[admin] |
Oleh: Irham Thoriq
Sekujur kulit tubuh Kamid terlihat sudah mengeriput.
Rambutnya pun
dipenuhi banyak uban. Saban hari, aktivitas pria 68 tahun ini menjual lampu
hias di bawah
jembatan penyeberangan di Arjosari, Kota Malang.
Ketika itu, Kamid ditemani istrinya Suwarsih yang
mengenakan kerudung. Jangan salah, meskipun Suwarsih berkerudung, namun
agamanya bukanlah Islam.
Dia sama dengan Kamid yakni “Islam KTP”.
Di siang yang padat itu, saya menemui mereka berdua
untuk sebuah keperluan wawancara. Kamid adalah pimpinan aliran kepercayaan
Paguyuban Sujud Nembah Bekti (PSNB) yang di Malang Raya pengikutnya sekitar 50
orang. Di PSNB, Kamid merupakan ketuanya. Di Malang Raya aliran kepercayaan
memang berjibun, di Kabupaten Malang terdapat 33 aliran kepercayaan, dan di
Kota Malang ada sebelas aliran kepercayaan.
Saya tertarik menemuinya setelah ada rencana Kementrian
Dalam Negeri memperbolehkan kolom agama dikosongi. Tujuannya agar penganut
aliran kepercayaan di Indonesia bisa memilih untuk mengosongi kolom agama dalam
KTP Mereka. Rencana itupun banyak dipertentangkan oleh para Ulama.
Kepada Kamid, saya menanyakan bagaimana tanggapannya
tentang rencana tersebut. Kamid terlihat antusias menjawab pertanyaan saya, dia
mendukung rencana pemerintah.”Bahkan kalau perlu aliran kepercayaan dimasukan
dalam KTP, tidak perlu dikosongkan,” kata dia.
Dukungan Kamid tersebut lantaran selama berpuluh-puluh
tahun, Kamid menjadi ”Islam
KTP”. Setiap kali mengurus KTP, Kamid selalu ditawarkan agama-agama resmi untuk
dicantumkan dalam KTP. Sedangkan, aliran kepercayaan yang dia anut sama sekali
tidak pernah bisa dimasukan dalam KTP-nya.”Ya udah saya Islam saja agama saya
di KTP, padahal saya tidak Islam,” imbuhnya.
Tidak ingin percaya begitu saja dengan pernyataan Kamid,
saya ingin melihat KTP miliknya. Karena Kamid tidak dibawa, dia meminta
istrinya untuk mengambil KTP di rumahnya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat
dia jualan. Ternyata Kamid berkata benar, dalam KTP Elektronik miliknya, agama
Kamid adalah Islam.”Ini yang ngurus anak saya, saya suruh minta ditulis
aliran kepercayaan, eh kok keluarnya Islam,” kata dia sambil menunjukan KTP
miliknya.
Nah, dari Kamid inilah, pandangan saya tentang Islam KTP sejak
kecil berubah drastis. Saat kecil, ketika Islam KTP sudah menjadi bahan
nyanyian, atau baru-baru ini menjadi judul sinetron, saya beranggapan
kalau Islam KTP dialamatkan orang yang beragama Islam tapi tidak melakukan
ritual. Orang Islam seperti itu tidak pernah
salat dan puasa misalnya.
Kita tahu, dalam Islam, orang bisa disebut Islam sangatlah
simpel. Orang tersebut hanya cukup melafalkan sahadatain. Lafal ini
merupakan kesaksian bahwa hanya ada satu tuhan yakni Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Dengan begitu, jadilah orang tersebut Islam. Simpel bukan?
Tidak salah jika banyak orang Islam KTP meskipun bukan penganut aliran
kepercayan sebagaimana Kamid.
Menurut saya, kalimat Islam KTP selama ini sudah
berkonotasi negatif. Para anak-anak kecil di Kampung, ketika tahu kalau
temannya tidak pernah salat dan
puasa, mereka akan bilang: Oh kamu ini Islam KTP. Atau para remaja yang suka mabuk, mereka
akan dijuluki sebagai Islam KTP. Kita tahu, Islam tidak pernah menyarankan
umatnya untuk mabuk-mabukan.
Konotasi negatif ini terbentuk sebagaimana kata
pencitraan dalam dunia perpolitikan kita. Pencitraan yang berasal dari kata
citra seharusnya tidak melulu negatif. Jika Pencitraan adalah upaya membuat
citra, maka saat kita memakai jam tangan, pakai baju bagus, atau bersolek
sebelum menghadiri acara-acara tertentu merupakan sebuah pencitraan. Lantas,
apa salah dengan orang memakai jam tangan, baju bagus dan bersolek? Asal bukan barang
curian atau korupsi tidaklah ada salah. Dalam hal ini, pencitraan bukanlah hal
negatif yang boleh kita cela.
Apa boleh buat, kata pencitraan sudah terlanjur negatif
sebagaimana Islam KTP. Kata pencitraan sudah menjadi alat mengutuk para
politisi yang bertindak
hanya untuk mendapatkan simpati publik. Bahkan, orang menciptakan teori baru
dengan memopulerkan istilah “politik pencitraan”.
Karena kata Islam KTP sudah berkonotasi buruk, saya
menganggap kalau para penganut aliran kepercayaan perlu diakomodasi dalam KTP.
Saya satuju dengan Kamid, sebagai identitas kolom agama tidak perlu dikosongkan
tapi kolom agama juga disandingkan dengan kalimat aliran kepercayaan. Dengan
begitu, orang bisa memilih apakah mereka beragama resmi di Indonesia atau
penganut aliran kepercayaan.
Tidak ada yang salah dalam menyebut aliran kepercayaan di
KTP. Toh, mereka juga bertuhan meskipun tidak beragama. Pancasila gamblang
menjelaskan kalau manusia Indonesia memunyai Tuhan yang Esa
kendati tidak beragama sekalipun.
Jika hal tersebut dilakukan, tidak akan ada lagi orang
yang ber-KTP Islam meskipun mereka tidaklah Islam sebagaimana Kamid. Bukankah
jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus merupakan ketidak-jujuran
administrasi, padahal Agama,
termasuk Islam, selalu
mengajarkan kejujuran?
Kala itu, siang mulai beranjak sore. Di akhir obrolan
saya menanyakan kepada Sumarsih kenapa dia berkerudung padahal dia penganut kepercayaan
yang tidak Islam.”Saya suka saja pakai kerudung. Saya juga ikut tahlilan dengan ibu-ibu,
meskipun saya tidak Islam,”
kata Sumarsih lantas tersenyum ringan. []
Irham Thoriq
Wartawan Radar Malang.
kalau dilihat dari sisi pandang ini 'sepertinya' terdengar masuk akal... tapi sesuatu yang kompleks seperti identitas yang berkenaan dengan keyakinan seseorang, saya pikir perlu kajian lebih mendalam
ReplyDeleteKami akan sangat senang sekali kalau Ave Ry mau menyumbangkan tulisan di blog ini ttg "kajian lebih mendalam" itu. :)
Delete