[sumber] |
Ustaz Abdurrosyid duduk di depan meja tugasnya dalam ruang kantor Sekolah Aliyah. Di atas meja itu
masih berserakan lembar jawaban hasil UTS para siswa yang belum separo dikoreksi.
Pak Rosyid, begitu ia biasa dipanggil, sesekali tersenyum mendengar gelak tawa
sesama guru yang tengah memperbincangkan dan celetukan meledek Norkholis, siswa
kelas Xa. Tak lama kemudian muncul sosok yang sejak tadi menjadi tema
“pergunjingan” para pengajar itu. Setelah mengucapkan salam, sang pelajar itu
langsung menuju Pak Rosyid seusai ia dipersilahkan masuk oleh sebagian guru.
Mengingat kondisi ruangan yang kurang kondisif, Pak Rosyid mengajak Norkholis
keluar menuju kantin sekolah.
“Lis, sengaja aku memanggilmu. Nah, di sini kita bisa saling
bercerita banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan sekolah, kelas atau apa
saja,” Pak Rosyid mengawali percakapan setelah memesan dua minuman.
Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh siswanya, Pak Rosyid langsung
membuka sebab kenapa ia dipanggil. “Sebetulnya semua guru kelas X, terutama aku
sebagai wali kelas Xa, bertanya-tanya, kenapa kamu sejak awal masuk sekolah ini
belum menunjukkan prestasi yang diharapkan. Bahkan jumlah kehadirainmu begitu
minim, jauh dari target prosentase maksimal. Padahal kata teman-temanmu, kamu
hanya diam di ma’had.”
Menahan beragam perasaan, ustaz pengampu mata pelajaran ushul fiqh, fiqh
dan bahasa Arab itu menghela nafas panjang. “Kenapa kamu nak…?”
Norkholis terdiam tanpa kata-kata. Pandangan matanya hanya menatap lantai
kantin dengan pandangan penuh kebimbangan. Entah apa yang ada dalam benak
pemuda ganteng ini, beberapa detik berikutnya matanya mulai berkaca-kaca.
Serasa keadaan begitu membisu tanpa kalimat yang terucapkan, Pak
Rosyid menyambar gelas di depannya seraya menyuruh Norkholis meminumnya juga.
Sedetik kemudian guru berperawakan kurus itu menyulut dan menghisap dalam-dalam
cigarette-nya.
“Sebetulnya aku sudah mendengar dari kawan-kawan sekampungmu bahwa
ketika duduk di kelas SD dan SMP dulu, kamu selalu juara kelas. Nilai mata
pelajaran matematika dan bahasa Inggrismu pasti tidak terkalahkan. Bahkan kata
Sulaiman, Fadli atau Umar, abah kamu punya pesantren dengan lembaga pendidikan
formal yang lengkap. Tapi mengapa di sini, hasil UTS kamu begitu jelek. Terutama
mata pelajaran yang aku pegang sangat rendah sekali. Aku kecewa sama kamu Lis.”
Kepulan asap menyeruak dari mulut sang bapak di sela-sela ucapannya
yang terlontar. Seusai menyeruput minuman, Pak Rosyid kembali menghelas nafas
panjang. “Aku yakin Lis, abah kamu seperti aku sekarang… Beliau pasti sedih
menyaksikan putra harapannya tidak sebagaimana yang dihayalkan. Padahal
pesantren dan lembaga pendidikan yang dirintis abahmu menunggu peran kamu
kelak.” Pak Rosyid terhenti sejenak.
“Sulaiman bercerita bahwa kamulah satu-satunya harapan bagi abahmu.
Karena dua adik kamu perempuan semua dan masih kecil-kecil. Tentu saja, jika
wanita akan ada dua kemungkinan yang dijalani. Yang pertama, ia akan dibawa
suaminya, atau yang kedua, keberadaan menantu itu sesuai dengan harapan abahmu.
Tetapi keduanya merupakan hal yang sulit bagi abahmu. Menemukan sosok menantu
yang cocok dengan angan mertua tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh
proses lama dan berliku. Begitupun terkadang masih ada saja kekurangan yang dirasakan
seorang mertua. Aku sangat sadar bahwa kamu menjadi satu-satunya harapan
beliau.” Pak Rosyid kembali berhenti sambil menggeser sedikit posisi duduknya.
“Bahkan kata Sulaiman, abah kamu sering berkata pada para santrinya
bahwa penggantiku kelak adalah Norkholis. Padahal kala itu kamu masih kecil.”
“Aku tidak habis pikir mencermati gelagatmu selama ini nak. Kepercayaan
begitu besar hanya disia-siakan belaka. Seandainya kamu sadar, harapan abahmu
itu sebetulnya cermin masa depanmu… heeh, entahlah…” Pak Rosyid menghela nafas
dalam-dalam. Sementara Norkholis hanya diam seribu bahasa dengan kepala yang
menunduk. Ekspresi apa yang tampak pada diri Norkholis tentu tak dapat dilihat
oleh bapak guru itu.
