MUSA DAN
KHIDIR
Em Yasin
Arief
*Untuk
memperingati haul ke-13 KH. Dimyathi Bukhori
I
Seketika
melesat sosok bayangmu ada
Berkilauan
dalam lubuk ingatan
Memecah
sunyi sepertiga malam
Barangkali
kau sedang duduk di sampingku
Rebahkan
punggung
Sembari
menaruh tangan di pundakku
Kita memang
lama tak duduk bersama
Bertukar
pikiran membincang makna
Sejak kau
pamit berangkat ke tepian sorga
Meninggalkan
pusaka jejak langkah
Mewariskan
selaksa tanda tanya
Belasan
tahun
Kau tak
pernah enyah dari ingatanku
Meski kau
terlalu cepat berangkat
Ketika
diriku masih naif dan belia
II
Masih
ingatkah kala itu?
Kau adalah
Khidir dan aku Musa
Tatkala kita
menyusuri jalan-jalan bebatuan
Isi kepalaku
padat rasa heran
Seraya
mengekori runut langkah kakimu
Dari belakangmu
aku menikam tanya:
"Mengapa
kau rajin mengunjungi gubuk orang-orang miskin?"
Dalam kikuk
bimbangmu
Kau lontar
beberapa patah jawab:
"Mereka
yang tak banyak harta
Tak punya
sifat angkuh di dadanya
Alangkah
berungtung manusia
Yang hatinya
tak terjangkit penyakit jumawa
Bukankah
ternyata mereka tuan-tuan kita
Bila yang
kita emis hati yang kaya raya?"
Aku masih
terlampau ingin bertanya:
"Mengapa
kau berteman dengan orang yang meninggalkan shalat dan berbuat maksiat?"
Dalam bingung
ragumu
Kau
menyambiti pertanyaan keduaku:
"Kegelapan
tidak bisa menerangi kegelapan
Hanya cahaya
yang bisa menerangi
Mengutuk
kegelapan, kegelapan itu sendiri
Yang aku tahu
Sebaik-baik
manusia
Adalah yang
saling menyinari sesama
Saling
mengarak cahaya menuju samudera cahaya Sang Maha Cahaya
Cukup Tuhan
yang maha benar dan bijaksana
Dialah hakim
atas segala tindakan manusia
Bukan
manusia."
Laksana Musa
yang ceriwis
Sekali lagi
kurajami dirimu dengan kata-kata tanya:
"Kau
ini Ulama, kan?
Mengapa kau
enggan bila orang menaruh takzim kepadamu?
Kau tak mau
orang menciumi tanganmu
Kau tak
senang bila ada yang membungkuk-bungkuk di depanmu
Mengapa kau
tak ingin dirajakan?
Bukankah itu
hakmu?
Bukankan di sana
orang berlomba-lomba menginginkan derajat itu?"
Dalam
kelimpungan buncahmu
Kau
mendindingi raut wajah yang gelagapan dengan tawa yang canggung
"Ha Ha
Ha
Kau ini
pandai sekali berkelakar
Aku, Ulama
katamu?
Yang benar
saja!
Gelar itu
hanya untuk para pewaris Nabi
Tentu Nabi
tak mewariskan apa-apa
Melainkan
Iman dan keteladanan sifatnya
Aku mengaku
umat Nabi saja belum merasa pantas
Apalagi
menganggap diriku Ulama."
Mulutku
bungkam
Dalam hatiku
bergumam
"Bukankah
orang baik memang yang tak pernah merasa dirinya baik?
Justru yang
membusungkan dada
Seraya berkata
"aku ini orang paling baik"
Sejatinya
dia bukan orang baik."
III
Tak bisakah
sekali saja
Kita
mengulang hari itu?
Akan kuminum
bening mata air sufimu
Akan kuarungi
luasnya laut rendah hatimu
Akan kujelajahi
belantara hutan keikhlasanmu
Bila memang
tak bisa
Akan kusimpan
baik-baik warisan jejak langkahmu
- Malang 08
Oktober 2016
0 komentar:
Post a Comment