Oleh: Muhammad Hilal
Abah Nyut sedang jatuh cinta, untuk ketiga kalinya, di usianya jelang kepala lima.
Cinta pertamanya adalah kepada istri pertamanya yang ia
nikahi saat dia masih muda. Dengan perempuan ini, Abah Nyut mendapat dua anak
lelaki. Pernikahannya bertahan hingga saat ini.
Cintanya yang kedua mekar bertahun-tahun kemudian, kepada
istrinya yang kedua. Perempuan ini jauh
lebih muda. Entah karena apa, mereka keburu terpisah sebelum istrinya
melahirkan seorang anak.
Adapun cinta ketiga berlabuh pada seorang janda beranak
satu, tapi bukan istrinya, melainkan semacam kekasih gelap. Hingga kini, janda
ini menjadi topik pembicaraan Abah Nyut di mana-mana, kecuali di rumahnya tentu
saja. Tak ubahnya seperti seorang remaja sedang mengalami cinta monyet, Abah Nyut
menceritakan cinta ketiganya dengan wajah berseri-seri.
Berhubung ini adalah kisah cinta, tentu Abah Nyut harus kencan.
Saat dia mau berangkat, dia berbusana apa adanya tanpa kesan rapi dan parlente.
Kepada istrinya, dia pamit pergi dengan alasan mau bantu bangun rumah temannya.
Kadang dengan alasan lain yang menurutnya tak akan dipersoalkan istrinya.
Kencan itu berlangsung di sekitar pasar kecamatan, di sebuah
warung bakso atau nasi rawon. Apalagi di masa penghujan seperti sekarang—Abah Nyut
menambahkan kesan suasana dalam ceritanya—semangkok bakso atau sepiring rawon tak kalah romantis
dibanding cahaya lilin dan segelas anggur.
Dengan ponsel Nokia seri 623i-nya yang kuno, Abah Nyut
memotret kekasihnya secara sembunyi-sembunyi. Ini harus sembunyi-sembunyi,
sebab biar bagaimanapun hubungan mereka adalah hubungan rahasia. Kekasih Abah Nyut
tak pernah mau dipotret, khawatir ketahuan orang lain. Malu, katanya. Ponsel
jadul begitu, gambar yang dihasilkan tentu tidak begitu bagus. Tapi itu sudah
cukup bagi Abah Nyut, itu cukup untuk menawar rindu yang kerap datang tanpa mau
menunggu.
Kadang-kadang, kencan itu berlangsung bersama anak si janda.
Abah Nyut tidak masalah dengan anak itu. Kesempatan itu justru dia gunakan
untuk semakin memikat hati kekasihnya. Dia memperhatikan anak itu,
membelikannya es krim atau mainan, agar dia senang kepadanya. Juga agar
kekasihnya ikut senang. Asal perempuan itu senang, Abah Nyut sudah merasa berguna
sebagai lelaki.
Saat fajar datang, menjelang subuh, rindu seringkali hinggap
tanpa Abah Nyut bisa hentikan. Pada saat begitu, diam-diam dia mengirim pesan
kepada kekasih hatinya. Dia bertanya tentang ini-itu: bagaimana tidurnya, nanti
siang ada rencana apa, sudah wudu apa belum, atau apapun. Jika pesannya
langsung dibalas, rindu itu seolah berbalas senyum manis dari seberang sana.
Namun bila tak lekas dibalas, entah kenapa dadanya sesak dan berdebar-debar,
seolah menghambat aliran darah di tubuhnya. Kasus seperti ini sering terhenti
di siang harinya, setelah kekasihnya membalas pesannya. Balasan itu melegakan
hatinya.
Romansa penghujung senja harus Abah Nyut jalani sebagai
seorang lelaki, meski untuk kali ketiga, meskipun di luar sepengetahuan istrinya.
Dia tak pernah merencanakan perasaan itu di hatinya, namun begitu rasa itu
bercokol di hatinya dia tak bisa menyangkalnya.
Orang sekelilingnya bukannya diam dan acuh kepada Abah Nyut.
Tak hanya sekali-dua kali mereka menasihati agar Abah Nyut lebih bisa
mengendalikan diri. Hentikan main-main dan pikirkan anak dan istri, mereka
bilang. Tapi pendirian Abah Nyut lain. Cinta itu tulus dari hatinya. Bahkan dia
berencana akan mempersunting kekasihnya itu. Tak ada niat main-main sedikitpun,
dia benar-benar serius jatuh cinta. Lagi pula, anak-istri Abah Nyut dia
perlakukan dengan baik sebagaimana seharusnya. Cinta baru ini tidak akan
menyisihkan anak-istrinya, begitu dia berkilah. Seperti halnya remaja yang
sedang dirundung cinta, Abah Nyut punya seribu alasan untuk membenarkannya.
Cinta memang tak pernah tepat waktu, kata Puthut EA dalam Novelnya. Nampaknya, Puthut berkata benar kalau kita melihat tingkah polah Abah Nyut.[]
0 komentar:
Post a Comment