[sumber: admin] |
Oleh: Irham Thoriq
Entah kenapa, aneka macam ungkapan
tentang menulis selalu saya ingat dengan baik. Dan ungkapan para dosen tentang
mata kuliah, kerapkali dengan mudah hilang dari ingatan.
Seorang narasumber di workshop kepenulisan
saat saya baru-baru kuliah menjelaskan keutamaan menjadi penulis. Menurut dia,
penulis merupakan profesi langka. Seratus di antara orang yang hidup di sekitar
kita, tidak barang tentu ada dua orang yang berprofesi sebagai penulis.
Seorang wartawan yang saya kenal hanya
dari twitter pernah berujar, menulis itu seperti orang bersepeda. Kita
belajar menaiki, mengayuh, lalu terjatuh, menaiki lagi, kayuh dan seterusnya
sampai sepeda berjalan mulus tanpa terjatuh meski kita ingin jatuh seperti saat
belajar mengayuh.
Awal mulanya, saya menganggap Ilmu Psikologi
yang saya geluti saat kuliah tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis. Benar
saja, menulis merupakan keterampilan, sedangkan Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari karakter manusia. Meskipun, belajar Psikologi lima tahun saya tak
kunjung bisa membaca karakter orang.
AS Laksana, seorang penulis kenamaan
membuyarkan kesimpulan dangkal saya itu. Menurut dia yang juga menekuni
hipnosis, menulis dan hipnosis yang merupakan bagian dari Psikologi mempunyai
kesamaan. Dan bisa saling melengkapi.
Menulis dan hipnosis bertumpu pada satu
kekuatan yakni kekuatan bercerita. Mungkin Anda pernah mendatangi sebuah
seminar, yang seisi ruangannya menangis histeris karena seorang motivator
menceritakan kisah haru perjuangan seorang ibu.
Atau mungkin Anda pernah duduk di sebuah
ruangan yang tiba-tiba lampu di ruangan itu mati. Setelah motivator bercerita, Anda
tertidur dan di sela-sela tertidur itu Anda membayangkan apa yang si motivator
ucapkan. Dia menyuruh anda membayangkan berada di pinggir pantai, Anda lantas
membayangkan berada di Pantai dengan ombak yang jumpalitan.
Saat motivator menyuruh membayangkan
berada di sebuah Gunung dengan angin yang sejuk serta kicauan burung yang sahut-menyahut,
perasaan Anda menjadi tenang. Seolah berada di gunung yang membuat badan Anda
terasa sejuk, meski ruangan yang sedang Anda tempati tidak ada kipas angin atau
Air Conditioner.
Itulah Hipnosis, sebagaimana yang sering
dipertontonkan Deddy Corbuzier. Hanya dengan cerita si Motivator, alam bawah
sadar kita bisa takluk. Kita seolah hanyut dengan perintah-perintah motivator.
Konon, Hipnosis ini merupakan salah satu metode paling ampuh menghilangkan masa
kelam kita, atau menjadikan kita pribadi yang baru, sesuai dengan perintah dan
ucapan-ucapan yang dikatakan si Motivator.
Sama dengan Hipnosis, menulis terutama
menulis fiksi harus mengandalkan kekuatan bercerita. Dengan Hipnosis, pikiran
kita menjadi terlatih membuat diskripsi yang baik, struktur tulisan yang tidak
melompat-lompat, tata bahasa mengalir, plot yang indah dan menyudahi cerita
dengan mengesankan bagi pembaca.
Mungkin karena kekuatan bercerita yang
dimiliki AS Laksana inilah, gaya menulisnya sangat mengalir dan seolah sedang
bercerita yang jauh dari kesan menggurui. Tulisannya di rubrik Ruang
Putih di Jawa Pos setiap hari Minggu banyak mendapat acungan jempol.
Menurut saya, menulis dan hipnosis punya
kesamaan karena dua hal ini sama-sama proses meluapkan emosi, atau dalam
Psikologi disebut katarsis. Dengan katarsis, seseorang bisa membuang emosi
negatifnya dengan berteriak sekeras mungkin, sehingga tak ada lagi beban yang
terpendam.
Saya merasakan hal itu sama dengan
menulis. Saya dan mungkin Anda, akan merasa lega saat tulisan rampung, entah
tulisan yang dihasilkan baik atau buruk. Dan tulisan ini, saya buat sebagai
luapan emosi setelah melihat seorang penulis yang umurnya masih sangat belia,
tapi karyanya sudah sangat banyak dengan berbagai penghargaan. Ah, mungkin dia
lebih serius menghayati makna bersepeda dalam menulis.[]
0 komentar:
Post a Comment