Oleh: Halimah Garnasih
“Ah, rata-rata
semua pesantren itu sama. Selalu saja mengambil santrinya yang berparas cantik
untuk diambil mantu,” katamu. Aku
tentu saja tidak tahu menahu soal itu. Masuk pesantren saja hanya sekali waktu,
saat mengikuti program sepuluh hari penuh makna bersamamu, interfaith pilgrimage.
Bersama para pemuda-pemudi Kristen, Katolik,
Buddhist, Hindu, dan teman-teman non Muslim lainnya aku berkesempatan mengenal
lebih dekat umat muslim dan pesantren khususnya. Malam itu juga, kita berpisah.
Kamu dan teman-teman muslim lain dalam program ini diantar menuju salah-satu
GKJ, kompleks umat kristiani di Salatiga.
Malam itu, saat baru saja aku akan
mengatupkan mata, tidur berdempetan dengan para santri dalam satu kamar sempit
dan hanya beralas tikar, mendapati pesan darimu: “Aku senang sekali, Jum.
Senang sekali. Aku mendapat induk semang yang rumahnya pas di samping Gereja.
Rumah keluarga pendeta. Dari bangunannnya, tampak khas rumah bekas kolonial
yang jendelanya tinggi-tinggi dan penuh dengan kelambu putih di mana-mana.”
Aku memintamu mengatakan ada gambar apa saja
di dinding kamar semalammu. “Uh, nyeni dan lawas banget, Jum. Ada salib,
lukisan bunda Maria besar sekali, beberapa Al-kitab di atas meja, dan ranjangku
Jum…. Ranjang antik dengan kelambu berenda putih yang lembut!” Aku membayangkan
kamar semalammu hangat, lembut, dan nyaman sekali. Sementara aku mulanya
sedikit merasa tak nyaman tidur beramai-ramai dalam satu kamar kecil. Sempit, gerah,
dan bau keringat.
Tapi entahlah, sikap keakraban dan
kesederhanaan para santri semenjak aku tiba, membuatku terkaget-kaget. Padahal
ini adalah pertemuan pertamaku dengan mereka, tapi sikap mereka jauh dari kesan
itu. Mereka membuatku nyaman dan tidak sebagai orang baru. Sebaliknya, aku
merasa menjadi spesial berada di tengah-tengah mereka.
“Tinggal di rumah keluarga pendeta, artinya
aku akan mendapatkan data-data langsung dari sumber primer, Jum, hehehe. Oh ya,
betewe, bagaimana pengalaman pertamamu tidur di pesantren, Sayang?
Hihihi” pesanmu kembali masuk. “Dinikmati ya…. Setidaknya dalam semalam kamu
bisa merasakan apa yang aku rasakan selama delapan tahun lalu sayang. Wkwkwk!”
Pesanmu hanya kubalas dengan emoticon,
makhluk lucu walaupun digambarkan sambil melet-melet. Tapi diam-diam aku merasa
mulai memahami mengapa dari pesantrenlah orang-orang hebat itu lahir. Banyak
pemikiran tokoh-tokoh Islam yang aku sepakati. Sangat humanis dan mengandung
kehatian-hatian, sarat pertimbangan. Dan aku temukan, muaranya adalah
kedamaian. Bagaimana keheningan sejati akan kami dapatkan tanpa kedamaian
bukan?
Rupanya, semua itu lahir dari tempat ini, di mana
kehidupan para santri dijalani dengan beriringan dan kebersamaan. Sebagaimana
salah-satu tujuh kewajiban suci yang aku imani: Menolong siapa saja tanpa
pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih. Bukan seperti hidup yang selama ini
aku tahu: Sendiri-sendiri, dan untuk diri sendiri. Juga Islam yang keras dan
merusak seperti yang sering aku dan keluargaku temukan di televisi.
“Resapi, Jum. Resapi semua keterbatasan yang
ada di duniaku itu, sungguh kau akan bertemu Tuhanmu juga berada di sana. Tuhan
ada di segala keterbatasan, Jum. Biarkan keterbatasan menjamah ragawimu, maka
Tuhan akan menyentuh sukmamu, jiwamu…”
“Kau mencari hening, Jum? Di sana hening juga
bersemayam, Jum. Bahkan, saat para santri mulai riuh mengaji, membaca nazam-nazam,
atau saling melempar canda, hening dengan terang-terangan ada di antara itu
semua, Jum. Dia berdiri, bersiap kau peluk, Jum…”
Pesan terakhirmu ini seakan membawa desir
angin ke dalam jantungku, aliran darahku. Dan pagi hari aku terbangun dengan
suara para santri yang tengah melantunkan kitab suci Alquran dengan suara
sama-sama lirih. Ada yang bergetar dalam diriku.
***
“Mengapa kamu bisa berpikir bahwa pesantren selalu
mengambil santrinya yang cantik untuk diambil mantu?” aku mengejarmu yang tengah naik menuju Vihara cepat sekali.
“Ini melampaui berpikir, Jum. Ini menyatakan
sebuah kenyataan. Kebanyakan. Hampir semua… khususnya di Jawa Timur.” Katamu
berhenti sebentar menoleh padaku, lalu kembali mengamati patung Dewi Kwan Im
yang berada di ujung tangga ini. Kita memang sengaja mampir di Vihara Solo setelah
menyelesaikan keperluan risetku tentang perempuan-perempuan Tionghoa di kota
ini.
