Oleh: Irham Thoriq
Apa hubungan antara jurnalisme dan filsafat? Sebagai induk
segala ilmu, filsafat tentu berkaitan dengan apapun termasuk dengan jurnalisme.
Salah satunya tentang proses mencari kebenaran, fisafat dan jurnalisme
sejatinya adalah ikhtiar terus menerus untuk mencari kebenaran.
Jika filsuf mencari kebenarannya mungkin dengan merenung, wartawan
mencarinya dengan mencari data lalu memverifikasinya dan setelah itu merangkai
fakta-fakta itu. Karena tidak ada kebenaran yang hakiki, dalam proses mencari
kebenaran itu bisa diibaratkan kita sedang mengetuk-ketuk pintu. Kita harus
terus mengetuk pintu agar kita semakin dekat dengan kebenaran.
Mula-mula saya ibaratkan jurnalisme dengan filsafat karena dalam
proses mencari kebenaran itu biasanya kita dipenuhi dengan aneka macam
kepentingan. Oleh karenanya, dalam judul saya ajukan pertanyaan mendasar;
Bisakah media bebas nilai?
Bebas nilai yang dimaksud adalah bebas dari kepentingan atau tidak
ada nilainilai yang diperjuangkan wartawan ketika menulis berita. Jika itu pertanyaannya,
maka jawabannya tentu tidak ada yang bebas nilai. Tidak hanya media sebenarnya,
hidup kita pun sebenarnya tidak ada yang bebas nilai.
Dalam kehidupan kita banyak yang memengaruhi, mulai dari orang tua
kita, tetangga, teman, kerabat dan juga agama kita. Karena yang memengaruhi
inilah, segala sikap kita sejatinya selalu penuh dengan kepentingan atau tidak
ada yang bebas nilai.
Begitu juga dengan media, karena tidak ada yang bebas nilai maka
produk yang ada di media adalah produk yang subjektif. Tidak ada yang objektif.
Kenapa tidak ada yang objektif ? karena serangkaian proses kerja jurnalistik
itu hasil dari aneka macam subjektivitas.
Mari kita runut dari awal. Ketika pagi hari wartawan mencari berita
di lapangan, tentu saja wartawan akan mencari data yang sesuai dengan ‘selera’
media tempat mereka bekerja. Jika kita bekerja di media khusus ekonomi, tentu
wartawan itu tidak akan mengambil kejadian sebesar apapun tentang krimanilitas.
Selain itu ketika ada undangan peliputan, bisa saja wartawan itu
tidak mau datang karena menganggap acaranya tidak menarik. Itulah keputusan
subjektif wartawan yang memilah mana yang menarik dan tidak menarik.
Setelah itu subjektivitas selanjutnya ada dalam rapat redaksi yang
dilakukan redaktur. Untuk media massa seperti koran yang terbit harian,
biasanya ada rapat redaksi pada sore hari atau sebelum redaktur mengedit
berita. Saat inilah redaktur memilih berita mana yang akan dibuat halaman utama
dan berita mana yang akan dijadikan berita utama atau Headline.
Tentu saja pemilihan itu adalah subjektivitas redaktur meskipun
setiap media memunyai ukuran mana yang penting dan yang menarik. Tidak berhenti
di situ, subjektivitas itu masih berlanjut di pagi hari selanjutnya ketika
koran tiba di tangan pembaca. Para pembaca memilih mana yang hendak mereka baca
dan yang tidak. Nah, di situlah pembaca juga memunyai subjektivitas.
Dari contoh-contoh itu, saya hendak mengatakan kalau dalam hidup
ini sebenarnya tidak ada yang bebas nilai. Kalau kita ikut Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) tentu kita akan membela PMII. Jika kita Islam, kita
lebih memunyai kecenderungan membela Islam daripada agama lain.
Hati Nurani
Lalu bagaimana jika semuanya sudah tidak ada yang bebas nilai. Kita
sebenarnya memunyai satu pegangan yakni hati nurani. Dari hati kecil kita
itulah kita bisa menilai mana yang sebaiknya kita bela dan mana sebaiknya kita
tinggalkan. Hati nurani adalah penilai di tengah subjektivitas itu.
Oleh karenanya, subjektivitas yang dilakukan wartawan, filsuf atau
aktivis sebaiknya berdasarkan hati nurani. Untuk media misalnya, subjektivitas
yang dipilih itu bukan berdasarkan uang, kepentingan media atau kepentingan
pemilik media.
Apakah bisa? Tentu bisa, meski itu sangat sulit. Sebagai entitas
bisnis yang harus menggaji karyawan dan menutupi biaya operasional, media harus
menjaring iklan dari penguasa dan pengusaha. Nah, karena berbenturan dengan
iklan inilah atau kepentingan pemilik media.
Pada pemilu 2014 lalu, misalnya, bagi kalangan wartawan pemilu
tersebut menjadi momen turunnya kepercayaan masyarakat terhadap televisi. Kita
tahu, dua stasiun televisi yang pemiliknya sama-sama memimpin partai politik
dengan terang-benderang mendukung calon presiden dengan membabi-buta. Atas
fenomena tersebut tentu masyarakat dan juga wartawan banyak yang prihatin. Tapi
mau bagaimana lagi kita bukan pemilik media.
Peran Aktivis PMII
Di tengah subjektivitas itu, sebagai aktivis kita harus tetap mewarnai
wacana publik atau kalau perlu menguasainya. Sebagai aktivis kita harus bisa
menganalisa dan memproduksi wacana. Apa yang diperjuangkan PMII harus
diproduksi dalam bentuk wacana agar bisa diketahui dan memberi manfaat banyak
orang.
Media untuk memproduksi wacana itu bisa dengan membuat buletin,
mengaktifkan website dan lain-lain. Jika hal tersebut tak dilakukan aktivis
PMII, bisa jadi aktivis PMII hanya menjadi penonton bukan pelaku.
Artikel ini disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD)
Komisariat Ibnu Rusyd atau PMII Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) Cabang
Kota Malang, Sabtu 21 Februari 2016.
sumber gambar:
Tulisan ini memerintahkan saya agar melakukan hal yang sama.
ReplyDeleteTolong bedakan antara kebenaran dengan pembenaran :))
DeleteHal yang sama itu gmana ya Fawaid ?
ReplyDeleteehm...tulisan sederhana, renyah dan tentu bagus; mencerminkan sisi transendensi dari penulisnya yang juga seorang jurnalis jaringan media besar. lanjutkan!
ReplyDelete