[sumber foto: di sini] |
Oleh: Ahmad Rudi
Sejarah kelam bangsa Indonesia tidak lain ialah G30S/PKI yang diberi nama oleh rezim
Soeharto. Namum penamaan tersebut merupakann bentuk propaganda
dan provokasi kepada rakyat Indonesia, bahwa tragedi ‘65 merupakan pemberontakan yang digagas oleh Partai Komunis Indonesia.
Kami yang
mengikuti pemikiran Bung Karno lebih
sepakat menamakan tragedi itu Gestok yang diberikan
langsung oleh Presiden
sekaligus Panglima Tertinggi pada
saat itu. Namun dengan nama G30S/PKI-lah rakyat Indonesia lebih
mengenal, dengan membredel koran-koran yang anti AD, dan mendorong
koran-koran yang pro AD, maka propaganda-propaganda mulai diberikan
lebih dalam kepada rakyat Indonesia.
Pemfitnahan yang terjadi luar biasa sadisnya. Pembunuhan jutaan jiwa
rakyat Indonesia dengan
dalih PKI atau yang dituduh PKI. Tragedi ‘65 bukanlah pembantaian yang wajar, di tanah pertiwi
ini pernah terjadi pembantaian besar-besaran, pembantaian terbesar di dunia setelah Nazi. Siapakah
dalang di balik Gestok itu? Apa
memang PKI ingin mengudeta Soekarno dan mengganti
pancasila, hingga lahir Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober? Apa
makna Hari Keaktian Pancasila tersebut? Hingga 1 Juni 1945 tidak lagi dipakai untuk memperingati hari lahir pancasila
pasca Orde Lama? Mengapa
bukan hanya PKI yang dibantai, bahkan rakyat miskin yang tidak tahu apa-apa ikut
serta dibantai? Ada apa dengan
ungkapan “didahului atau mendahului”? Semua pertanyaan itu makin terbuka
jawaban setelah masa reformasi ini.
Namun hingga saat ini
belum ada yang mampu menggungkap tabir tersebut: siapakah
sebenarnya dalang itu? PKI, Bung Karno, atau Soeharto dan
CIA. Bukankah kurikulum Sejarah Indonesia masih menyalakan PKI sebagai
dalangnya?
Janganlah lari dari masa lalu, JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Sejarah yang benar sesuai kenyataannyalah yang mestinya tidak
dilupakan. Stigmatisasi negatif terhadap PKI, penghancuran eksistensi, hingga
berujung pada pembantain massal yang melanggar HAM. Rakyat Indonesia tidak lagi
bisa menerima komunisme di negeri ini bukanlah tanpa sebab. Film G30S/PKI
yang setiap malam 30 September diputar pada zaman Orba, membuat
rakyat semakin benci terhadap PKI, rakyat takut dengan kekejaman PKI, rakyat
tidak menghendaki adanya
orang-orang atheis di negeri ini.
Hal tersebutlah yang membuat rakyat phobia terhadap PKI dan tidak mau menerimanya lagi, meskipun penilain-penilain
tersebut tidaklah benar adanya. Bukanlah
hal yang wajar-wajar saja, korban-korban yang masih hidup hingga saat ini
dengan cacat fisik dan materil, yang masih ada di luar negeri dan tidak mendapat
hak sebagai warga negara Indonesia. Apa yang telah terjadi masih membekas, dan
luka itu hingga kini belum mampu terobati.
Marilah kita sama-sama tidak mencari siapa yang salah akan sejarah,
tapi luruskanlah sejarah kelam itu hingga ke akarnya, sebagai bentuk
pertanggung-jawaban
terhadap korban-korban yang hingga kini masih disalahkan meskipun tidak
mengerti apa-apa. Saat ini kita
tidak sedang mencari siapa yang salah, namun rekonsiliasilah yang perlu kita lakuakan.
Proses rekonsiliasi ini tidaklah merugikan pihak yang membantai, namun lebih
pada pertanggung-jawaban kita sebagai manusia yang theis sama sekali, yang
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, terkhusus hak untuk hidup layak.
Tragedi ‘65 memberikan
pelajaran yang luar biasa kepada bangsa kita, supaya tidak lagi
pembantaian-pembantaian baru yang melanggar HAM. Rekonsiliasi sangat dibutuhkan,
supaya korban-korban tidak
lagi punya ketakutan batin yang kuar biasa karena stigma PKI yang disandangnya.
Namun rekonsiliasi ternyata tidak atau belum juga bisa diterima oleh rakyat
atau segolongan orang di negeri ini dengan alasan-alasan bahwa PKI ingin
mengganti pancasila dan PKI atheis. stigma itu sampai kini masih melekat di
benak rakyat indonesia. Soeharto dengan
lihai membuat narasi sedemikian rupa, 32 tahun tidak ia sia-siakan nama PKI.
Namun meski demikian, dibutuhkan kesadaran dan kebijakan dalam bertindak. ‘’Belajarlah dari sejarah, maka kita akan
lebih bijak,‘’ ungkap Ki Hajar Dewantara. Rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah,
namun tidak mungkin pemerintah akan melakukan rekonlisiasi jika kurikulum sejarah Indonesia
belum diluruskan, jika stigmatisasi yang
ada di benak Indonesia terhadap PKI diubah dengan kebesarannya. Karena dengan
seperti itulah, pola pikir rakyat terhadap PKI dapat diubah secara perlahan.
Setiap kebijakan yang diambil pastilah punya nilai baik dan buruk. Namun kita sebagai manusia berperi kemanusiaan sudah sewajarnya melakukan rekonsiliasi dan para korban Gestok itu sudah selayaknya dapat hidup seperti pada umumnya kita hidup.[]
1 Oktober 2015
Putat Lor Gondanglegi Malang
0 komentar:
Post a Comment