[sumber] |
[Judul: I Am Malala | Penerbit: Mizan Pustaka | Cetakan 1: Mei 2014 | Penulis: Malala Yousafzai dan Christina Lamb | Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno |Tebal Buku: 366 Halaman]
Dari berbagai foto yang tersebar di berbagai media sosial, kisah memilukan itu datang. Beberapa bulan lalu,
ketika Israel kembali menyerang Palestina, foto-foto anak-anak tidak berdosa
ini cukup menyesakan dada. Ada seorang anak yang menangis di depan jenazah sang
ibu, anak yang air matanya jatuh di tengah reruntuhan bangunan, para lelaki
yang berlari membawa jenazah anaknya, sampai anak-anak yang sedang bermain dan
bergelantungan di tank-tank perang.
Dari anak-anak yang muncul di dalam foto itulah kita
menjadi prihatin, apalagi ada ratusan anak yang tewas terbunuh. Sama dengan
Malala Yousafzai, mereka adalah anak tidak berdosa yang menjadi korban konflik
dan peperangan. Anak-anak selalu menjadi korban dalam setiap kebengisan
mengatasnamakan membela tanah air, agama, atau apapun itu.
Tapi, dalam kasus ini, Malala lebih beruntung dari
anak-anak Palestina. Malala masih bisa hidup meskipun ditembak dua kali oleh
tentara taliban pakistan. Belakangan, Malala juga menjadi hero dengan
menjadi kandidat peraih nobel perdamaian di umurnya yang masih 14 tahun, kandidat paling belia dalam sejarah.
Buku I Am Malala menceritakan lika-liku perjalanan
aktivis pendidikan dari Pakistan ini. Semua cerita bermula ketika Malala dengan
keras menyuarakan pendidikan yang sama bagi anak perempuan di Pakistan. Malala
berjuang karena, di Pakistan, larangan sekolah bagi perempuan begitu kencang
dilakukan oleh militan Taliban.
Awal kisah memilukan itu terjadi pada 9 Oktober 2012. Ketika itu, Malala sedang menaiki truk terbuka setelah pulang sekolah.
Tiba-tiba, dua tentara militan taliban menaiki truk yang ditumpangi
Malala. Para tentara bertopeng itu berteriak mencari Malala. ”Yang Mana Malala?!” tulis Malala dalam bukunya.
Malala ketika itu tidak sempat melawan dan tidak bisa
menjelaskan. Setelah menemukan Malala,
seorang tentara dua kali melepaskan tembakan kepada Malala. Satu di kepala, satu di lehernya. Ajaibnya, Malala yang sempat kritis akhirnya bisa bertahan hidup.
Peristiwa singkat inilah yang menjadi pangkal kisah dari
buku setebal 366 halaman ini. Buku ini menjelaskan saat Malala dari kecil
sampai Malala sadar dari komanya selama beberapa hari. Sejak setelah kejadian
itu, sampai saat ini Malala berada di Birmingham, Inggris, dan melanjutkan sekolah di
sana.
Meskipun buku ini baru terbit di Indonesia setelah dua
tahun kejadian itu terjadi, namun buku tersebut masih layak dibaca, terutama
bagi para pejuang pendidikan. Buku ini sangat menginspirasi karena Malala dan
Cristiana Lamb, jurnalis kawakan yang juga menjadi penulis dalam buku ini, berhasil menyajikan cerita yang amat runtut.
Dalam buku ini dijelaskan sejak Malala lahir dan
bagaimana keluarganya memperjuangkan pendidikan. Malala sendiri bersekolah di sekolah yang didirikan ayahnya bernama
Ziauddin. Setiap hari bersekolah, orang-orang di sekitar Malala masih menganggap bersekolahnya Malala yang perempuan sebagai
sebuah keanehan.
Meskipun alur ceritanya begitu runtut, di bagian lain buku ini sedikit
betele-tele. Ini setidaknya tergambar di sejumlah bagian yang menyisipkan
cerita-cerita tidak penting seperti arti nama Malala, sampai menjelaskan
sejumlah kebudayaan desa yang tidak ada kaitannya dengan perjuangan Malala.
Kejenuhan pembaca karena tebalnya buku sedikit terhibur
dengan foto-foto aktivitas Malala yang diselipkan di tengah-tengah buku. Foto-foto ini juga menjadi penguat kalau Malala sudah
diakui oleh dunia Internasional. Ada foto saat Malala bersama Sekjen PBB Ban
Ki-Moon, saat Malala sedang berpidato di PBB, dan foto saat Malala sedang
berdoa di Madinah dengan ibunya. Kelebihan lain buku ini, meskipun terjemahan
tapi bahasanya tetap lugas.
Dalam hal kepenulisan, buku ini juga tidak dijelaskan
peran Malala dalam penulisan buku. Apakah buku ini sebagian ditulis sendiri
oleh malala atau Malala hanya bercerita lalu dituliskan oleh jurnalis Christina
Lamb? Pertanyaan ini tidak terjawab dalam buku
tersebut.
Tidak hanya itu, Buku ini juga sebatas menjelaskan
setelah Malala setelah siuman di Brigmigham. Buku ini terasa kurang lengkap
karena setelah itu, Malala menjadi kandidat peraih nobel termuda, meskipun pada
akhirnya Malala gagal mendapatkannya. Mungkin, buku ini digarap sebelum wacana
kandidat diraihnya nobel itu muncul.
Terlepas dari semua itu, buku ini layak menjadi refrensi
bagi para penggiat pendidikan dan juga bagi anak-anak perempuan. Jika melihat
kisah Malala, sudah tidak saatnya memperdebatkan apakah perempuan sebaiknya
berpendidikan tinggi atau rendah.
Pendidikan, sebagaimana kata Malala dalam bukunya,
merupakan hak semua orang tidak mengenal jenis kelamin. Cita-cita Malala, dia
ingin melihat anak-anak desa di Pakistan dan di semua belahan dunia lain bebas sekolah dan mendapatkan pendidikan yang
layak. Oleh karenanya, dalam sebuah statmennya, Malala tidak ingin dikenang
sebagai anak perempuan yang ditembak oleh taliban, dia ingin dikenang sebagai
anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan.
Dengan kuatnya karakter Malala, bisa jadi buku
ini sebagai salah satu buku biografi anak perempuan termuda yang pernah
terbit. kebanyakan seseorang baru layak dibiografikan ketika sudah tua atau
sudah meninggal dunia. Tapi, meskipun sangat belia, cerita tentang malala
sangat layak untuk dibaca. Malala memberi inspirasi, kalau harapan kadang
muncul dari tempat tidak terduga, tidak terkecuali dari medan peperangan.[]
0 komentar:
Post a Comment