Oleh: Muhammad Hilal
Perjalanan ke Pantai Goa Cina bukan perkara sulit. Di antara
empat orang peserta, salah satunya sudah pernah mendatanginya. Lalu tinggal
merembukkan logistik.
Oleh karena berangkatnya jam 10 malam, maka rutenya ke Pasar
Gadang dahulu untuk beli ikan. Pesan pak bakul ikan, bakar-bakar itu
lebih enak ikan air laut. Nah, ini tip bagus bagi yang berencana mau bakar
ikan. Tongkol sekilogram dan sekilogram lagi entah ikan apa kami borong malam
itu.
Perihal peralatan bakar-bakar, seperti kayu, arang, bumbu,
panci, kayu bakar, dan lain-lain, salah satu peserta sudah menyiapkannya. Tugas
saya cuma membawa setermos kopi dan karpet. Bukan tugas berat, saya sudah siap
sedia.
Teman lain bahkan sudah menyiapkan berbagai alat elektronik:
kamera DSLR lengkap dengan tripodnya, senter, dan Power Bank. Ini rupanya sudah
well prepared semua.
Dengan demikian, keberangkatan ke Pantai Goa Cina terasa
enteng-enteng saja, sebab semua sudah siap sedia. Bahkan sebelum berangkatpun,
saya sudah bisa menerka bahwa acara bakar ikan ini akan lancar saja.
Kami berangkat ke tujuan melalui jalur Bantur. Itu
didasarkan pada anjuran Global Positioning system (GPS) otomatis
dari gawai. Menurut suara yang berbicara di gawai, jalur Bantur adalah jalur
yang tercepat, lebih cepat ketimbang jalur Gedangan atau jalur Sumbermanjing
Wetan. Sungguh fasilitas GPS adalah kemudahan yang patut disyukuri, namun kini
saya sadar akurasinya perlu ditinjau ulang.
Dan kami kena batunya juga. Akibat taklid buta kepada
fasilitas GPS, perjalanan itu ternyata memakan waktu lebih lama. Di Bantur,
sebelum kami mencapai jalan Lintas Selatan, suara di GPS menganjurkan kami
mengambil jalur terabasan. Ketika memasuki jalan terabasan, suara itu berkata
melenakan, "Anda memasuki jalur tercepat."
Awalnya kami tentu senang bahwa ternyata ada jalur tercepat
ke jalan Lintas Selatan. Tapi, lama kelamaan, sinyal ponsel menipis, dan
akurasi GPS jadi aneh. Jalan itu kecil dan sepi, berkelok-kelok naik-turun,
kendati aspalnya halus. Suasana mulai agak horor. Mulai timbul waswas di benak
masing-masing, apa betul ini adalah jalur terabasan ke jalan Lintas Selatan.
Suasana horor semakin menjadi-jadi ketika kami mencapai
jalan yang aspalnya rusak, bahkan berbatu. Mobil yang kami tumpangi jadi tak
bisa melaju cepat. Jika sebelumnya kami selalu tertawa dan melempar lelucon,
kini semuanya jadi terasa tidak lucu. GPS durjana itu ternyata mengibuli.
Ketakpastian semakin menghantui.
Suasana kikuk itu akhirnya berakhir setelah kami berhasil
mencapai jalan Lintas Selatan yang lebar dan halus. Kami pun berhasil
mengembalikan selera humor kami. Kami sudah bisa tertawa lebih lepas dan tanpa
beban.
Fasilitas GPS juga masih tak terpakai, sebab sinyal ponsel
masih tak tersedia. Namun apa guna mengharap bantuan GPS yang berlaku layaknya
Kabil? Kami sudah tak keberatan fasilitas itu tidak terpakai. Kami mengandalkan
papan penunjuk arah saja.
Di atas jalan Lintas Selatan, mobil kami melaju cepat dan
tanpa hambatan. Sambil mengamati papan penunjuk arah yang rupanya belum tertata
baik, kami terus ke arah timur. Hingga akhirnya, di bagian kanan jalan terdapat
gapura bergaya tiongkok. Tak diragukan lagi, itulah jalan masuk ke Pantai Goa
Cina.
Memasuki area pantai, susana sangat sepi. Toko-toko tutup,
pos penjagaan hanya terisi dua-tiga orang. Lampu penerang pun sangat terbatas,
bisa dipastikan di bibir pantai akan sangat gelap sekali. Mobil kami parkir di
pinggir pagar, tepat di bawah lampu penerang.
Jam menunjukkan pukul 12 lebih. Luar biasa, perjalanan itu
ditempuh selama dua jam lebih. Terlalu lama, akibat jalur terabasan
"tercepat" dan fasilitas GPS tak akurat.
***
Mencari lokasi bakar-bakar di sekitar pantai tidaklah sulit
amat. Selain karena di tempat itu sangat sepi pengunjung, hamparan pasirnya pun
cukup luas. Di atas pasir, banyak sekali semak-semak lebat.
Oleh sebab hembusan angin cukup kuat, kami memilih tempat di
lokasi yang dikelilingi semak lebat. Barang-barang keperluan kami angkut dari
mobil ke lokasi itu.
Tempat itu pun kami tata. Kami mengumpulkan batu untuk
dibuat tungku, pasir kami gali sedikit agar ada ruang lebih besar untuk kayu
bakar dan arang.
Penerang dari senter dan lampu ponsel cukup membantu
kegiatan itu. Hanya di tempat yang disorot peneranglah yang bisa kami lihat,
sisanya gelap gulita. Hanya desir angin pesisir dan suara debur ombak yang
terasa jelas di indera kami.
