Oleh: Irham Thoriq
Sekitar tiga tahun lalu, dalam sebuah perjalanan ke Papua
Barat, seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM) ngerasani Anies Baswedan.
Dia beranggapan kalau program Indonesia Mengajar hanya dijadikan ajang
pecitraan Anies.
Dia lalu menggerutu kalau program yang dia ikut urus yakni
Program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) kalah
pamor dengan Indonesia mengajar. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendibud) sudah mengucurkan ratusan miliar untuk mengirim sarjana ke tapal
batas untuk program SM3T.
Tapi tetap saja, yang lebih dikenal Indonesia Mengajar-nya
Anies Baswedan. Sedangkan SM3T tidak banyak orang yang tahu. Saya yang ketika
itu liputan, baru tahu program SM3T ketika dosen ini menjelaskan di perjalanan.
Lalu, percakapan tentang Anies Baswedan hilang begitu saja. Setelah itu kita
fokus pada medan curam, jalan bergerojal dan hutan yang lebat untuk sampai ke
Papua Barat, tempat peserta SM3T mengajar.
Anies Baswedan beberapa tahun belakangan memang menjadi
akademisi yang amat terkenal. Mula-mula dia menjadi rektor termuda pada usia 38
tahun di Universitas Paramadina. Kampus yang tidak lebih besar dari Universitas
Islam Malang (Unisma) ini terkenal saya kira selain pengaruh Nurcholish Madjid
sebagai pendiri, juga karena Anies.
Lalu dia mendirikan Indonesia Mengajar. Sebuah program mulia
yang disokong banyak perusahaan besar. Nama Anies kian melambung hingga dia
menjadi peserta konvensi calon Presiden Partai Demokrat. Saya kira, dia
satu-satunya peserta konvensi dari unsur dosen. Kau tahu, amat sulit dosen yang
jumlahnya ratusan ribu se-Indonesia untuk bisa eksis di dunia perpolitikan,
bukan? Selain jarang dosen yang terkenal, butuh beratus-ratus tahun dosen
mengumpulkan uang dari gaji mereka untuk bisa ‘membeli’ kendaraan politik. Tapi
Anies mendobrak ketidakmungkinan itu meski akhirnya dia gagal di konvensi.
Setelah beberapa bulan lalu Anies diberhentikan dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lantas orang bertanya-tanya. Kemanakah
karir orang yang sedari muda karier-nya menjulang ini. Dari media, saya baca
Anies masih belum kembali ke kampus untuk menjadi dosen.
Saya kira masa ketika Anies diberhentikan dari menteri
adalah masa yang sulit baginya. Nama Anies sudah terlanjur terkenal,
cita-citanya sudah terlanjur tinggi, dan sejak muda kariernya bagus. Maka
ketika hanya kembali ke kampus menjadi dosen mungkin banyak orang yang akan
bertanya-tanya. Anies sendiri saya kira juga akan heran terhadap dirinya
sendiri, kok bisa kariernya seperti roller coaster: habis menukik lalu
menghujam kebawah.
Ditengah kegalauan inilah, Anies lantas menerima tawaran
menjadi calon Gubenur DKI Jakarta. Anies menolak menjadi Wakil Gubenur
mendampingi Sandiaga Uno. Saya menebak alasannya sama kenapa dia menolak
menjadi wakil, yakni karena namanya sudah terlanjur terkenal dan cita-cita
sudah amat tinggi.
Pada Pilkada DKI inilah setidaknya kita bisa bercermin kalau
politik ternyata menjadi muara dari aneka macam profesi. Anies yang berangkat
dari akademisi, pada muaranya menjadi politisi. Dia sempat menjadi bakal calon
presiden, dan menjadi calon gubenur.
Karena memilih jalan politik, maka Anies harus berdamai
dengan rival-rival politiknya di Pilpres 2014. Kita tahu, pada Pilpres lalu
Anies menjadi juru bicara Jokowi dan Jusuf Kalla, dan kini Anies bergabung
dengan Prabowo yang waktu itu menjadi lawan Jokowi.
Lalu, Agus Harimurti Yudhoyono yang diprediksi mempunyai
karir militer bagus, juga bermuara pada politik. Dan juga wakil Agus, Sylviana
Murni yang birokrat dan juga profesor, petualangan hidupnya juga berakhir di
politik. Karena semuanya berakhir di politik, entah ini patut kita syukuri atau
tidak, atau ini menunjukan kalau orang semakin tak percaya dengan politikus
didikan partai politik.
Pada pilkada ini kita semakin yakin kalau politik boleh
tidak masuk akal. Sebenarnya bergabungnya Ahok yang dielu-elukan sebagai
Gubenur bersih, agak sedikit tidak masuk akal berkoalisi dengan partai yang
dipimpin ‘papa minta saham’. Sebelumya, Ahok mundur dari Gerindra karena partai
ini mendukung pilkada tidak langsung. Dan celakanya, seperti masuk ke dalam
jurang, Ahok masuk ke jurang yang lebih busuk. Karena mendukung pilkada tidak
langsung lebih mulia dibanding meminta saham ke perusahaan asing.
Tapi itulah politik, boleh tidak masuk akal. Anies bergabung
dengan Prabowo juga tidak masuk akal. Anies yang ikut Pilkada setelah
sebelumnya nyalon presiden juga sedikit tidak masuk akal. Yang masuk akal saya
kira cuman satu, yakni PKS tidak berkoalisi dengan Ahok.
Lalu, bagaimana kalau kita menjadi Anies Baswedan? apakah
tawaran menjadi calon gubenur akan diterima? atau tetap konsisten menjadi
akademisi?
Saya kira kalau semua diantara kita diberi kepercayaan
menjadi Anies Baswedan, kita akan sulit. Tawaran dari partai politik terlalu
menggiurkan karena menjadi Gubenur DKI sebagaimana kata Ahok, jabatannya setara
dengan menteri. Bedanya, Gubenur tidak bisa di reshuffle, sedangkan menteri
bisa.
Sedangkan menjadi akademisi sudah tidak lagi menggiurkan.
Gajinya sedikit, jangkauannya terlampau kecil. Hanya satu kelas, atau satu
kampus. Padahal, sebagaimana ungkapan Anies di mana-mana, kita harus Melunasi
Janji Kemerdekaan.
Karena kemerdekaan itu membentang dari Sabang sampai
Meraoke, maka sulit melunasinya jika hanya berkutat di kampus. Mau tidak mau
Anies harus jadi Presiden, sebagaimana Jokowi, peluang menjadi Presiden itu
terbuka ketika jadi Gubenur DKI Jakarta.
Karena jadi Presiden harus melalui partai politik, maka
Anies harus bergabung dengan partai politik, menjadi ketua umum parpol, atau
mendirikan partai politik. Dan untuk menggapai itu semua, tentu kita harus
‘berdamai’ dengan kekuatan-kekuatan jahat yang ada di partai politik.
Lantas kenapa sulit sekali menjadi Anies Baswedan. Anda atau
mungkin saya akan sulit jika diamanahi menjadi Anies Baswedan. Saya
pikir-pikir, masalah dari sulitnya menjadi Anies itu hanya dua yakni karena dia
terlanjur terkenal dan cita-citanya juga terlanjur tinggi.[]
Kredit foto: U.S. Islamic World Forum
0 komentar:
Post a Comment