Oleh: Muhammad Ilyas
Ludruk adalah suatu kesenian drama
tradisional dari Jawa Timur. Ludruk diperagakan oleh sebuah grup kesenian
yang digelar di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan
rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya. Pertunjukan ini diselingi
dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Ludruk merupakan
kesenian yang bernuansa humor, jadi dalam pementasannya terdapat humor-humor
pilihan rakyat kalangan bawah.
Asal muasal kesenian ini juga masih
banyak perdebatan. Ada beberapa sumber yang mengatakan dari daerah Surabaya. Ada
beberapa yang mengatakan dari Jombang. Kesenian ini dimulai sejak era 1800-an,
yang pada awal mulanya ludruk merupakan sarana untuk mengamen ke rumah-rumah,
dan dilakukan dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilo meter. Itulah sedikit informasi
tentang ludruk.
Pada perjalanannya ludruk menjadi
kesenian favorit yang digemari masyarakat. Pada era pra kemerdekaan digunakan
sebagai alat propaganda untuk meraih kemerdekaan. Ludruk sebagai sarana untuk
menyampaikan moral value kepada masyarakat. Ludruk juga digunakan
sebagai kritik sosial. Bahkan sampai 1980-an kesenian ini masih diminati oleh
masyarakat kalangan bawah. Ayah saya pernah bercerita tentang masa keemasan
ludruk. Bahkan waktu itu di desa Sumberurip terdapat gedung teater yang
disediakan untuk pertunjukan ludruk, yang dilaksanakan tiap minggu. Wah
sebegitu massifnya kesenian ini hingga masuk ke plosok-plosok desa.
Tapi pada era pasca reformasi 1998
ludruk sudah tidak diminati oleh masyarakat, mereka sudah mempunyai TV untuk
mengisi waktu luangnya. Tentunya dengan menonton dagelan Senayan dan sekitarnya.
Kok bisa begitu, mungkin ada pembaca bertanya-tanya. Masyarakat sudah jenuh
dengan pertunjukan ludruk, toh ada yang lebih lucu lagi ketimbang
ludruk, yaitu dagelan-dagelan politik.
Yuk kita bandingkan kelucuan ludruk dan kelucuan
elit politik kita. Pertama Gancke dan T. Rooda mendifinisakan ludruk
sebagai grapper maker (badutan). Nah definisi ludruk juga sama dengan
definisi yang ada di Senayan dan sekitarnya. Yah, mereka memang melucu, dan
tampil di khalayak umum untuk ditertawakan bersama-sama. Untuk hiburan ketika
lagi berpusing ria, dan sebagai pelampiasan saat galau. Tapi badut yang
disenayan beraksi dengan fasilitas negara dan ditanggung rakyat, tentunya
dengan gaji tinggi. Beda halnya dengan pemain ludruk.
Kedua, dialog atau monolog yang terdapat di ludruk
mengundang gelak tawa. Ini sama dengan para politisi kita, misalnya Bang Anas
Urbaningrum berkata “Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas
di Monas!” Sontak para pemirsa di rumah terkekeh melihat monolog ini. Apalagi
pasca tertangkapnya beliau sebagai terpidana kasus korupsi Hambalang. Dan sampai
sekarang tidak ditemukan tali gantungan yang ada di tugu monas.
Kemudian ada pernyataan dari Haji
Lulung, jika Ahok dapat mengumpulkan 1 juta KTP, ia akan mengiris kupingnya. Nah
ketika 1 juta KTP terkumpul, telinga Haji Lulung masih tetap utuh, tak cacat
sedikitpun. Dan ketika ada wacana Ahok mencalonkan diri melalui jalur partai, Haji
Lulung berstatemen sama. Tetapi sampai hari ini kedua telinganya masih utuh. Rakyat
tak perlulah menuntut Bang Anas untuk gantung di Monas atau melihat Haji Lulung
memotong telinganya. Mengerikanlah, lawong ada telinga saja masih belum bisa
mendengar jeritan rakyat, apa lagi tidak punya?,Mengerikan sekali.
Persamaan ketiga adalah
penampilan pemain ludruk itu kocak dengan make up loreng-loreng yang
mengundang tawa. Nah, begitu juga dengan para politisi kita. Mereka ber-make
up tebal dan berias sedemikian rupa agar menjadi bahan tertawaan masyarakat
kalangan bawah. Hal ini dibuktikan dengan inkonsisten dalam misi perjuangannya,
apakah perjuangannya diabdikan untuk perusahaan, untuk golongan sendiri, untuk
pribadi, atau untuk ketiganya. Kalau rakyat, bangsa dan negara diurutan misi
perjuangan nomor berapa? Pembaca bisa menilai sendiri.
Persamaan keempat, ludruk
menjadi tontonan favorit masyarakat untuk menghibur diri ketika lelah melanda. Nah
hal ini juga terjadi dalam perpolitikan bangsa kita. Ketika masyarakat lelah
dengan rutinitas sehari-hari, mereka akan menyalakan TV untuk melihat berita
para politisi kita. Dan mereka pun asyik dengan melepaskan lelah sambil tertawa
melihat berita tersebut. Tidak ada habis-habisnya melihat dagelan Senayan yang
setiap hari berganti judul, dan bahkan bagaikan sinetron yang berepisode-episode.
Nah, keempat alasan di atas menjadi
bukti bahwa ludruk sudah tergantikan dengan humor-humor segar Senayan dan
sekitarnya. Keberadaan ludruk semakin hari semakin memprihatinkan, oleh karena
itu mari kita bersama-sama untuk mendorong para pemain ludruk agar masuk dalam
lingkaran Senayan dan sekitarnya, agar para pemain ludruk bisa eksis
lagi, serta menambah khasanah humor yang ada di Senayan dan sekitarnya.[]
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment