[sumber] |
Oleh: Halimah Garnasih
Suatu malam, di sudut kamar di atas bumi ini seorang istri yang hatinya sedang terhimpit patah hati dan cemburu yang teramat agung menumpahkannya di atas bantal. Semua rasa kecewa itu tumpah sebagai buliran bening yang keluar dari matanya yang elok. Bantal yang menjadi saksi di mana malam-malamnya adalah peluh dan desahan dalam gelimang gairah dan birahi dengan suaminya selama dua puluh tahun ini, kini basah seakan hatinya yang basah tak karuan. Rambutnya yang panjang tergerai telah semrawut di sana-sini. Beberapa menempel pada dahi dan pelipisnya karena air mata. Matanya sudahlah sembab, hidungnya memerah, dan tentu saja ada satu bagian yang lebih merah dari biasanya yang tak kasat mata, hatinya yang telah remuk kecewa.
Tangis itu ia tahan saat
intuisinya menangkap langkah yang sangat dekat dengan hatinya telah berada di
balik pintu kamar. Ia tahu malam ini suaminya akan merajuknya. Tapi ia telah
benar kecewa dan benci karena ia merasa telah dikhianati. Baginya, bagaimana
bisa cinta itu terbagi?
Langkah itu semakin dekat.
Pintu berderit dan langkah yang samar-samar tadi semakin jelas pada malam yang
kecewa ini. Ia sangsi akankah cinta yang telah kecewa itu bisa hidup sebagai
cinta seperti dulu, saat tulus ia serahkan pada suaminya. Lelaki yang kini
telah duduk di tepi ranjang, di sisinya.
“Adinda…”
Suara itu juga masih sangat
dekat dengan hatinya. Dengan batinnya. Meski kini telah terasa berbeda.
Hangatnya terlanjur menjadi dingin karena cintanya yang kecewa.
Perempuan yang pada hatinya
ada cinta yang kecewa itu mengibaskan tangan suaminya yang berusaha merajuknya
dengan membelai rambut kepalanya yang hitam dan terurai. Lalu ia tersedu sambil
masih membelakangi suaminya. Entah kenapa rasa cinta yang selama dua puluh
tahun membara itu kini telah menjelma sebagai kebencian yang dalam.
“Kau telah menzalimiku,
Kang!” suaranya samar tapi tegas terdengar oleh suaminya.
“Apa maksudmu, Adinda?”
Suara itu terdengar
berbohong. Ada yang ia tutupi di sana. Ada ketidak-mengakuan di sana. Dan itu
jelas terekam oleh batin perempuan yang pada hatinya ada cinta yang kecewa itu.
“Kau semakin picik dengan
pura-pura tak mengerti. Sungguh, kau semakin menjadi orang asing bagiku. Betapa
kau seolah tak tahu apa yang sekarang sedang menjadi lantaran jauhnya hatiku
dan hatimu”
“Adinda, mengapa Kau
berkata seperti itu,”
Perempuan itu menolak,
membalikkan badan dan mendorong tubuh suaminya yang berusaha memeluknya seperti
malam-malam selama dua puluh tahun lalu. Hatinya benar-benar telah panas karena
kemunafikan yang ia rasa sedang ada pada diri suaminya.
“Cukup! Cukup dengan segala
kebodohan dan kepura-puraanmu! Kau membopong perempuan itu ke salah satu bilik
rumah ini dan kau merasa tak ada apa-apa? Kau merasa tak ada yang perlu
dipirkan? Kau sakit! Kau gila, Kang! Kau telah membagi cinta kita pada hati
perempuan lain! Kau telah mendzolimiku. Kau telah mendzolimi cinta kita!”
Matanya menyala. Terlihat
dari sana bara dalam hatinya sedang bergolak dahsyat. Air mata memang masih
menempel pada pipinya yang kuning langsat dan bersih itu, tapi tak ada lagi
yang mengalir di sana karena semuanya telah menjadi api. Api yang siap melahap
siapa saja.
Laki-laki itu juga memanas.