Kini Pak Rosyid mengambil kue yang berada di atas meja. Lalu dengan
lahapnya ia menyantap makanan kecil itu. Terlihat dari raut wajahnya ia
menyimpan setumpuk perasaan. Antara kesal dan kasihan, geram dan sayang. Kenapa
pemuda ini tidak mengerahkan seluruh kemauan dan kemampuan dirinya untuk
berbakti kepada ayahandanya? Uuh ... dasar anak ini! Umpat Pak Rosyid dalam hatinya memandang Norkholis
hanya menunduk saja.
“Nak, kenapa kamu ini?” Pak Rosyid mencoba menenangkan pikirannya
sendiri dengan memilih intonasi rendah sambil memegang pundak sang siswa.
“Abah kamu telah berkorban demi sukses yang akan diraih oleh
putranya. Coba cermati! Perhatikan! Teliti!” Pak Rosyid sejenak terdiam.
Wajahnya serius. Suaranya kembali meninggi.
“Sudah berapa rupiah yang telah beliau kucurkan di ma’had ini? Ini
masih sepenggal dari seluruh perjalanan hidupmu. Aku yakin kamu sudah sulit
menghitung nilai pengorbanan beliau untukmu. Kenapa hanya sedikit keinginan
saja, kamu merasa berat?”
“Pak, mohon maaf…” Norkholis akhirnya bersuara kendati tanpa
mendongak.
“Terus terang saya ini dalam keadaan sulit. One of difficult thing in life is stand
to become yourself when everyone try to modify you as another one. Lalu harus
bagaimana saya ini Pak?” Norkholis diam sejenak.
“Saya sangat mengerti apa yang dilakukan dan yang diharapkan abah
pada saya. Tetapi apa hanya keinginan beliau sebagai jalan menuju sorga…?
Menurut saya the parent’s will is not the will of god. Saya memahami bahwa
menuruti kehendak seseorang, termasuk katakanlah kemauan abah, merupakan
pilihan-pilihan yang ditetapkan Tuhan. Apa mungkin Tuhan menciptakan sesuatu
tanpa risiko?
Tentu tidak,
kan?! Absolutely, all of matter there are positive-negative.” Perjaka itu menghela
nafas.
“Maksud saya, Pak, seluruh sikap dan keputusan merupakan pilihan hidup yang berakibat.
Bapak pasti sudah tahu bahwa pelajaran yang saya senangi bukan materi kitab
kuning. Saya berencana meneruskan SMA
dan ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan konsentrasi sastra
Inggris.”
“Kenapa tidak dihaturkan nak…??”
“Sudah Pak! Sudah! Tapi abah tidak mengerti saya. Beliau hanya
mengedepankan keinginan beliau dari sisi beliau saja. Padahal saya sangat
berharap beliau memandang sesuatu dengan beranjak dari posisinya. Appregate what ours…! Padahal bagi saya,
asal kita tidak keluar dari norma agama, kita telah berada pada jalur yang
benar, submissive to all.”
Akhirnya keadaan menjadi senyap. Terlihat bapak Abdurrosyid termangu
dalam diam. Sampai-sampai
Norkholis merasa khawatir dengan ucapannya sendiri.
“Pak…” Suara Norkholis lirih. Seakan tetap terhanyut dalam dunia
lamunannya. Sang
ustaz hanya tertegun dengan pandangan kosong. Dengan perasaan yang berkecamuk,
si gus itu meninggalkan sang guru secara perlahan.
Apa yang diucapkan Norkholis benar adanya. Ternyata apa yang
dilakukan abahnya merupakan sikap dari pandangan sempit. Jangan-jangan anakku
yang tertua bernasib sama dengan Norkholis. Tanpa sadar aku telah memaksakan
sebuah keinginan di luar kodrat yang dianugerahkan Tuhan pada anakku. Selama ini aku
teguh dengan pendirianku bahwa kehendakku benar sesuai pengalaman yang kualami
sendiri. Kini aku mulai terbelalak, ternyata Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya
dengan menurunkan ragam takdir kepada setiap masing-masing ciptaan-Nya,
sebagaimana bentuk rupa atau tabiat makhluk yang berbeda-beda sekalipun kembar.
Rupanya, selama ini aku telah memperkosa kehendak Tuhan demi mewujudkan sebuah
keinginanku sendiri atas nama kebaikan.
Mata bapak Abdurrosyid yang sejak mendengar penjelasan Norkholis
sudah berkaca-kaca, kini mulai berjatuhan butiran-butiran bening. Hanya kretek
yang terapit di antara dua jarinya, mampu menemani dirinya yang mulai terhinggapi
rasa pilu.[]
0 komentar:
Post a Comment