Oleh: Muhammad Ilyas
Pagi
yang cerah itu saya dibangunkan oleh teman seperjuangan, yaitu Stuart Russel
dan Peter Norving. Mereka pagi-pagi mengetok pintu dan menyapa “selamat pagi”
(dengan logat Amerikanya). Saya tak menyangka mereka membangunkanku di saat aku
masih lelah dengan rutinitas sehari-hari. Mereka masuk kamar, dan duduk di
pojok ruanganku yang sempit. Tanpa dipersilakan mereka mengambil air galon isi
ulang itu lalu meminumnya.
Tapi
jangan salah persepsi dulu. Kedatangan mereka ke kos ini bukan membahas masalah
geopolitik atau suksesi calon Presiden AS, apalagi propaganda tentang pil KB
(maksud saya Pilkada). Atau malah timses Donald Trump. Sungguh bukan, bukan itu
yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Apalagi kegiatan suksesi calon melalui
perdebatan Ayat Al-quran. Atau mengangkat isu SARA, dan isu-isu yang sangat tak mendidik masyarakat itu.
Cak Stuart Russel dan Peter Norving, kedua sahabat ini
mengajak saya ke salah satu tempat nongkrong
asyik di Yogyakarta. Berbeda dengan mas-mas bule lain yang biasanya ngajak nongkrong di Starbuck, atau J. CO
dan nama café asing lainnya, saya diajak ke pinggiran
warung kopi di Parangtritis, tempat yang begitu elok dan indah untuk menyeruput
secangkir kopi Arabica, nikmat dengan pemandangan laut dari ketinggian bukit
yang memanjakan jiwa. Apalagi dibarengi dengan
sun set yang dihalangi kabut tipis
barat, sungguh luar biasa.
Cak Stuart Russel dan Peter Norving memulai
perbincangan tentang Artificial Intelligence
(AI). Wah, pembahasan yang cukup berat ini (gumanku dalam hati). Yah
begitulah para ilmuwan dari negeri Paman Sam memberikan istilah yang sekiranya
dianggap berat. Padahal istilah tersebut biasa-biasa saja, tak ada beratnya,
mungkin masih berat isu SARA yang tak henti hentinya, apalagi masalah
kepentingan politik menumpang di punggung isu agama, sungguh berat dan membuat
kacau keadaan sosial. Belum lagi efek yang nantinya akan diderita masyarakat
bawah. Duh, politikus atas angin yang jauh dari realitas dan tak punya
niat untuk memberikan pendidikan politik (civil
education).
Maaf,
maaf, maksud tulisan ini bukan propaganda politik. Saya tegaskan lagi bukan
propaganda politik, tetapi menyinggung tentang Psikologi yang disampaikan oleh Cak Stuart Russel dan Peter Norving. Dalam Artificial Intelligence (AI)
terdapat empat prinsip yang harus dimiliki setiap insan agar bisa memilah
dan memilih serta dasar bertindak dalam setiap apa yang ia lakukan. Pertama
adalah acting humanly. Jadi sebagai
manusia harus bertindak sebagaimana manusia bertindak. Manusia diberi alat
indera yang lengkap, mulai dari mata, telinga, peraba, hidung dan lidah. Alat
indera tersebut tidak akan berbohong pada diri manusia, misalnya garam akan
ditangkap oleh lidah dengan rasa asin. Suara seruling akan ditangkap oleh
indera kita sebagai suara seruling. Tidak terbayangkan jika indera berbohong
pada kita, garam direspon sebagai rasa manis, sedangkan gula direspon sebagai rasa
pahit, suara seruling direspon sebagai suara gendang. Pasti ada kekacauan yang
terdapat dalam tubuh kita. Jangan seperti para politisi kita yang menjalankan
sesuatu tidak pada jalurnya, sesuatu yang asin dibilang manis, dan yang manis
dibilang pahit, merah dikatakan hijau, 2 Milyar dibilang 1 Milyar, cantik
dibilang jelek dan jelek dibilang semerbak, serta serba membingungkan
masyarakat.
Yang
kedua adalah thinking humanly. Dengan
the cognitive modelling approach manusia
mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di bumi ini, yaitu
akal. Sebagai anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita
seharusnya kita berpikir sebagaimana manusia berpikir. Manusia yang normal
tidak hanya berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan perutnya saja, melainkan berpikir
yang lebih dari sekadar itu. Jika hanya berpikir untuk kepentingnnya sendiri
maka bisa dikatakan lebih rendah daripada hewan. Semut saja bergotong-royong
untuk kepentingan bersama, masak kita
enggak?
Tapi
beda dengan koruptor kita yang tidak thinking
humanly, kehidupannya dipenjara penuh dengan berbagai fasilitas. Negara
kita memberikan ruang bergerak yang lebih bagi meraka yang tak berpikir sebagai
manusia dan menyudutkan mereka yang betindak sebagai manusia.
Yang
ketiga adalah thinking rationally. Berpikir
saja tidak cukup tetapi harus rasional. Alur berpikir harus runtut dan
sistematis, sehingga membentuk pola. Hal ini berbeda dengan para politisi kita,
mereka terlalu rasional, sehingga sesuatu yang belum terjadi sudah diramalkan
menurut kepentingannya. Dan saking rasionalnya membuat publik mengernyitkan
dahi.
Yang
keempat adalah acting rationally. Kalau
Mas Pram pernah berkata, “Bersikap adillah sejak dalam pikiran,” maka Cak Stuart Russel dan Peter Norving berkata, “Thinking rationally saja belum cukup, harus ada acting rationally sebagai bentuk
manifestasi dari apa yang dipikirkan.”
Tak
terasa hari sudah larut malam. Cak Stuart Russel dan Peter Norving sudah
mulai mengantuk di meja kopi. Muka mereka menunjukan lelah, dan ada bau pesimis
mendalam terhadap empat ide yang digagas tersebut. Ia seakan tidak akan yakin
hal ini bisa diterapkan di Negara Berkembang seperti Indonesia, karena terdapat
dua alasan. Pertama, kita terlalu terbuka, sehingga semua masuk tanpa
filter. Yang kedua, kita terlalu tertutup dan tidak mau unsur-unsur dari
luar.[]
Sumber foto: artificial
0 komentar:
Post a Comment