Ia menahan geram karena bentakan dan tatapan tajam perempuan di depannya.
Sedzarroh pun ia tak akan pernah merasa bersalah. Karena baginya, agama adalah
ada pada pihaknya.
“Baik! Lalu apa maumu,
hah?!”
“Mauku? Kau tanyakan
mauku?! Kau tahu dari dulu sampai sekarang pun aku tak akan pernah meminta
apa-apa darimu. Dari cinta. Karena kau tahu, bagiku cinta itu tidak meminta
atau butuh dipinta. Kau sangat tahu bahwa bagiku cinta itu memberi dan diberi”
Lelaki dan perempuan itu
saling bersitatap dalam bara hati yang tak terkatakan. Di luar, malam masih
setia dengan angin dan dinginnya. Daun pohon pisang dan bambu di belakang,
berkesiur diterpa angin.
“Aku hanya mengingatkanmu
bahwa kau telah menzalimiku”
Suara perempuan itu hening
dan memecah malam yang juga memiliki hening. Hening yang menggantung dibawah
langit. Lelaki itu masih bergeming di atas ranjang.
“Dan aku tetap tidak akan
meminta apa pun darimu. Cintaku terlanjur kecewa”
“Apa yang kau maksudkan?”
“Kau telah tahu dan kita
sama-sama meyakini, bahwa orang yang terzalimi doanya adalah mantra yang
dijanjikan lekas terjelma nyata oleh Tuhan”
Lelaki itu terperanjat.
Hatinya bersejingkat dari tempatnya. Betapapun, ia tidak menyangka kesalahan
yang ia lakukan menjadikan dirinya begitu asing di depan perempuan yang selama
dua puluh tahun ada dalam dekapannya yang hangat. Terlebih, suatu hal yang
benar-benar ia dan perempuan itu yakini bersama, tentang terdzolimi dan doa
yang akan diijabah.
“Kau… kau… kau akan berdoa
pada Tuhan?”
“Ya! Aku akan berdoa
pada-Nya. Doa yang jahat. Hahaha”
Lelaki itu pucat pasi.
Seketika itu nuraninya mengakui kesalahan agung yang ia perbuat. Membagi cinta
suci itu kepada perempuan lain dan menyimpannya di salah-satu bilik di rumah
ini. Memang begitu menyakitkan.
“Kenapa Kau menjadi pucat,
hai Lelaki! Jika kau tidak merasa bersalah, kau tidak akan merasa menzalimiku.
Tapi lihatlah, lihatlah mukamu sekarang! Hahahaha”
Lelaki itu merebut kedua
tangan perempuan itu. ia genggam begitu erat dan hangat. Matanya ia buat begitu
mesra menatapnya. Ia berusaha dengan sekuat tenaga bahwa tatapan mesra itu
adalah tatapan yang selama dua puluh tahun ini ada di antara mereka berdua.
“Oh, Istriku. Sungguh harus
Kau ketahui bahwa ada suatu hal yang Kau tak ketahui tentang ini semua,”
Perempuan itu tak paham
dengan perubahan bekas cintanya ini.
“Aku sengaja melakukan ini
agar kau terzalimi hingga kau bisa mendapat tiket doa ijabah. Dan… dan… cita-cita
kita selama ini akan terwujud, Sayang…”
Lelaki itu terkejut. Kedua
tangannya telah terpelanting ke atas kasur. Rupanya sang istri tak termakan
bujuk rayunya. Dia marah, dadanya panas. Dirinya merasa sangat dilecehkan.
“Tahukah Kau, hai Perempuan
jalang! Saat kau mendoakan kejahatan dan keburukan atas diriku, saat itu kau
sedang menzalimiku, maka aku akan berdoa kepada Tuhan agar kau sirna dari
kehidupan ini. Lenyap menuju akhirat!”
“Bagus. Tapi jangan lupa
bahwa aku juga punya tiket kezalimanmu. Aku juga akan berdoa atas kematianmu
agar kau tak bisa bercinta dengan perempuanmu itu!”
