[sumber] |
Sepakat atau tidak,
Indonesia merupakan salah satu dari empat negara penghasil kopi terbesar di
dunia. Dewasa ini, ekspor kopi Indonesia mampu mengalahkan Brasil sebagai salah
satu saingan beratnya. Terlepas dari jenis dan berbagai tingkat kualitasnya, rupanya
kopi Indonesia adalah kopi yang paling dicari di Eropa, Amerika, dan sebagian
di Timur Tengah. Di Mesir, beberapa hari yang lalu digelar Workshop Kopi
Indonesia dalam Indonesian Expo 2014. Workshop bertajuk “Indonesian Coffee
Culture: Beyond Tradition and Economical Values” itu membuka mata warga Mesir
bahwa sebagian besar kopi yang mereka konsumsi dalam setiap harinya adalah kopi
Indonesia.
Anggapan warga
Mesir selama ini, barangkali, karena memang kopi Brasil telah lebih dulu
mendapat brand di hati masyarakat sana. Kemudian para pelaku industri
kopi di sana tidak mau kehilangan pasar tersebut. Sialnya, para eksportir kopi
di Mesir juga mendatangkan kopi dari negara-negara yang juga bukan penghasil
kopi seperti Jerman, Italia, Swiss, Belanda, dan Inggris. Sementara negara-negara
tersebut juga banyak mendatangkan kopi dari Indonesia. Coba pikir!
***
Di Cepu, dikenal
dengan kopi Kothok-nya
yang khas. Di Blora ada kopi santan. Keduanya memiliki karakter dan cita rasa
yang unik dan pastinya istimewa. Secara geografis kedua daerah itu bukan
termasuk penghasil kopi terbaik, tapi memiliki cara tersendiri untuk menikmati kopi. Seperti halnya di
dua daerah tersebut, hampir setiap kota dan kabupaten memiliki caranya sendiri
untuk menikmati kopi. Dalam kesempatan yang lain, kita akan membahasnya satu
per satu.
Kali ini, saya
ingin mengeksplorasi cara menikmati kopi di sebuah kota yang dikenal dengan
industri batiknya: Pekalongan. Jika berkunjung ke sana, akan rugi sekiranya kita tidak
menyempatkan waktu menikmati kopi Tahlil. Iya, Tahlil! Bagi Anda yang belum sempat menganal istilah ini tidak mengapa. Saya
akan mencoba menguraikannya barang sebentar.
Tahlil adalah
sebuah upacara keagamaan dalam Islam yang kerap kali dilakukan dengan
motif-motif tertentu. Adakalanya motif tersebut berupa hajat hidup dari aspek
spiritual maupun aspek sosial masyarakat. Yang saya maksud aspek spiritual
masyarakat di sini adalah motif yang berkaitan dengan kepentingan pribadi si
penyelenggara seperti selamatan kematian anggota keluarga, syukuran
pernikahan, syukuran sunatan, menempati rumah baru, tolak bala, dan sebagainya.
Sedangkan motif dari aspek sosial kaprah dilakukan dalam rangkaian
upacara-upacara adat seperti merti dusun, sedekah bumi, sedekah laut, tirakatan
malam 17-an, atau sekadar upacara rutin mingguan per RT dan seterusnya. Prinsipnya, baik
motif spiritual maupun sosial, Tahlil dilakukan untuk memohon petunjuk dan pertolongan dari Tuhan dalam
bentuk zikir dan membaca doa bersama. Karenanya, meminjam istilah Durkheim, Tahlil adalah sebuah fakta
sosial yang turut serta membentuk solidaritas masyarakat untuk menjadi lebih
baik.
Pada mulanya,
tahlilan dan ngopi adalah dua aktivitas dengan motif yang berbeda. Saya katakan
berbeda karena memang tidak sama. Tahlilan itu tahlilan. Ngopi itu ya ngopi.
Jika Anda merasa tidak perlu penjelasan saya ini, lebih baik Anda mengabaikan.
Walaupun Anda sudah terlanjur membaca. Ah, sudahlah. Abaikan. Abaikan. Abaikan.
Tapi harus saya sampaikan juga, bahwa dalam tulisan ini, barangkali Anda akan
mendapati banyak istilah pinjaman yang saya pakai. Karenanya saya mengharapkan
permakluman. Apa pasal? Pikirkan sendiri.
Dalam bahasa agama
(Islam), sesekali kita akan berjumpa dengan konsep ‘amal. Terjemahan
bebasnya, seringkali diartikan dengan perbuatan. Sampai di sini saya kira ‘amal
mengalami sedikit reduksi atas substansi pengertiannya. Tapi biarlah, demi
kepentingan pemahaman yang sederhana, perbuatan saja sudah cukup. Akan tetapi
dalam kaca mata filsafat dan sosiologi, ‘amal, masing-masing berarti action
dan sebuah tindakan sosial yang menjadi wujud atau eksternalisasi dari sebuah
motif tertentu. Nah, ini menunjukkan betapa sebuah tindakan sosial itu
berangkat dari beragam motif yang, sampai pada satu titik tertentu, akhirnya motif-motif
itu dipertemukan. Sehingga, terbentuklah sebuah sistem solidaritas dalam
masyarakat. Agaknya, di sinilah konteks tahlil itu ada.
