Oleh: Muhammad Madarik
Iftitah
Momentum Musma (Musyawarah Mahasiswa) BEM (Badan Ekskutif
Mahasiswa) IAI Al-Qolam Gondanglegi tahun 2016 ini saya manfaatkan untuk
menumbuhkan dan menghidupkan satu lembaga baru, yaitu DPM (Dewan Perwakilan
Mahasiswa) di lingkungan kampus hijau. Langkah taktis yang saya lakukan
pertama-pertama ialah mengidentifikasi mahasiswa yang memiliki intensitas
tinggi di dalam organisasi kemahasiswaan, mempunyai kemampuan keorganisasian
dan berpandangan luas tanpa sekat fanatisme. Dengan pertimbangan beberapa orang
di kampus Al-Qolam, akhirnya saya mengundang beberapa mahasiswa yang dinilai
senior dengan ragam latarbelakang organisasi mahasiswa untuk berkumpul di rumah
saya.
Memang agak disayangkan, komposisi keanekaragaman mahasiswa aktivis
yang bisa dikumpulkan kurang berimbang. Tak terbantahkan bahwa ketimpangan
tersebut lebih banyak diakibatkan faktor teknis, diantaranya karena pulang ke
kampung halaman, atau secara pribadi enggan terlibat aktif dalam kancah
keorganisasian, tetapi tetap saja kesenjangan nampak sangat terasa dalam
mengusung kepentingan-kepentingan.
Apapaun faktanya, rapat yang kemudian kita sebut "Tim
Sembilan" dengan dasar Surat Tugas dari Warek III berhasil mengevaluasi
dan merevisi buku Pedoman Kemahasiswaan
Tulisan singkat ini mencoba mengulas sekilas tentang masa depan
organisasi kemahasiswaan dan kemungkinan-kemungkinan benturan kepentingan antar
organisasi intera dan ekstera lewat pintu DPM dan BEM di perguruan tinggi
Malang selatan.
Bercatur dalam DPM
Sementara ini ada yang mengungkapkan bahwa dalam ranah organisasi
kemahasiswaan, perguruan tinggi merupakan miniatur dari cara berpandangan,
berinteraksi dan berkehidupan politik sebuah negara. Pada statemen itu saya
tidak sepakat seratus persen, tetapi pada aspek pengembangan kreatifitas berserikat
bagi mahasiswa seperti dalam sistem organisasi dan politik negara, saya juga
tidak menolak seratus persen. Sebab, kemunculan organisasi kemahasiswaan di
perguruan tinggi tidak bisa dipungkiri berkiblat pada tatacara berorganisasi
dan berpolitik dalam negara. Bahkan perkembangan perpolitikan dalam negara banyak mengilhami
cara berorganisasi para aktivis mahasiswa dalam mengelola tatakelola dan relasi
organisasi kemahasiswaan.
Oleh sebab itulah, perkembangan organisasi kemahasiswaan di
lingkungan IAI Al-Qolam sengaja diarahkan kepada tata kehidupan berorganisasi
dan berpolitik seakan-akan layaknya negara. Makanya tidak heran, jika secara
umum ada dua hal penting yang berhasil diputuskan oleh "Tim Sembilan"
setelah menelaah dan mengkaji buku Pedoman Kemahasiswaan yang dibuat oleh Warek
III. Dua hal di atas, yaitu; 1- membentuk DPM pada tahun ini, dan 2-
pembentukan KPU (Komisi Pemilihan Umum.
Sebagai organisasi legislatif di tataran institusi, DPM merupakan
lembaga yang secara umum bertugas membuat perundang-undangan serta mengawasi
kinerja BEM selama satu periodik. Layaknya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di
negara, lembaga ini diharapkan berisi mahasiswa yang merepresentasi
keterwakilan setiap unsur kepentingan atau organisasi kemahasiswaan dengan
menduduki kursi yang disediakan. Wewenang legislasi yang dimiliki, memberikan
peluang kepada DPM untuk membuat garis-garis besar yang mengatur pengelolaan
BEM, dan hak monitoringnya menjadikan DPM berkuasa mengawasi, mengevaluasi dan
bahkan mengusulkan pemakzulan Presma dan/atau Wapres BEM.
Dari sini sebetulnya pergolakan antar kepentingan mulai dimainkan.
Sebab kekuasaan luas yang dipunyai DPM merupakan "surga" bagi satu
kelompok untuk memenggal kepentingan golongan lainnya. Oleh karena itu di
banyak perguruan tinggi, DPM (atau lembaga dengan istilah berbeda tetapi
substansi yang sama) menjadi perebutan awal untuk mendominasi kursi agar
eksistensi sebuah golongan/organisasi tetap terjaga. Apabila dominasi kursi di
DPM dipandang tidak akan tergapai, maka setiap unsur melakukan lobi-lobi agar
koalisi antar kepentingan (lebih ringkas saya sebut golongan/organisasi) dapat
dilaksanakan. DPM yang keanggotaannya diwarnai oleh keterwakilan masing-masing
kelompok merupakan ajang diskusi sengit dan perdebatan alot karena
masing-masing golongan menyimpan kehendak membonsai kepentingan lawan pada saat
yang sama mempunyai keinginan menyuburkan kepentingan dirinya. Pada dasarnya
kepentingan yang bermain di tubuh DPM hanya berkisar pada dua kepentingan,
yakni mempertahankan status quo BEM berkuasa
atau merobohkan BEM itu sendiri. Itulah potret wujud DPM di banyak
perguruan tinggi.
