Oleh: Muhammad Hilal
Sekelompok orang itu terdiri dari 13 orang. Satu di antaranya adalah pembimbingnya. Masing-masing membawa Fath al-Qârib karangannya Syaikh Abî Syujâ' di tangannya, menekuni tulisan di dalamnya. Jelas sekali, mereka semua sedang belajar Ilmu Fikih melalui kitab itu.
Pada awalnya, salah satu orang di antara mereka membuka acara. Hingga sekumpulan orang ini bubar, si pembawa acara berfungsi menjadi moderator. Tugasnya adalah mengatur keberlangsungan diskusi mereka.
Kali ini, moderator meminta salah satu peserta membaca kitab itu, berikut arti dan pengertiannya. Arti (tarjamah) dan pengertian (murâd) harus dibedakan, sebab arti dilakukan dalam bahasa Jawa, sedangkan pengertian disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Peserta yang bertugas membaca memulai tugasnya. Dia membaca bab 'Peradilan dan Persaksian' dari kitab itu. Dia baca kitab itu dengan hati-hati, sebab tulisannya tidak berharakat. Dia harus membaca tulisan bahasa Arab itu dengan benar, menentukan status kata per kata dengan teliti, apakah sebagai mubtadâ' atau khabar, fâ'il atau maf'ul, 'athf atau na't, atau lain-lain.
Setelah dibaca dan diartikan, peserta ini pun menjelaskan pengertian dan maksud dari apa dibacanya barusan. Adapun peserta lain musti menyimak dan mendengarkan, atau membuat catatan kecil dalam kitabnya. Begitulah proses diskusi itu berawal.
Setelah proses itu selesai, moderator mempersilakan semua peserta lain mengajukan pertanyaan. Pertanyaan berkisar pada pengertian yang lebih mendalam terkait bacaan tadi. Bisa pula mengajukan persoalan lain yang dianggap pelik dari penjelasan yang sudah dipaparkan tadi. Peserta yang membaca tadi ditugaskan menjawab mula-mula pertanyaan-pertanyaan tadi. Setelahnya, baru peserta lain dipersilakan menjawab pula agar perspektifnya makin luas.
Saling mengajukan jawaban dan perspektif ini bisa berlangsung seru. Satu jawaban bisa berbeda dengan jawaban temannya. Jika sudah begini, debat dan adu argumen tidak terelakkan. Moderator pun tak jarang akan kewalahan menghadapi perdebatan sengit begini.
Bila belum ada jawaban yang memuaskan, pembimbing diminta memberikan jawaban terakhir dengan perspektif yang lebih matang. Pembimbing adalah orang yang dianggap lebih paham isi dan kandungan kitab yang sedang dipelajari.
Begitulah diskusi itu berlangsung dengan sederhana. Tak ada gegap gempita, tak ada hiruk-pikuk publikasi. Meski begitu, jarang dari peserta itu yang mempertanyakan 'kenapa' cara mereka belajar harus seperti itu. Padahal, mereka sedang bersama-sama melakukan 'pembacaan analitis' terhadap suatu teks.
Cara ini sudah berabad-abad dipraktekkan oleh para cendekiawan. Di Indonesia, cara ini bertahan dan marak dilakukan di pesantren. Jadi, memang tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren berdiri di barisan terdepan melestarikan dan menjaga tradisi.
***
Ada tiga cara membaca buku, kata Mortimer Adler dalam bukunya How To Read A Book. (1) Membaca Analitis, (2) Membaca Sintetis, dan (3) Membaca Kritis.
Membaca nomor 1 adalah merunut arti kata per kata. Tuntutan membaca ini adalah memahami isi buku secara rinci, dalam setiap seginya. Jika ada majaz, dijelaskan artinya. Bila ada kata asing, dilacak artinya. Pembacaan model ini menuntut ketekunan ekstra, sebab lamanya tergantung tebalnya buku. Makin tebal bukunya, makin lama waktu yang harus ditekuni.
Membaca model 2 berarti menangkap inti dari isi buku yang sedang dibaca. Pembaca berusaha menangkap alur penalaran penulis, meringkasnya menjadi premis-premis inti, hingga ia menyimpulkan sendiri sebagaimana pengarangnya berusaha menyimpulkan. Pembacaan ini menuntut kemampuan logika yang memadai, sebab yang harus ditangkap pembaca adalah alur logika penulis secara global. Mereka yang terbiasa meresensi buku dengan sendirinya akan terlatih kemampuan Membaca Sintetisnya.
Lain lagi dengan pembacaan ke-3. Membaca Kritis berarti sudah melewati dua tahap pembacaan di atas. Pembacaan Kritis adalah memberikan komentar terhadap buku yang dia baca, mengoreksi sesat pikir penulis jika memang ada, membandingkan dengan buku lain, dan memperbaiki kemungkinan-kemungkinan perbaikan yang mungkin dilakukan. Pembaca boleh tidak setuju dengan kesimpulan penulis bila terasa ada premis-premis yang dianggap tak layak diterima dengan berbagai pertimbangan yang pembaca miliki.
Hanya saja, perlu ditekankan lagi di sini, kritik layak dialamatkan kepada penulis jika dan hanya jika pembaca sudah tuntas membaca bukunya secara Analitis dan Sintetis. Kritikus yang buruk adalah pengkritik yang belum membaca bukunya. Pengkritik buku semacam ini tak layak diindahkan kecerebohannya.
0 komentar:
Post a Comment