Sebagaimana tahlil,
demikian pula dengan ngopi. Mereka yang berduyun-duyun ke sebuah tempat ngopi,
dari yang sederhana sampai serbaguna, tentunya berangkat dengan motif-motif
yang tak sama. Seiring dengan pertemuan itu, mereka didorong untuk menciptakan
sebuah sistem solidaritas dalam tindakan tersebut. Lantas, solidaritas yang
bagaimana? Sampai di sini, saya kira baik Durkheim maupun Auguste Comte, akan
menggolongkan ngopi ke dalam solidaritas sosial organik sementara tahlilan ke
dalam solidaritas sosial mekanik. Sayangnya, kita tidak dapat menyimak secara
langsung pendapat mereka berdua untuk kedua hal ini.
Uniknya, tahlilan
dan ngopi ini melebur dalam satu fakta sosial dan lahirlah apa yang ingin saya
sampaikan di sini: Kopi Tahlil. Iya, kopi dan tahlilan. Kabarnya, istilah ini muncul
karena setiapkali digelar acara tahlil, kopi menjadi menu hidangan wajib.
Kira-kira, lâ tahlîlâ illâ bi al-qahwah, tidak ada tahlilan kecuali
dengan kopi. Saya curiga, fakta sosial seperti ini hanya bisa terjadi di
Indonesia. Di negara-negara Amerika, Timur Tengah, dan Eropa sekalipun,
termasuk di Perancis di mana Durkheim dibesarkan dengan aliran sosiologi fungsionalismenya,
paling-paling ngopi sebagai solidaritas sosial organik, melebur dengan
solidaritas organik yang lain. Atau sebuah solidaritas mekanik yang satu dengan
solidaritas mekanik yang lain.
Saya membayangkan,
seandainya Durkheim semasa hidupnya pernah berkunjung ke Pekalongan dan
mendapati suguhan Kopi Tahlil, pasti dia akan mengupayakan sebuah bentuk ketiga
dari dua solidaritas sosial itu. Misalnya, solidaritas sosial tahlili, atau
solidaritas sosial alternatif, atau apa saja yang penting dapat membedakan
antara solidaritas sosial organik dan mekanik sekaligus memberikan benang merah
di antara kedua wilayah yang tak bertuan tersebut, di mana solidaritas
sosial organik terbangun atas kebutuhan individu yang berbeda-beda. Umumnya
dalam hal pekerjaan. Solidaritas inilah yang mendorong masyarakat melahirkan
konsensus representatif, yakni ikatan solidaritas
yang dibangun berdasarkan representasi dari masing-masing tugas dan pekerjaan
setiap individu. Kebutuhan representasi ini sampai mencakup spesifikasi
pekerjaan sesuai dengan bidang dan keahliannya.
Berbeda dengan
solidaritas sosial mekanik. Solidaritas ini berangkat dari homogenitas
pekerjaan masyarakat tanpa mementingkan keahlian setiap individu. Menurut
Durkheim, solidaritas ini hanya ada dalam kalangan masyarakat tradisional
dengan ikatan emosionalnya yang kuat. Solidaritas ini melahirkan sebuah
peleburan sosial yang disebutnya dengan konsensus sosial, yakni ikatan solidaritas yang dibangun berdasarkan ikatan sosial
masyarakatnya. Dalam tahlilan, kita akan mendapati seorang yang setiap harinya
bekerja sebagai buruh tani, kuli pasar, tukang parkir, tukang bangunan, dan
sebagainya, menjadi pemimpin zikir dan doa bersama.
Sayangnya, Durkheim
tidak pernah berkunjung ke Pekalongan sampai tutup usianya. Jika saja pernah,
barangkali dia pun tak sempat merumuskan konsep bunuh diri terkait solidaritas
sosial bagi masyarakat modern. Tidak ada bunuh diri; tidak ada bunuh diri
anomik, fatalistik, dan altruistik. Tidak ada solidaritas masyarakat organik.
Tidak ada masyarakat modern. Tidak ada sosiologi fungsionalisme. Tidak ada
Durkheim. Ah... tahlilan. Ah... illallah. Ah... illahllah. Ah... illallah.
***
Dalam pembukuan
tahun 2013 UN Trade Statistic, ekspor kopi Indonesia ke Jerman mencapai angka
145,87 juta dollar, Itali 87,8 juta dollar AS, Swiss 10,5 juta dollar, dan
Korea Selatan 6 juta dollar. Khusus ke Mesir, data dari KBRI tahun 2013
menunjukkan angka ekspor hingga 35,89 juta dollas AS. Pada saat yang sama,
tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia sendiri dewasa ini mencapai 180.000
ton per hari. Data ini diolah berdasarkan struktur industri kopi dalam negeri
yang pada awal tahun 1990-an masih sampai pada angka 120.000 ton per hari.
Jadi, ada peningkatan daya konsumsi rata-rata sebanyak 2.500 ton per tahun. Sialnya,
para petani kopi sendiri, khususnya di Jawa masih banyak yang mewarisi cara
lama. Yakni kopi jitu: kopi siji jagung pitu. Ah... Illallah.[]
Jogjakarta, 16 Oktober 2014
Muhammad Mahrus
Siapalah aku.
Aku hanya penulis lepas yang belum pernah sekalipun ke
Pekalongan dan merasakan secara langsung Kopi Tahlil.
0 komentar:
Post a Comment