Lelaki itu sungguh tak
menyangka akan semua itu. Betapa selama ini istrinya tak sebodoh yang ia
sangkakan. Lalu semuanya menjadi gelap. Ia tak ingat apa-apa.
***
Semuanya terlihat gelap dan
kemerah-merahan. Ia begitu asing dengan tempat dan suasana ini. Tak lama ia
mendengar suara orang menjerit-jerit kesakitan. Orang menjerit-jerit minta
tolong.
“Hai, kita sudah berada di
akhirat!”
Suara itu sangat di
kenalnya sewaktu ia berada di dunia. Dua puluh tahun ia telah hidup seatap
bahkan sehati dengan sang pemilik suara.
“Istriku!” teriaknya senang
karena ada orang lain di tempat yang baginya sangat asing
“Bukan. Aku bukan lagi
istrimu”
“Bagaimana bisa, bukankah
sebelum mati aku tidak pernah menceraikanmu? Kau tetaplah istriku. Telah
terbukti, ternyata kita adalah cinta sehidup semati”
“Tutup mulutmu! Jauh
sebelum kita mati, tepatnya saat hatimu telah berpaling pada perempuan lain,
hatiku telah tercerai dan menceraikan cintamu”
“Ap… apa? Bagaimana bisa
seperti itu?”
Tapi perempuan itu tak
menggubrisnya. Ia berjalan menaiki tangga yang menghubungkan tempat itu dengan
suatu tempat yang indah di atasnya, Firdaus.
“Istriku, kau mau kemana?”
teriaknya kebingungan
“Dasar tolol! Apa kau tak
melihat lelaki tampan dengan wajahnya yang cerah dan senyumnya yang sumringah
di depan itu?”
Lelaki itu menoleh.
Memperhatikan cahaya putih yang bersinar dari wajah seorang lelaki tampan di
ujung sana. Dia menelan ludah.
“Siapa dia istriku?”
“Siapa lagi, kalau bukan si
ganteng Ridwan”
“Maksudmu, Kau akan ke surga
bersamannya istriku?”
Perempuan itu hanya
tersenyum sambil terus berjalan menaiki tangga dan ke ujung sana.
Lelaki itu mendengar
teriakan yang menyayat hati. Dan ia baru sadar, teriakan itu berada di tempat
yang ada tepat di bawah kakinya. Ia begidik, melihat kenyataan neraka yang
lebih mengerikan dari gambaran yang ia bangun sendiri saat di dunia.
Ia begitu ketakutan. Pada
saat seperti itu, ia akan melakukan hal apa pun untuk menjauhi rasa stresnya.
Ia yang sangat memahami istrinya itu, berjalan bersijingkat dan sangat pelan.
Ia sembunyi di balik rok istrinya yang panjang dan tergerai di tanah akhirat.
Diam-diam ia gandolan pada rok istrinya untuk memasuki surga. Dengan
kepiawaiannya, juga mungkin skenario Pencipta, ia luput dari pandangan Malaikat
Ridwan dan masuklah ia bersama rok istrinya ke Surga. Tempat yang digambarkan
sangat indah dan dipercantik oleh kecantikan para bidadarinya.
“Kau?!” istrinya
terperanjat, saat melihat suaminya keluar menyelinap dari balik roknya yang
putih panjang dan tergerai di tanah surga.
Lelaki itu hanya tersenyum
dan cengangas-cengenges melihat air muka istrinya. Tanpa ba bi bu, ia
meninggalkan istrinya yang terbengong dan menghambur pada keramaian bidadari
yang tengah bersenda gurau di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu.
Melihat itu, perempuan yang
cintanya pernah kecewa dan baru saja masuk Surga itu merasa teramat jengkel. Mungkinkah
ia masih menyisa cemburu? meski sebenarnya ia masih bingung mengapa warna hati
yang pernah ia rasakan di dunia dulu masih membuntutinya walau di Surga?
