereka terhadap sekolah formal desa Ganjaran.
Kajian kitab
kuning di lingkungan pesantren lebih meluas lagi ketimbang di sekolah formal.
Pembelajaran kitab kuning tidak saja dilakukan lewat pengajian para pengasuh
atau para ustadz, tetapi lebih jauh dari itu didalami melalui musyawarah kitab
kuning antar kelas di masing-masing pesantren, antar pesantren dan bahsul
masail. Kegiatan musyawarah kitab kuning sudah menjadi pemandangan setiap malam
di masing-masing pesantren desa ini. Sebetulnya kegiatan musyawarah kitab antar
pesantren sudah pernah digalang kira-kira tahun 2005-an oleh sebuah komunitas
musyawarah yang dibidani oleh Gus Nasihuddin Khozin dkk. setiap malam Ahad.
Gaung musyawarah ini bergema hingga beberapa pesantren di luar desa Ganjaran
berminat mengirimkan delegasinya pada rutinitas yang bertempat berpindah-pindah
secara bergantian itu. Sejalan dengan waktu, kegiatan itu menyusut dan lenyap
entah kemana hingga pada akhirnya muncullah Ittihad musyawarah antar ma'had
(IMAM) yang digagas oleh Gus Abdurrahim Said. Program dalam IMAM sampai saat
ini terus bertahan hingga memiliki anggota tidak kurang dari jumlah peserta
kegiatan musyawarah sebelumnya.
Walaupun
pada segi musyawarah antar pesantren mengalami pasang surut, tetapi secara umum
desa Ganjaran merupakan basis kajian kitab kuning yang mampu memobilisir
segenap pesantren bahkan di luar desa ini.
POTENSI
INDIVIDU
Semenjak
awal desa Ganjaran telah dihuni oleh orang-orang berkualitas, terlepas mereka
pernah berjibaku dengan kerasnya kemungkaran yang melingkupi kehidupan
masyarakat kala itu. Sebut saja di fase pertama terdapat Mbah Abdurrosyid,
seorang kaya raya yang bertipe pecinta ulama, dermawan dan santun kepada
siapapun, termasuk juga pada kaum buruh di bawah kekuasaannya. Dari tokoh ini
kemudian muncullah KH Zainuddin, sosok alim asal Madura yang dijadikan menantu,
kelak keturunan Mbah Abdurrosyid melalui kiai Zainuddin bertebaran menjelma
menjadi orang-orang berpendidikan. Hampir seluruh pemegang pesantren di desa
Ganjaran, PP Annur Bululawang, dan PP Babussalam desa Banjarejo memiliki
tetesan darah dari Mbah Abdurrosyid. Fase kedua lahir KH Zainal Alim yang
dikenal pula dengan kiai Tombu dan KH Bukhori Ismail yang berjuluk kiai Masjid.
Fase berikutnya muncul KH Yahya Syabrawi, KH Qoffal Syabrawi, KH As'ad, KH
Zainullah Bukhori dan masih banyak lagi di zaman ini. Di fase sekarang ini,
tunas-tunas muda kalangan pesantren mulai bertebaran. Hampir semua gus-gus
sudah mengambil peran di lingkungan masing-masing pesantren di desa Ganjaran
dengan segala potensi yang dimiliki setiap diri mereka. Latar belakang dan
kualifikasi pendidikan masing-masing mereka menambah corak regenerasi kaum
pesantren kian bervariasi.
Sebagian
mereka ada yang ahli di bidang manajemen pendidikan, terdapat pula yang
menguasai kajian kitab kuning, lihai di dalam rumusan konsep, cerdik dalam hal
penelitian, dan ada pula yang begitu tak tertandingi pada aspek hubungan dan
jaringan masyarakat.
POTENSI
PELUANG DAN FASILITAS
Legalitas
Ma'had Aly dalam sistem pendidikan nasional telah termaktub dalam Peraturan
Menteri Agama Nomor 71/2015 tentang Penyelenggaraan Ma'had Aly. Pada dasarnya
Ma'had Aly adalah satuan pendidikan yang didirikan dan dikembangkan dari dan
oleh masyarakat pesantren dan berada di dalam dunia pesantren. Tetapi meski
lahir dari rahim pesantren dan seterusnya dikelola oleh kaum pesantren,
eksistensi Ma'had Aly sebagai wadah mencerdaskan anak negeri bukan hanya
semata-mata diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat pesantren saja, melainkan
juga untuk kebutuhan seluruh lapisan bangsa Indonesia.