Ikan yang kami bawa dibersihkan isi perutnya dengan air
galon. Tidak mungkin kami mencucinya dengan air laut, sebab bibir pantai
betul-betul gelap. Jangankan mendatanginya, melihatnya saja kami sudah keder.
Imajinasi kami melarang kami terlalu dekat ke bibir pantai.
Termasuk pula beras, kami pun mencucinya dengan air galon.
Irit menjadi nilai yang sangat berharga saat itu, sebab air itu juga sangat
dibutuhkan untuk minum.
Setelah nasi sudah matang, kami mulai mengolah rempah-rempah
untuk membumbui ikan. Dengan tungku batu itu, kami menggoreng bumbu yang
bahan-bahannya tidak saya tahu apa. Salah seorang peserta kami pasrahkan
melakukannya, sebab dia memang paling pengalaman memasak.
Bumbu itu dioleskan ke ikan sebelum dibakar. Dan bumbu itu
cukup berhasil, aroma ikan ketika dibakar sangat menggoda iman dan lidah. Harum
sekali. Entah dapat resep dari mana teman satu itu, padahal dia hanya alumnus
pesantren Ploso dan Lirboyo, jelas kualifikasinya bukan di bidang tataboga.
Dalam hal masak-memasak, dia memanglah tipikal learner by doing, orang
yang mahir karena suka melakukan berulang-ulang.
Saat ikan bakar pertama sudah matang, kami mencicipi hasil
kerja kami. Rasanya luar biasa sekali. Daging ikan bercampur dengan bumbu,
diiringi kecap manis, rasanya benar-benar nendang di lidah.
Aroma ikan bakar, hembusan angin pesisir dan debur ombak di
kegelapan sana adalah citarasa Pantai Goa Cina saat itu. Terutama suara ombak,
saat berbenturan dengan batu, kadang terdengar seperti benturan benda padat,
tak ubahnya seperti suara tabrakan mobil. Kesan magis mengenai adidayanya
kekuatan alam sangat kentara saat itu.
Saat ikan tersisa dua ekor untuk dibakar, kami sudah tidak
sabar. Ingin rasanya lekas-lekas menyantapnya dengan nasi dan sambal kecap.
Kipasan kami mulai tidak teratur, terganggu oleh godaan ikan bakar matang di
sebelah. Konsentrasi agak buyar.
***
Kini, tibalah waktu untuk menyantap makanan: nasi, 2
kilogram ikan bakar, dan sambal kecap. Porsi nasi dan ikan bakar tidak seimbang,
ikannya jauh lebih banyak. Umpama tidak ada nasipun, 2 kilogram ikan bakar
rasanya sudah bisa bikin kenyang.
Nikmat makanan itu rupanya makin terasa kalau kita
membuatnya sendiri. Berjam-jam berjibaku mematangkannya, menyantap hasilnya
mampu memunculkan rasa puas tersendiri, seolah ada hutang yang tertunaikan.
Ikan bakar itu terasa maknyus sekali di lidah.
Momen itu, momen kudus menyantap hasil kerja tangan sendiri,
memang berlangsung singkat. Hampir rampung ikan 2 kilogram itu dituntaskan,
gerimis pertanda hujan mengguyur. Singkat, namun cacing-cacing di perut sudah
terpuaskan, padahal masih ada 2 ekor ikan utuh belum tersantap.
Kami berlarian ke tempat berteduh, menyelamatkan alat
elektronik dari hujan. Semua alat masak ditinggal di atas pasir. Saat itu
benar-benar sepi pengunjung, alat masak rasanya tidak persoalan dibiarkan di
situ. Yang penting, kamera dan ponsel berhasil terselamatkan dari hujan.
Kami berteduh di sebuah pos penjagaan, di situ ada empat
kursi panjang. Pas sekali dengan jumlah kami. Terasa sekali perut ini
kekenyangan. Luar biasa. Godaan ikan bakar lezat membuyarkan konsep kami
tentang kenyang, sehingga takaran santapan melebihi batas wajar. Sembari
menghisap sigaret, kami duduk di situ, juga mendengarkan kesiur angin kencang
menghantam rintik hujan.
Kami lupa, ada dua ikan bakar yang masih tertinggal di tempat
semula, kehujanan.
***
Hujan berhenti ketika hari sudah terang. Sehabis membereskan
barang yang masih tertinggal di atas pasir ke dalam mobil, kami bermain di
bibir pantai. Ini juga momen yang tak kalah kudus.
Bibir pantai di waktu pagi mempertontonkan suasana yang
berbeda. Bila tadi malam bibir pantai adalah tempat yang menakutkan dan berperawakan
sangar, pagi ini bibir pantai adalah keindahan yang menggoda untuk didekati.
Saat itu sepi pengunjung, hanya terlihat dua kelompok orang
melakukan swafoto dan berpose bersama. Sisanya hanya kami berempat. Di depan
bibir pantai tampak sebuah batu karang besar berdiri kokoh menantang ombak
besar. Di atas batu karang itu, terlihat sebuah pelangi seolah sedang menunduk
meminum air laut. Pemandangan alami itu sangat bagus.
Pasir di sana sangat putih, membentang sepanjang bibir
pantai, diapit dua batu karang besar di dua ujungnya. Anda bisa berlari-lari, mengambil
foto, pose bersama, tidur-tiduran di bawah mentari pagi, menulis nama pujaan
hati di atas pasir atau berenang.
Namun, sama seperti kebanyakan pantai yang pernah saya
kunjungi, sampah adalah perusak utama keindahan kudus itu.[]
0 komentar:
Post a Comment