Oleh: Moh Wahyudi
Selain polisi sebagai penjaga keamanan masyarakat (guard of public security), tidak sedikit daya pikir umum masyarakat mengarah pada “Polisi Mata Duitan” karena kerapnya oknum polisi melakukan tilang yang tidak proporsional. Stigma lain yang tidak kalah miringnya adalah tentang represifnya polisi dalam konflik KPK vs POLRI (Politisasi kasus).
Segala hal yang berbau polisi menjadi sesuatu yang menakutkan (phobia), semisal seorang warga Ibu Kota yang dibuat pingsan akibat aksi tilang-menilang yang dilakukan anggota polisi, serta seorang warga yang pura-pura gila agar dapat lolos dari tilang polisi. Peristiwa tersebut menorehkan narasi tentang “Polisi Momok” dari pada “Polisi Sosok” di tataran masyarakat.
Harus diakui dan disadari dengan sesadar-sadarnya bahwa asumsi
minor masyarakat terhadap polisi bukan cerita fiktif atau seperti hikayat
Rahwana di cerita pewayangan. Setidaknya lembaga survei dan media
ternama-kredibel di Indonesia mengamini terhadap kondisi dan kinerja institusi
kepolisian secara umum bahwa mereka merupakan institusi dengan kinerja kurang
dipercaya (LSI/01/15).
Persoalan polisi hari ini harus dipandang komprehensif. Stigma “Polisi Mata Duitan”, “Polisi Tilang”, dan
“Raport Merah Polisi” hanyalah bagian terkecil dari narasi sebenarnya. Bagi
kalangan terkecil masyarakat, tidak cukup memberi stigma terhadap polisi dengan
berdasarkan cerita dan tuturan mulut ke mulut, bahkan sangat naïf kalau asumsi
demikian teramini oleh civitas academica yang notabennya mereka sangat
hati-hati dalam mendiskusikan dan menyatakan sikap terhadap segala persoalan.
Kuasa stigma yang menempatkan kepolisian sebagai institusi low
profile dan polisi sebagai momok, terutama di bagian masyarakat terkecil
merupakan asumsi pinggiran yang terlalu inklusif untuk membaca “Polisi Sosok”. Jenderal
Hoegeng mantan Kapolri (1968-1971) adalah simbol polisi berintegritas,
kharismatik, jujur dan sederhana. Bahkan Allahummaghfirlah Gusdur pernah
melontarkan guyonan tentang integritas polisi ini, bahwa hanya ada tiga polisi
jujur di Indonesia, satu patung polisi, kedua polisi tidur, dan ketiga polisi
Hoegeng. Di awal tahun 2015 berita pertelevisian digemparkan dengan sosok
polisi miskin-teladan, Bripda Taufik, seorang polisi sederhana yang hidup di
bekas kandang kambing bersama ayah dan tiga adiknya, atau aksi koboi polisi
yang berhasil mengamankan negara dari aksi anarkisme terorisme di Sarinah
beberapa waktu lalu.
Cerita dan track record di atas adalah sebagian sisi lain atas
stigma buruk terhadap polisi serta naifnya daya pikir masyarakat untuk melihat
“Polisi Sosok”. Premis di kalangan polisi harus dipandang sebagai oknum dari
sekian anggota polisi di Republik ini. Buku karangan Yushasni dan Arifin Saleh
Siregar dengan judul Oegroseno: Pengabdian Polisi tidak Kenal Lelah adalah
salah satu upaya mengeliminasi negative stereotype tentang polisi yang saat ini
menjamur di kalangan masyarakat luas. Setidaknya membaca buku ini akan
me-refresh daya pikir pembacanya agar tidak stagnan pada sifat suudzon yang
hanya berdasar pada cerita-tutur mulut ke mulut.
Tentu saja, integritas polisi dan prestasi polisi yang tergambar di
atas tidak serta-merta membebaskan phobia dan alergi masyarakat seutuhnya
terhadap citra polisi. Apalagi menjadikan polisi inklusif untuk melakukan
restorasi dan reformasi. Pembenahan di tubuh institusi guard of public security
itu perlu dicanangkan di tengah pesoalannya, terutama dalam membangun
personalia keanggotaan; polisi perlu melakukan pendekatan yang lebih
komprehensif kepada masyarakat dan menumbuhkan sikap integritas yang tidak
perlu menunggu orang lain (masyarakat) menilai atas kinerjanya, apalagi
menunggu momentum kelahiran institusi tersebut. Bertahap dan Perlahan
pembenahan tersebut harus dilaksanakan.
Menjadikan kepolisian sebagai institusi kredibel menjadi harapan
warga negara dan sekaligus tantangan berat bagi para anggota polisi di tengah
kuasa para oknum yang tumbuh liar di tubuh institusi tersebut. Tantangan
tersebut bukan hal sulit jika barisan para jenderal mempunyai tekad dan misi
linier dengan harapan masyarakat terhadap institusi ini, namun jika tidak, maka
tidak menutup kemungkinan stigma masyarkat akan tetap berlanjut bahkan
institusi ini akan semakin terpinggirkan dalam melaksanakan kewenangan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang selama ini kerap menyulut
konflik antara dua lembaga penegak hukum sejak satu dekade terakhir.[]
Penulis adalah Pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif,
saat ini aktif di Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) D.I.
Yogyakarta.
sumber gambar:
Polisi Cilik Darmayu, by Yulian Hendriana
sumber gambar:
Polisi Cilik Darmayu, by Yulian Hendriana
0 komentar:
Post a Comment