Sebenarnya
peluang mendirikan Ma'had Aly dari sudut birokratis cukup menganga lebar.
Apalagi dari beberapa sisi, desa Ganjaran cukup prospektif untuk dibuat jaminan
terselenggaranya pendidikan Ma'had Aly. Selain potensi SDM, banyak pesantren
yang siap dirancang sebagai lokasi penyelenggaraan pendidikan Ma'had Aly
tersedia untuk ditempati. Selama ini terdapat beberapa asrama pesantren
yang kurang berfungsi maksimal akibat
penurunan grafik santri secara drastis setelah ditinggal mangkat pendirinya.
Pesantren demikian ini cukup memadai untuk dibidik sebagai pusat pelaksanaan
Ma'had Aly.
Bangunan
kerjasama yang kokoh antara pihak pesantren dan pemerintahan desa merupakan
peluang yang harus dipertimbangkan. Kalangan pesantren sebagai pengelola
berperan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam setiap tahapan proses
pendirian Ma'had Aly, mulai dari konsep awal, analisis kelayakan, identifikasi
tenaga, berkas pengajuan sampai pada semua syarat-syarat lain. Sedangkan aparat
desa dalam konteks ini diposisikan sebagai unsur penting pada aspek
kewenangan-kewenangan birokratis dan mobilisasi massal. Apabila dua pihak ini
dapat bersinergi dengan intens, maka sebetulnya bukan saja wacana Ma'had Aly
saja yang bisa diwujudkan tetapi proyek-proyek besar lainnya juga dapat
diciptakan.
Oleh
karenanya, pada aspek proses pendirian perguruan tinggi berbasis pesantren itu
tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
UNTUK
SANTRI DI DESA SANTRI
Desa
Ganjaran yang telah didaulat sebagai desa santri layak memiliki lembaga
pendidikan bagi peningkatan keilmuan kalangan santri di luar lembaga tinggi
yang mengajarkan disiplin ilmu-ilmu yang bukan berbasis kitab kuning. Sebab,
khas desa ini dengan sekian jumlah pesantrennya dipastikan menyimpan banyak
para santri yang mempunyai kompetensi kitab kuning tingkat tinggi. Hal ini bisa
dibaca dari kepiawaian mereka membaca teks Arab dengan menggunakan pendekatan
gramatikalnya, kemampuan menalar makna di balik teks berdasarkan balaghahnya,
dan tingkat kecerdasan mereka menginterpretasikan konten kitab kuning melalui
perangkat ushul fiqhnya. Bukan saja perdebatan mengenai tata cara baca teks
yang sudah dikerjakan para santri di pesantren-pesantren desa Ganjaran, tetapi
lebih jauh dari itu diskusi yang bergulir dalam berbagai kegiatan musyawarah
dan bahsul masail telah masuk taraf identifikasi persoalan kemasyarakatan (masail
waqi'iyah) dan pengambilan keputusan hukumnya (istimbatul ahkam).
Berbagai
kelebihan kaum santri di desa Ganjaran ini merupakan bagian dari corak desa
santri yang perlu diunggulkan. Oleh karena itulah, munculnya wacana pendirian
Ma'had Aly di desa santri ini perlu mendapat respon dari semua pihak. Keterlibatan
segenap kalangan, mulai dari para tokoh sepuh, kaum muda pesantren, jajaran
pemerintahan desa, dan masyarakat, atas dasar kebersamaan wajib terwujud
sebagai prasyarat untuk membuat nyata wacana tersebut. Jika prasyarat ini dapat
diejawantahkan dalam bentuk komitmen bersama, maka problematika selanjutnya
akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Contoh kecil misalnya, jika program
ini di bawah kendali satu pesantren, maka dikhawatirkan pesantren lain merasa
enggan untuk melibatkan diri dalam setiap tahapan prosesnya. Namun apabila
wacana program ini diusung dengan mengatasnamakan "desa santri," maka
secara otomatis sekat-sekat itu akan dimusnahkan oleh rasa kepemilikan bersama.
Sebab itulah, jargon yang butuh ditabuh adalah "Untuk Santri di Desa
Santri," dengan harapan sekat fanatisme masing-masing pesantren bisa
terkelupas oleh semangat kolektifitas memajukan desa santri.
Wallahu
a'lam bi al-Shawab.[]
Sumber gambar: caffeinehit
0 komentar:
Post a Comment