Ada satu hal menarik untuk dicermati dari diskusi "Tim
Sembilan", yaitu persoalan persyaratan menjadi Ketua/anggota DPM. Meskipun
melalui perdebatan panjang, akhirnya "Tim Sembilan" tidak
mempesoalkan DPM diisi oleh mahasiswa yang belum pernah duduk di BEM.
Kesepakatan ini tentu manjadi angin segar bagi semua unsur kepentingan, karena
kran memperebutkan lembaga yang berfungsi sebagai pembuat legislasi dan
pengawas BEM itu betul-betul menganga.
Saling Mengunci dalam KPU
Di lingkungan IAI Al-Qolam tidak saja diwacanakan terwujudnya DPM,
tetapi sesuai diskusi "Tim Sembilan" menyebutkan pentingnya ada KPU
yang diancang bisa mengatur pengelolaan Pamira. Di tangan KPU, diangankan
Pamira benar-benar menjadi panggung bebas bagi para pemangku kepentingan untuk
sedapat mungkin mengusung duta-dutanya agar bisa bertengger di DPM atau
semaksimal mungkin mampu mengapit Presma BEM dalam genggemannya. Dengan kata
lain, semua pihak yang berkepentingan dengan organisasi internal punya peluang
sama terhadap BEM dan DPM.
Kondisi demikian ini hanya bisa nyata, jika tingkat netralitas
pelaksana Pamira benar-benar tinggi dan teruji. Inilah hal baru yang diimpikan
oleh beberapa mahasiswa aktivis belakangan ini agar supaya pelaksana Pamira
tidak terjamah oleh dominasi atau intervensi satu kelompok, maka sudah saatnya
dibentuk KPU.
Seperti yang kita saksikan selama ini bahwa pelaksanaan Pamira BEM
Al-Qolam diselenggarakan oleh Panitia Musma hasil bentukan BEM yang notabene
terdiri dari mahasiswa dalam unsur kepengurusan BEM itu sendiri. Bagi sebagian
mahasiswa aktivis, fenomena ini dinilai sebagai pertanda demokratisasi dalam
organisasi intera kampus Al-Qolam bagai telur yang berada di ujung tanduk karena tendensi kepentingan dibalik
pelaksana Pamira sangat kentara di depan mata. Kondisi yang selama ini berjalan
menjadikan sebagian mahasiswa aktivis meradang, oleh karenanya kehadiran KPU
yang steril dari bias kepentingan begitu didamba.
Penyelenggaraan Pamira yang bebas dari kekuatan pemegang otoritas
yang terwakili KPU meniscayakan wadah bersifat inklusif. Oleh karena itu,
"Tim Sembilan" menyuarakan tentang urgensitas "partai
kampus" yang diancang mampu menyerap aspirasi mahasiswa lintas kelompok,
jurusan dan kepentingan. "Partai kampus" nantinya menjadi kendaraan
bagi mahasiswa yang memiliki hajat masuk di DPM sekaligus menjadi tempat
bersyerikat bagi mereka yang sepemahaman, meskipun latar jurusan atau
organisasi ekstranya berbeda. Di babak ini kepandaian lobi-lobi dan daya tawar
seseorang lewat program harus betul-betul diperlihatkan.
Walaupun KPU sudah dibentuk, bukan berarti saling jegal sama sekali
higenis dari unsur-unsur kepentingan. Justeru KPU merupakan kunci emas yang
akan selalu diperebutkan, karena wewenangnya membuat aturan Pamira merupakan
pion mematikan bagi kelompok lawan.
Apabila disederhanakan alur permainan di dalam panggung intera
kampus, maka komposisi di KPU wajib dikusai terlebih dahulu, setelah itu,
menggerakkan partai kampus guna membasmi musuh di pelataran DPM, lalu
percaturan tinggal men-skak rival dari kursi Presma dan Wapres BEM, dan
akhirnya bendera kelompoknya akan berkibar di bawah naungan organisasi intera
kampus.
Ikhtitam
Sebagai ulasan penutup, saya yakin bahwa dinamika organisasi intera
kampus tidak akan menemukan gebyar yang sesungguhnya dan ketajaman mahasiswa
dalam hal berorganisasi layaknya negara tetap tumpul, jika keberadaan
organisasi ekstra kampus hanya bagai singa melawan kucing.[]
sumber gambar:
LDK tertarik untuk membentuk sebuah partai. Semoga saja diiakan.
ReplyDeleteJika tidak diiyakan, Bang Waid boleh menuntut hak sebagai warga kampus :)
Delete