Program interfaith
pilgrimage yang mengantarkan pertemuan kita memang sudah selesai. Tapi
pertemanan kita menjadi jalinan sahabat, bahkan seperti saudara. Kamu tidak
hanya dengan brengsek tidur di ranjangku saban akhir pekan, menghabiskan
masakanku yang belum kusentuh, tapi juga sering mengajakku turut menyampaikan
materi ‘Perempuan dan Sejarah Agama-agama’ dalam programmu bersama Organisasi
Fatayat saat roadshow ke
Pesantren-pesantren se-Jawa.
“Kamu itu mantan santri yang brengsek kepada
teman, untung saja kamu memiliki kepedulian sosial yang tinggi hingga aku mau
berbaikan denganmu.” Dan kamu hanya tertawa lepas setiap aku mengumpatmu. Tak
sekali pun, aku mendengarmu berbalik mengumpatku. Padahal aku ingin tahu,
bagaimana seni mengumpat oleh santri.
“Tapi bukankah santri, pesantren, dan ulama
itu identik dengan kesederhanaan ya?” tiba-tiba meluncur begitu saja pertanyaan
itu dari mulutku. Dan kamu menoleh dengan wajah brengsek seperti biasa ke
arahku. Seolah pertanyaan yang muncul dari alam pikirku ini kurang berkualitas
“Lalu?” sikap cuekmu memuakkan meningkahi
pertanyaanku dengan mencomot chocolate
cake yang tampak sangat legit, selegit ide-idemu tentang perempuan dan masa
depan bangsa. Iya, yang diam-diam kukagumi itu.
“Kemarin, saat kita roadshow di Pesantren-pesantren Jawa Timur, aku tidak melihat
kesederhanaan yang biasa aku temukan di pesantren-pesantren Jawa Tengah
misalnya. Rata-rata, penampilan santri di sana sangat glamour. Kita-kita yang
di depan saja kalah, Non!” jelasku yang langsung disambut tawa ngakakmu,
salah-satu sikap brengsekmu.
Bergaya membenahi kerudungmu yang mencong
sana-sini, kamu menghadapkan tubuhmu padaku, dengan wajah yang sok
dimanis-maniskan kamu berkata, “Oh, sang pemateri Nona Juminten, itu adalah
salah-satu akibat yang pernah saya katakan padamu. Saat bukan santri cerdas nan
penuh prestasi yang diambil mantu oleh pesantren, melainkan santri yang
cuantik-cuantik, otomatis…..”
“Oke, stop, stop. Aku ngerti. Tapi masa iya,
hanya itu?”
“Oh, tentu tidak! Banyak faktor yang saling
kelindan tentu saja. Selain bentukan budaya tentang bagaimana perempuan cantik
itu, menurutmu apa lagi?”
“Gaya hidup? Hedonisme yang arusnya kuat itu
sudah sampai ke pesantren, sebuah lembaga pendidikan di mana menurutmu
semestinya menjadi alat terbesar bangsa ini yang bisa mendorong paham terkutuk
itu ke luar dari tubuh bangsa ini?”
“Cerdas! Itu masyuk, Nona Juminten yang
manis…”
“Aku masih tidak mengerti. Lalu, kaitannya
dengan tradisi pesantren dalam mengambil mantu
santri yang cantik?”
“Andaikan, Jum. Andaikan. Santri mendapati
kesadaran bahwa pesantren mengambil mantu yang cerdas dan sederhana, alam sadar
mereka tidak akan disibukkan dengan hal-hal yang bersifat fisik, materil.
Mereka akan melampaui hal materil itu, dan dapat menjangkau hal-hal yang lebih
bernilai dan lebih luhur dari itu,”
“Mereka akan dihantarkan pada sebuah titik
bernama ‘kesadaran hidup’. Bila sudah sampai pada titik ini, jangankan monster
hedonisme, monster Nazi sekalipun para santri siap meghadapi!”
“Wuih…mantap nian temanku yang mantan santri
satu ini.”
“Iya dong. Aisyah, seperti Ummul mukminin
yang bahkan para lelaki takluk dengan kecerdasan dan keberaniannya!”
“Wuih!!! Hebat-hebat! Eh, tapi apa benar,
analisismu tadi itu murni muncul objektif dari pemikiranmu?”
“Maksudnya?”
“Ya … maksudnya, apa iya pemikiran itu
berdiri sendiri? Tidak berkelindan dengan alasan lain?”
Matamu menatapku tajam, jelas sekali mulai
berpikir. Ini pertama kali kamu meresponku dengan tidak celele’an. “heh! Misalnya?”
“Misalnya … karena kamu masih sakit hati sama
Ilyas, mantan pacarmu yang menikah dengan perempuan yang dijodohkan oleh
abahnya? Yang kiai pesantren di Jombang itu? Yang lebih cantik darimu itu?”
kataku sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis menggodanya. Eh, lebih pas,
meledeknya.
Sejenak Aisyah terbelalak menatapku, lalu
dengan kecepatan yang tak dapat kuhindari, kedua tangannya melemparkan bantal
beruang ke mukaku sambil berteriak sekencang-kencangnya, “Assseeemmmm….
Jumintennnnnnnn…. Kamprreeeetttt!!!!!!!!’
Perpustakaan Kota
Malang
18 November 2016
Sumber gambar: JMW Turner
0 komentar:
Post a Comment