Kini ia mulai melangkah
mantap. Dengan percaya diri yang tinggi, ia menyeruak di antara para bidadari
di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu itu. Para bidadari yang tengah
melayani lelaki yang tak lain adalah suaminya itu menyurut dan menyingkir
melihatnya. Perempuan itu berdiri tepat di depan muka si lelaki dengan kedua
tangan di atas pinggang dan mata membelalak.
“Ada apa? Ini Surga tempat
yang dipenuhi bidadari dan segala keindahannya. Dan adalah tugas mereka
melayani setiap orang yang masuk ke dalamnya bukan?”
“Dasar bajingan! Tempatmu
bukan di sini, tapi di neraka! Kau masuk surga karena aku”
“Hahaha. Bukan, aku masuk
ke sini karena kepandaianku”
“Ya. Kepandaianmu berlaku
licik. Akan kukatakan pada si ganteng tentang semua ini”
“Hahaha. Dia itu malaikat.
Dan malaikat ditakdirkan bukan sebagai makhluk pembangkang. Lagian apa Kau lupa,
Tuhan pernah berfirman barang siapa yang masuk surga maka akan abadi di
dalamnya. Intinya, si gantengmu tak akan pernah bisa mengeluarkanku dari sini. hahaha”
Lalu, dia memanggil para
bidadari itu untuk kembali melayaninya. Para bidadari itu pun datang dengan
segala pesona dan anggur di tangannya.
Perempuan itu merasa
jengkel. Dia mendekati malaikat Ridwan dan berbincang dengannya sambil terus
melirik ke arah suaminya yang sedang dilayani oleh para bidadari. Tapi tak
sekali pun suaminya melirik ke arahnya apalagi timbul cemburu di dadanya.
Perempuan itu merasa, kalau
kenyataan di Surga seperti ini, maka bukan hanya dunia tempat ketidak adilan
bagi perempuan. Lalu, dia melepas gaun kebesaran sang penghuni Surga. Ia
berdandan dan memakai baju seperti yang dikenakan para bidadari sehingga ia tak
hanya terbelenggu dengan satu lelaki yang bernama suaminya. Memang betul,
secara agama, ia belum resmi diceraikan. Sejak saat itu, ia bergabung dengan
kumpulan bidadari dan bisa bercanda dengan setiap lelaki yang memikat hatinya.
Bahkan si ganteng Ridwan yang dari awal telah menggoda dengan senyumnya.
Suatu senja (oh di Surga
pun senja masih ambil bagian), perempuan itu termenung di bawah salah-satu
pohon apel yang buahnya merah berpendar cahaya. Ia memikirkan penyamarannya
yang ia lakukan hanya untuk memuaskan hatinya atas ketidak adilan yang ia
rasakan di Surga ini. Ia terdiam mendengarkan nuraninya yang paling dalam,
betapa dirinya masih cinta pada suaminya yang membuat cintanya pernah kecewa.
Namun ternyata, akhirat bahkan surga mengapa masih saja tidak berpihak padanya
yang perempuan? setelah di dunia, agama dan para ulama’nya mati-matian membela
lelaki.
Lalu, dengan langkah
mantap, ia cari suaminya di antara buaian bidadari. Ia tarik tangannya dan ia
seret sampai dekat pintu Surga. Suaminya bertanya-tanya lalu dengan tegas sang
istri menjawab, “Jika Ridwan sebagai malaikat tak ditakdirkan membangkang, maka
aku yang penduduk Surga ini bisa”
Sang suami terkejut. Tapi
sebelum sadar dari keterkejutannya dan sebelum bisa melakukan apa-apa, tubuhnya
telah terdorong dari surga. Tubuhnya melayang-layang dan mulai merasakan panas
yang maha dahsyat.
Saat ia sedang
berteriak-teriak karena didera sakit, entah mengapa ia melihat wajah istrinya
dan juga mendengar jeritannya. Mungkinkah, sesaat setelah mendorongnya dari
Surga, istrinya juga meloncat ke neraka?
“Iya, Suamiku. Demi
memuaskan pencarianku tentang apakah keadilan itu bersemayam di neraka?!” teriak
istrinya di antara kesakitan dan teriakan.[]
0 komentar:
Post a Comment